Karomah KH. Abdurrahman Munadi dan Habib Muhammad bin Syeikh Bafaqih
(Polaman desa Jati Kec. Gubug Kab. Grobogan)
KH. Abdurrohman Munadi merupakan seorang ulama besar yang banyak berjasa untuk kepentingan masyarakat bangsa dan negara. Beliau hidup sekitar tahun 1820 hingga 1901 M.
Jasa yang telah diberikan kepada masyarakat di antaranya adalah peranannya dalam pembangunan Masjid Besar Johar Kauman Semarang, yaitu saat masjid tersebut pernah disambar petir. Tokoh masyarakat lain yang juga berperan sebagai panitia dalam pembangunan masjid besar tersebut adalah yang terkenal dengan sebutan Mbah Giri yang kini makamnya berada di desa Girikusumo, Mranggen Kabupaten Demak.
Dikisahkan pada saat kedua tokoh tersebut dalam rapat pembangunan masjid pernah terjadi perbedaan pendapat yang cukup prinsip, yaitu diantaranya Mbah Giri mengusulkan jumlah tertentu sebagai anggaran yang dibutuhkan dalam pembangunan tersebut. Namun KH. Munadi berpendapat kalau di dalam pembangunan masjid tersebut jangan jumlahnya. Tapi, hendaknya dengan jumlah secukupnya.
Dan pendapat yang kedua ini merupakan pendapat yang diterima oleh forum peserta rapat panitia.
Dalam perjalanan pulang KH. Abdurrohman Munadi konon mengalami keganjilan yang cukup unik, yang mana perjalanan pulang dari Polaman (Grobogan) beliau tempuh dengan berjalan kaki.
Uniknya, perjalanan di siang bolong di bawah terik sinar matahari tersebut tiba-tiba terjadi kilat disertai dengan petir yang menyambar-nyambar. Dalam suasana begitu KH. Abdurrohman Munadi tiba-tiba terlempar sampai di pematang sawah. Hal itu dikarenakan tersambar petir yang terjadi di siang bolong tersebut.
“Innalillahi wainna illaihi rojiun”, orang tua kok disambar petir”, kata KH. Abdurrohman Munadi mengomentari kejadian aneh yang menimpa dirinya.
Sebagai orang yang memiliki ilmu lebih, beliau menganggap itu bukan hal yang luar biasa. Dan beliaupun tahu bahwa itu adalah bentuk gurauan seorang wali yang mempunyai nilai ilmu tinggi.”Tidak lain adalah ulah Kyai Hadi”, batinnya sambil agak menggerutu. “Pingin cepat sampai di rumah to Di?”, Kata KH. Abdurrohman Munadi menambahkan.
Ketika itu Mbah Hadi atau Giri Kusumo juga masih dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang masih beberapa kilometer. Namun, begitu KH. Abdurrohman Munadi berkata tadi (setelah disambar petir dan terlempar sampai di pematang sawah), tiba-tiba Mbah Giri Kusumo telah sampai di rumah tanpa melakukan perjalanan yang melelahkan. Merasakan keadaan yang cukup unik tadi (di tengah- tengahnya perjalanan, namun tiba- tiba sudah berada di rumah), beliau juga penasaran. Namun demikian pemikiran sebagai rasa penasaran itu tidak berlangsung lama karena dengan cepat dapat memperkirakan bahwa itu adalah pembalasan yang dilakukan KH. Abdurrohman Munadi.
Di hari berikutnya ketika mereka bertemu dalam forum, keduanya tersenyum geli mengingat ulah dan kejadian yang dialami kemarin. Dan itu tidak membuat perselisihan diantara mereka.
Dalam kisah yang lain konon keduanya saling berjanji untuk mempertahankan pendapatnya tadi. Mbah Hadi berjanji kalau pendapatnya kalah akan puasa ‘ngalong’. Maksudnya berpuasa dengan menggantung kakinya di atas seperti kalong (kelelawar). Sedangkan KH. Abdurrohman Munadi berjanji kalau argumentasi dalam musyawarah tadi kalah akan pulang dari Semarang ke Polaman dengan merangkak (mbrangkang- Jawa).
Namun ternyata dalam rapat berikutnya diputuskan mengenai pemakaian anggaran pembangunan masjid Kauman Johar Semarang yang dipakai adalah pendapat KH. Abdurrohman Munadi.
Dan akhirnya Mbah Giri melakukan puasa dan bertapa sebagaimana janjinya. Itu adalah sebuah kisah yang dialami dalam kehidupan dua orang aulia’ (wali). Yang tentunya tidak bermaksud memamerkan kemampuan namun mungkin cara ‘humor’ para wali yang tentunya mempunyai maksud dan nilai tersendiri yang kurang diketahui oleh orang awam pada umumnya.
Dalam kisah lain dituturkan, bahwa KH. Abdurrohman Munadi adalah orang yang sabar dan mau menolong kepada siapapun tanpa membedakan suku, ras dan agama. Contohnya adalah yang dialami warga Gubug keturunan Tionghoa bernama Bah Gareng.
Suatu saat Bah Gareng tersebut mengeluh kepada KH. Abdurrohman Munadi, karena ia ingin membangun rumah tetapi belum juga mempunyai kayu sebagai bahannya. “Mbah Mun, saya ingin membangun rumah, namun belum juga punya kayu yang cukup. Saya minta tolong, bagaimana caranya supaya lekas punya kayu yang cukup sehingga dapat untuk membangun rumah ini”, Tutur Mbah Gareng mengeluh kepada KH. Abdurrohman Munadi. “Sabar.... besok semoga datang kayu yang kamu harapkan itu” Jawab KH. Abdurrohman Munadi memberi nasehat. Dan beliau pun lekas berdoa agar harapan warga Indonesia keturunan Tionghoa tersebut dapat terkabulkan.
Sehari setelah permintaan Bah Gareng itu disampaikan, sungai Tuntang mengalami banjir, bahkan meluap hingga nyaris ke permukaan tanggul.
Pagi itu sebagai warga Gubug, beliau juga berkenan menengok meluapnya air sungai Tuntang tersebut. Tiba-tiba terlihat potongan kayu yang cukup besar melintas dan sudah agak ke utara dari tempat beliau berdiri. Teringat permintaan Bah Gareng kemarin, KH. Abdurrohman Munadi berkeinginan meminggirkan kayu tersebut. Namun tidak mungkin berenang pada arus yang cukup deras tersebut.
Sebelum terlalu jauh hanyut ke utara, beliau melambaikan tangannya (ngawe-awe= jawa) seperti kalau menginginkan seseorang kepadanya. Lambaian itu diarahkan pada kayu yang dimaksud. Tiba-tiba terjadi peristiwa yang cukup unik, dan sulit dipikir secara nalar. Air deras mengalir ke utara. Namun, kayu besar yang tadi hanyut sekarang justru berjalan ke selatan menepi mendekat beliau.
Semua orang yang melihat kejadian aneh itu terbengong keheranan. Orang-orang yang ada di situ ingin teriak berkomentar karena herannya. Namun melihat orang yang berdiri di tepi tanggul itu, mereka hanya diam terbengong dengan penuh keheranan. Tidak ada yang berkomentar sepatah katapun.
Sore harinya, ketika air sudah surut, banyak orang masih dibuat heran. Yaitu kayu yang tadi menepi dipuncak tanggul tanpa diikat dan tidak disangga dengan patok apapun namun ternyata tidak jatuh menggelinding ke bawah. Dan kayu itu oleh KH. Abdurrohman Munadi diserahkan kepada Bah Gareng yang minta bantuan kayu kemarin. Dengan rasa terima kasih yang begitu tinggi dia menerima kayu yang ajaib tersebut.
Dalam kisah yang lain kesabaran KH. Abdurrohman Munadi dibuktikan dengan adanya ulah seseorang yang iseng. Orang tersebut datang menghadap beliau pada siang hari. “Mbah Mun, nanti malam Mbah Mun dimohon untuk memimpin kenduri (tahlilan) di rumahnya Pak Fulan di kampung Bolampong sebelah timur pasar Gubug”, tutur orang tersebut dengan mantapnya.
Tanpa rasa curiga sedikitpun beliau menjawab dan menyanggupi. “Ya... Insya Allah”, jawab beliau dengan mantap pula.
Malam harinya sebagaimana permintaan orang tadi, tepat seperti waktu yang ditentukan KH. Abdurrohman Munadi datang di rumah Fulan sebagaimana ‘undangan’ yang diterima tadi siang. Tentu Fulan bingung, karena merasa tidak mengadakan acara apa-apa, namun Pak Kyai datang untuk kenduri yang katanya diundang oleh seseorang yang mengaku utusannya.
“Lho, mana temannya, katanya tahlilan ?”, tanya beliau. “Aduh ... maaf Mbah Mun, pasti Mbah Mun ini dibohongi oleh orang tadi. Siapa orangnya ?”, kata Fulan dengan penuh rasa malu dan takut.
“Ooooohhh ... orang tua kok dibohongi, ya sudah karena tadi saya diminta tahlilan, ya sekarang tahlilan” Ujar KH. Abdurrohman Munadi tanpa rasa marah atau jengkel.
Dan akhirnya beliaupun membaca tahlil dari awal hingga akhir secara lengkap. Itu beliau lakukan sendirian, sedang Fulan pemilik rumah, mengikuti disampingnya karena merasa malu dan sungkan.
Setelah bacaan tahlil selesai beliau mohon diri tanpa rasa kecewa atau jengkel. Itu sebagai wujud salah satu sifat kesabaran yang dimilikinya.
Jasa beliau yang dapat dirasakan masyarakat hingga sekarang tidak sedikit. Sebagai ulama beliau juga banyak bekerjasama dengan umaro (pejabat pemerintah) di antaranya adalah dengan Wedono (sekarang pembantu bupati) Gubug.
Pada saat itu ketika hendak membangun pendopo kawedanan namun kayunya masih dirasa kurang. KH. Abdurrohman Munadi dengan pertolongan Allah Swt mampu mendatangkan kayu-kayu yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Demikian juga saat warga Gubug sedang dilanda wabah penyakit kolera, tidak sedikit warga yang meninggal karena wabah tersebut. Bahkan banyak yang pagi sakit langsung sorenya meninggal, ada juga yang pagi melayat, memanggul mayat, beberapa hari kemudian gantian dia yang dilayat dan dipikul.
Melihat keadaan demikian KH. Abdurrohman Munadi merasa prihatin, terlebih setelah Wedono Gubug mengeluh sambil minta nasihat dan doa kepadanya agar wabah segera berakhir. Berkenaan dengan hal itu KH. Abdurrohman Munadi banyak memberikan nasihat kepada masyarakat maupun pejabat untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, di samping itu juga selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui do’a dan ibadah secara khusuk.
Nasihat beliau banyak dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun dapat dirasakan. Hari demi hari wabah yang menyerang warga menjadi berkurang.
Sebagai seorang ulama KH. Abdurrohman Munadi bukan hanya mengajarkan ilmu mengaji dan sholat saja, namun juga banyak ilmu sosial kemasyarakatan yang diajarkan dan dicontohkan oleh beliau. Beliau banyak meninggalkan bangunan-bangunan seperti sumur, kamar mandi, bak wudlu, mushola dan masjid yang banyak dibutuhkan masyarakat.
Peninggalan yang diperuntukkan untuk umum adalah mushola di kampung Dukoh desa Gubug yang dulu dipimpin oleh KH. Chalim sebagai salah satu cicit dari KH. Abdurrohman Munadi dan masjid yang ada di kampung Brebes desa Gelapan. Tidak terkecuali masjid yang berada di dusun Polaman desa Jatipecaron Kecamatan Gubug. Yang mana dahulu masjid ini berada di pinggir kali Tuntang, namun karena sering dilanda banjir, akhirnya dipindah ke tengah kampung dan oleh pemerintah dibangun tanggul pengaman dari luapan air sungai Tuntang tersebut. Masjid di dusun Polaman ini yang digunakan sebagai sarana oleh beliau untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat setempat hingga beliau meninggal dunia.
KH. Abdurrohman Munadi meninggal pada tahun 1901 M tanggalnya diperkirakan tangal 13 April, sedang tahun hijriyahnya jatuh pada tangal 10 Muharram 1319 H.
Ketika hendak meninggal dunia, sang menantu yaitu Habib Muhammad bin Syeich Bafaqih menjenguk. Namun melihat kondisi mertuanya, konon ceritanya sang menantu menuturkan bahwa saatnya belum tiba (masih beberapa hari lagi).
Seminggu berikutnya Habib Muhammad menjenguk kembali, beliau menuturkan bahwa saatnya telah tiba, kemudian mengajaknya untuk membaca dua kalimah syahadat sebelum penghembusan nafas terakhir.
Tiga tahun kemudian Habib Muhammad bin Syeich Bafaqih yang juga sebagai ulama besar pada waktu itu meninggal dunia. Tanggalnya hanya selisih satu hari dengan mertuanya, yaitu tanggal 11 Muharram 1322 H.
Sebelum meninggal Habib Muhammad berpesan agar dimakamkan di sebelah barat makam mertuanya (KH. Abdurrohman Munadi). Namun karena pertimbangan akal dan etika, beberapa tokoh masyarakat bermusyawarah dan hendak memakamkan jenazah beliau berada di sebelah timurnya. Namun yang terjadi ternyata kondisi tanahnya labil, saat digali mudah sekali longsor dan penuh air. Sedangkan ketika dipindah sebelah selatannya, juga sulit digali. Untuk itu diputuskan tetap dimakamkan sebagaimana pesan almarhum, di sebelah barat mertuanya. Di sana tanah mudah digali, tidak longsor dan tidak berair.
Habib Muhammad memperistri putri KH. Abdurohman Munadi yang bernama Chobsoh dan mempunyai putra bernama Habib Syeich. Habib Syeich mempunyai putra Habib Agil dan Habib Ahmad. Kemudian Habib Ahmad mempunyai putri bernama Hj. Umi Fatmah Bafaqih. Disamping itu masih banyak lagi keturunan KH. Abdurrohman Munadi dari beberapa putra dan putrinya yang diantaranya adalah Habib Sholeh, Habib Thohir, KH.Abdul Chalim, Kyai Muzaini, Kyai Muhtarom, Kyai Muchlas dan lainnya.
Habib Muhammad yang juga sebagai aulia/kekasih Allah yang mempunyai banyak karomah. Salah satu kegemaran beliau adalah membaca Maulidin Nabi Barzanji.
Suatu saat beliau pernah naik kereta api dalam posisi berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, dengan suara yang merdu beliau membaca sholawat barzanji tersebut. Tanpa menghiraukan kanan kirinya lantunan sholawat terus dikumandangkan. Tanpa ada orang yang berani menegur.
Kemudian ada seorang tentara Belanda yang hendak lewat karena mencari tempat duduk. Mendengar bacaan sholawat yang dibawakan oleh Habib Muhammad tersebut, tentara Belanda tersebut sempat heran dan tertegun. Kemudian tentara Belanda tersebut berhenti dan dengan bahasa Indonesia yang patah-patah dia bertanya kepada Habib Muhammad. "Itu bacaan apa?”, tanya tentara Belanda. “Oh ... ini sholawat berzanji tuan... ”, jawab beliau dengan sopan.
Dari dialog antara Habib Muhammad dengan tentara Belanda tersebut di antaranya timbul hal yang cukup unik, tentara Belanda tersebut diminta Habib Muhammad agar membuat surat untuk keluarganya di Belanda lengkap dengan alamatnya.
Kemudian oleh Habib Muhammad surat tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam sela-sela ketiaknya. Dan saat itu juga Habib Muhammad masih sibuk melanjutkan lantunan sholawat barzanjinya. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Habib Muhammad telah dapat memberikan surat balasan dari keluarga tentara Belanda tadi yang ada di kampung halaman di negeri Belanda sana. Surat tersebut berisi, “Ini aku tadi menerima suratmu yang dikirim oleh seorang tentara dengan menodongkan senjata dan minta untuk dibalas saat ini juga, sehingga balasan saya buat dengan sangat tergesa-gesa. ”
Hal tersebut membuat tentara tersebut sangat heran, tetapi itu merupakan salah satu karomah yang dimiliki oleh Habib Muhammad.
Untuk mengenang jasa KH. Abdurrahman Munadi dan Habib Muhammad bin Syeikh Bafaqih maka setiap tanggal 10 dan 11 Muharam masyarakat Polaman desa Jati Kec. Gubug Kab. Grobogan di mana KH. Abdurrahman Munadi dan Habib Muhammad bin Syeikh Bafaqih dimakamkan mengadakan acara haul.
sumber almihrob edisi 10 th.II/1425 H
yang benar peninggalannya bukan masjid di brebes gelapan, tetapi masjid di karas karanglangu kedungjati ... mushola di brebes gelapan itu dulu langgar buatan santri sunan kalijaga waktu mencari kayu untuk masjid demak, yg ada tertera tahun 1473
BalasHapusTerima kasih atas koreksinya
BalasHapusBetul, perlu saling melengkapi dari berbagai sumber yang ada. Sejarah memerlukan informasi yang akurat, walaupun terus saja berkembang, tapi tetap perlu dikoleksi untuk diinformasikan kepada generasi muda.
BalasHapus