MAKNA DIBALIK JAJANAN ATAU MAKANAN PADA SELAMETAN
Pada sebagian acara selamatan untuk wilujengan anak yang lahir dan untuk pernikahan pengantin, kadang menggunakan nasi tumpeng yang disebut dengan “nasi uduk”.
Nasi uduk sebenarnya adalah “nasi wudhu”, karena selama memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci.
Semua ubarampe wilujengan tersebut, sebelum dipersembahkan untuk orang banyak, diujubkan (sebenarnya diijabkan) terlebih dahulu.
Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat. Dalam ujub tersebut, dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan.
Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual tersebut berasimilasi dengan tradisi Islam, maka
dalam ritual selamatan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut.
Sebagian ubarampe pelengkap ritual dalam tradisi Jawa adalah pisang satu sisir atau dua sisir. Pisangnya bisa pisang raja, baik raja biasa dan raja pulut. Hanya kalau pisang raja sedang sulit dicari, maka sebagai penggantinya bisa pisang apa saja, tentu dengan skala prioritas tertentu.
Pemakaian pisang raja ini memiliki maksud sebagai simbol dari permohonan terkabulnya doa ambeg adilparamarta berbudi bawa leksana, atau menjadi orang yang berwatak adil, berbudi luhur, dan tepat janji.
Kalau pisang raja pulut, juga memiliki maksud lain, yakni agar terbebas dari marabahaya.
Setelah acara selamatan selesai, orang yang punya hajat mengambil pisang pada bagian tengahnya. Pelaku tidak mengambil pisang yang dipinggir (pisang sangkal). Hal ini dilakukan sebagai penghayatan dan kesadaran bahwa kehidupan di dunianya yang sekarang ini sedang berada pada fase zaman madya (era tengah). Pada era zaman madya ini, manusia belum sepenuhnya memiliki kehendak sendiri, masih terkait dengan iradah dan qudrah Tuhan, di mana pisang sangkal disimbolisasi, bagi pelaku ritual merupakan analog zaman wusana (akhir). Dalam hal ini tindakan tersebut dimaksudkan sebagai cara dan upaya memasrahkan diri kepada takdir Tuhan, atas semua yang sudah dilakukan. Ini merupakan wujud dari tindakan atas firman Tuhan, faidza ‘azamtafatawakkal ‘alallah (jika kamu memiliki keinginan kuat atas sesuatu, dan sudah mengusahakan secara maksimal, maka kemudian bertawakallah kepada Allah).
Penggunaan pisang sebagai ubarampe dalam selamatan juga dikaitkan dengan pelajaran tentang etika kehidupan. Yakni agar pelaku ritual dapat menjalankan hidup sebagaimana watak pisang. Ia dapat hidup di mana saja (ajur ajer), selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Semua bagian dari dirinya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Buah untuk dinikmati manusia dengan kandungan gizi dan vitamin cukup baik. Daun dapat untuk dijadikan pembungkus makanan, bagi sementara orang desa, bisa sebagai tutup kepala di saat musim hujan, dan paling tidak bisa digunakan untuk makanan ternak. Gedebok pisang dapat digunakan sebagai bahan pupuk, yang bagus menjadi keranjang untuk tembakau, juga untuk digunakan dalam berbagai bentuk karya seni. Bahkan sisa bonggol pisang masih dapat dimanfaatkan sebagai penyangga tungku besar pembuat jenang di pedesaan, atau untuk pupuk. Galihnya dapat diambil airnya, yang dapat digunakan sebagai penguat rambut. Kalaupun akhirnya bonggol pisang tetap dibiarkan, maka ia akan menjadi busuk dan menjadi pupuk. Dengan menyajikan pisang, diharapkan pelaku ritual menyadari kekurangan dirinya dalam hal kemanfaatan bagi manusia lain, dan fungsinya dihadirkan di dunia.
Selain buah pisang, ubarampe lain yang sering ditemukan dalam ritual selamatan adalah “jajan pasar” yang lengkapnya terdiri dari: kelapa, padi, pala kependhem, rujak degan, buah asam, cam cao, nanas, kopi, dan lain-lain.
Kelengkapan dari jajan pasar antara daerah satu dengan daerah lain sering berbeda. Akan tetapi esensinya hampir sama, yakni sebagai sedekah untuk keselamatan hidup, terutama selamat dalam bidang ruhani, batin atau selamat dari hal-hal yang berasal dari alam halus, sehingga disebut sebagai “seratan winadi”.
Jajan pasar adalah lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturrahmi), lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar setaman, rokok dan sebagainya.
Dalam jajan pasar juga sering ada uang dalam bentuk “ratusan” yang dalam bahasa Jawa “satus”, yang merupakan simbol dari sat (asat) dan atus (resik). Uang “satus” berarti lambang bahwa manusia telah bersih dari dosa (Endraswara, 2003:199).
Sebagaimana sudah dikemukakan, bahwa salah satu ubarampe ritual Islam Jawa adalah tumpeng. Selain tumpeng yang sudah disebut, masih banyak jenis tumpeng lain seperti tumpeng sangga langit, arga dumilah, megono dan sebagainya.
Salah satu tumpeng yang sering digunakan adalah tumpeng robyong, yang semakin hari semakin estetis bentuknya. Bentuknya adalah seperti kerucut atau gunung. Puncak tumpeng diberi lombok merah, dibawahnya ada bawang merah, disusul dengan berbagai hiasan daun-daunan dan sayur-sayuran kacang panjang. Dasar tumpeng berisi berbagai ubarampe, seperti: ikan, daging, telur, toge, kacang panjang, dan gudangan.
Tumpeng robyong sebagai lambang gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yakni untuk mencapai kemuliaan sejati. Titik puncak juga merupakan wujud dari gambaran kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Tumpeng yang menyerupai gunung (bahasa Jawa meru) melukiskan kemakmuran sejati.
Dalam tradisi mistik Jawa, dari puncak gununglah mengalir air yang menjadi simbol kehidupan. Air menghidupkan berbagai kesuburan. Tumbuhan yang dibentuk robyong disebut sebagai “semi” atau “semen” (tunas bakal hidup) atau hidup itu sendiri. Bakal hidup itu dalam keadaan bersih dan suci, yang dilambangkan dengan tumpeng berwarna putih. Jika bakal hiudpo itu kemudian kelak akan kembali kepada Tuhan, tentu saja harus dalam keadaan suci, sehingga akan mendapatkan pepadhang (penerangan) dan rahayu (keselamatan), atau juga pencerahan. Pepadhang adalah nur (cahaya dari Tuhan) yang dengan itulah manusia akan kembali ke haribaan-Nya secara damai.
Adapun tentang ubarampeyang menjadi pelengkap tumpeng bermacam-macam. Semua disesuaikan dengan keperluan maupun juga karena kondisi tempat atau daerah. Nuansanya sama, bahwa ubarampe tersebut menggambarkan perjalanan hidup manusia dari keberadaan di dunia menjadi keberadaan setelah dunia sekarang ini.
Di antaranya yang sering ditemukan adalah:
- a) Telur, sebagai lambang dari “wiji dadi” (benih) terjadinya manusia.
- b) Bumbu megana (gudangan), merupakan lukisan bakal (embrio) hidup manusia).
- c) Kecambah, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti kecambah.
- d) Kacang panjang. Dalam kehidupan sehari-hari semestinya manusia selalu berpikir panjang (na/ar kang mulur) dan jangan memiliki pikiran yang picik (mulur mungkrete nalar pating saluwir), sehingga akan selalu dapat menanggapi segala hal dan keadaan dengan penuh kesadaran dan bijaksana.
- e) Tomat. Kesadaran akan menimbulkan perbuatan yang gemar mad-sinamadan dan berupaya menjadi jalma limpatseprapat tamat.
- f) Bawang merah (jawa: brambang). Perbuatan yang selalu penuh pertimbangan.
- g) Kangkung. Manusia semacam itu tergolong sebagai manusia yang linangkung (tingkat tinggi).
- h) Bayam (bayem). Karenanya bukan mustahil kalau hidupnya menjadi ayem tentrem (penuh kedamaian dan ketentraman).
- i) Cabe merah (lombok abang). Akhirnya akan muncul keberanian dan tekad untuk menegakkan kebenaran Tuhan.
- j) Ingkung: cita-cita manunggal diwujudkan dengan selalu rijungkung (bersujud), dan diperoleh dengan selalu manekung (muhasabah, khalwat, I'tikaf, semadhi atau tahannuts).
disalin dari Buku "Ritual dan Tradisi Islam Jawa"
karya KH. Muhammad Sholikhin
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini