• Ini Guru Ku, Mana Guru Mu ???


    Bila Para Ulama telah Angkat Bicara, Masihkah engkau mengingkarinya.

    Dalil "Allah tidak butuh pada Tempat"

    Ummat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, tentu mengikuti madzab Asy’ariyyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, sedang dalam fiqih bermadzhab Syafi’i.
    Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah “Allah Tidak Butuh Pada Tempat”:



    Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani (w 1314 H/1897).
    Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsîral-Munîr Li Ma’âlim at-Tanzîl, ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf: 7,“Tsummastawâ ‘alâ al-‘arsy”, sebagai berikut:
    وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِتَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ
    “Dankita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci daritempat dan arah….”[2]
    Mufti BetawiSayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. 
    Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar dikalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ahseperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al-Bâsim FiAthwâr Abi al-Qâsim”, beliau mengatakan:
    “…Tuhanyang maha suci dari pada jihah (arah)…”[3].
    Asy-Syaikh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (w 1321 H/sekitar tahun 1901). 
    Beliau berkata dalam terjemah kitab al-Hikam(dalam bahasa jawa), sebagai berikut:
    “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
    Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”[4].

    KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (w 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). 
    Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbîhât al-Wâjibât”sebagai berikut:
    وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُوَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِوَالْمَكَانِ
    “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha sucidari berbentuk (ber-jism), arah, zaman atau masa dan tempat…”[5].
    KH. Muhammad Hasan al-Genggongi al-Kraksani, Probolinggo (w 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. 
    Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqîdahat-Tauhîd), sebagai berikut:
    وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْبِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ
    فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْوَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ
    “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan(enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”[6].
    KH. Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (w 26 Desember 1959). 
    Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, sebagai berikut:
    “…Jadiamat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatuyang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nyasifat Qiyâmuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa)[7].
    KH. Siradjuddin Abbas (w 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H).
    Beliau mengatakandalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”:
    “…karenaTuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhanakan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”[8].

    Guru Abdul Hadi Isma’il Cipinang Kebembem, Jatinegara, Jakarta Timur dalam bukunya; “Nukilan Ushuluddin Bagi Orang yang Baru Belajar Pokok-pokok Agama”, mengatakan:
    “Bermula jalan tiada bersemayamnya Allah ta’ala pada Dzat-Nya ialah karena Dzat Allah ta’ala itu Qadim bukan jirm (benda) yang mengambil lapangdan bukan jism yang dapat dibagi, dan bukan jawhar fard yangmenerima bandingan”[9].

    Guru Muhammad Thahir Jam’an, Muara Jatinegara Jakarta Timur dalam bukunya “TashfiyatulJanân Fi Tahqîq Mas-alah ‘Aqâ-id al-Îman (Mensucikan hati di dalam menyatakan masalah aqa-idul Iman), mengatakan:
    “(Soal) Apa sebab Allah ta’ala tiada bersamaan bagi segala yang baharu padaDzat-Nya?
    (Jawab) Sebab Dzat Allah ta’ala itu bukan jirm, dan bukan jism dan bukan jawhar fard”[10].

    KH. Sa’id bin Armia, Giren, Kaligayem, Talang, Tegal Jawa Tengah dalam bukunya “Ta’lîmal-Mubtadi-în Fî Aqa-ididdîn”, ad- Dars al-Awwal, dan ad-Dars ats-tsani,hal. 28 mengatakan:
    “Utawiartine sulaya Allah ing ndalem dzat-e tegese dzat-e Allah iku dudu jirim,dzat-e hawadits iku jirim” (Adapun arti Allah berbeda dari semua perkara yanghadits (makhluk) pada Dzat-Nya artinya Dzat Allah bukan jirm (benda) sedangkan dzat makhluk adalah jirm)”[11].
    KH Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (w 1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantrenas-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. 
    Beliau menyatakan dalam risalahnyayang berbahasa Jawa, sebagai berikut:
    “…lanmboten dipun wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidakdiliputi oleh tempat…” [12]
    KH Choer Affandi (w 1996), pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya,Tasikmalaya, Jawa Barat. 
    Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sundayang berjudul “Pangajaran ‘Aqa-id al-Iman”, yang maknanya:
    “(Sifatwajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyâmuhu binafsihi – Allah adadengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepadayang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyâmuhu binafsihi,seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl),Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allahmembutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat)baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”[13].

    KH. AchmadMasduqi dalam bukunya al-Qawâ-id al-Asâsiyyah Li Ahlissunnah Wa al-Jamâ’ah(Konsep Dasar Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah), menuliskan sebagaiberikut:
    “Menurut golongan Ahlussunnah WalJama’ah Tuhan Allah itu tidak bertubuh, tidak berjihat dan tidak memerlukantempat”[14].

    KH. MisbahZaenal Musthafa, Bangilan Tuban Jawa Timur dalam bukunya al-Fushûl al-Arba’îniyyahFî Muhimmat al-Masâ-il ad-Dîniyyah, mengatakan:
    لا يشبهه شىء ليس بجسم ولا عرض ولا مصورولا متحيز، لا يطعم ولا يشرب، لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد، لا يتمكن بمكانولا يجري عليه زمان، ليس له جهة من الجهات الست، ولا هو في جهة منها، لا يحل في حادث".
    “Tidak adasuatu-pun yang menyerupai Allah, Allah bukan jism, ‘aradl, bukan sesuatu yangmemiliki gambar (bentuk), bukan sesuatu yang menempati ruang, tidak makan,tidak minum, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yangmembandingi-Nya, Allah tidak bertempat di suatu tempat dan tidak dilalui olehmasa, Allah tidak menempati salah satu arah dari yang enam, dan Allah bukanbertempat di salah satu arah, Allah tidak menempati sesuatu yang baharu(makhluk)”[15].

    KH. Abdullahbin Nuh dalam bukunya berjudul Menuju Mukmin Sejati terjemahan kitab Minhâjal-‘Âbidîn karya al-Imâm al-Ghazali, menuliskan sebagai berikut:
    “Oleh karena itu i’tiqad bid’ah didalam hati sangat berbahaya, seperti mengi’tiqadkan apa-apa yang nantinya dapatmenyesatkan dia kepada kepercayaan bahwa Allah seperti makhluk, mislanyabetul-betul duduk di dalam arsy, padahal Allah itu laysa kamitslihi syai’un(Tidak ada suatu apapun yang menyeruapi-Nya)”[16].
    Pada bagianlain dalam buku yang sama, beliau menuliskan:
    “Kemudian sebagai kesimpulan, jikaengkau benar-benar memikirkan tentang dalil-dalil perbuatan Allah maka engkauakan yakin bahwa kita mempunyai Tuhan yang maha kuasa, maha mengetahui, hidup,berkehendak, maha mendengar, maha melihat, berfirman dengan firman-firman-Nyayang qadim yang tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya. Maha suci Ia darisegala perkataan yang baru dan iradah yang baru. Maha suci dari segalakekurangan dan kecelaan. Tidak bersifat dengan sifat yang baharu, dan tiadaharus bagi-Nya (artinya tidak boleh) apa-apa yang diharuskan bagi makhluk.Tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu yangmenyamai-Nya. Tidak diliputi oleh tempat dan jihat (arah). Dan tidak kena robahdan cacat”[17].

    Asy-Syaikh Ihsan binMuhammad Dahlan al-Jampesi, Jampes, Kediri, Jawa Timur dalam bukunya berjudul “Sirâjath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn”, menuliskan sebagai berikut:
    ومقدسا عن أن يحويه مكان فيشار إليه أو تضمهجهة، وإنما اختصت السماء برفع الأيدي إليها عند الدعاء لأنها جعلت قبلة الأدعية كماأن الكعبة جعلت قبلة للمصلي يستقبلها في الصلاة ولا يقال إن الله تعالى في جهة الكعبةكما تقدس عن أن يحده زمان
    “… dan Allahmaha suci dari diliputi oleh tempat sehingga bisa ditunjuk, Allah juga mahasuci dari diliputi oleh arah. Sedangkan tangan yang diangkat dan diarahkan kelangit ketika berdoa dikarenakan langit dijadikan sebagai kiblat doasebagaimana Ka’bah dijadikan kiblat bagi orang yang shalat, ia menghadapkepadanya di dalam shalat, dan tidak dikatakan bahwa Allah ta’ala ada di arahka’bah, sebagaimana Allah maha suci dari dibatasi oleh waktu”[18].

    KH. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari, Bekasi, dalam bukunya berjudul Ta’lîqât ‘Alâ Matnal-Jawharah, menuliskan:
    قوله (لكن بلا كيف) أى بلا تكييف للمرئيبكيفيات من كيفيات الحوادث من مقابلة وتحيز وجهة وغير ذلك، قوله (ولا انحصار) أى للمرئيعند الرائي لاستحالة الحدود والنهاية عليه تعالى
    “Perkataannya (asy-SyaikhIbrahim al-Laqqani) “Lâkin Bilâ Kayf” yakni tanpa menyipati Allah yangdilihat dengan sifat-sifat makhluk seperti berhadap-hadapan, menempati ruang,berada di suatu arah dan lain sebagainya. Perkataan al-Laqqani “Wa Lâ Inhishâri”yakni Allah bukan terlihat diliputi oleh suatu tempat karena mustahil bagiAllah ukuran (kecil, sedang, besar, maupun besar yang diandaikan tanpapenghabisan) dan mustahil bagi Allah batas akhir (sebagaimana makhluk memilikibatas akhir)”[19].

    Asy-Syaikh Abu Muhammad Hakim bin Masduqi bin Sulaiman al-Lasemi, Lasem Jawa Tengah dalambukunya berjudul “ad-Dakhâ-ir al-Mufîdah Fî Syarh al-‘Aqîdah”menuliskan sebagai berikut:
    (لكن)رؤيتنا له سبحانه وتعالى (بلا كيفية) من كيفيات الحوادث من مقابلة وجهة وتحيز وغيرذلك، قال تعالى ليس كمثله شىء وهو السميع البصير
    “(Lâkin)tetapi melihat kita kepada Allah (bilâ kaifiyyah) tanpa Allah disifatidengan sifat-sifat makhluk seperti berhadap-hadapan, berada di suatu arah,menempati ruang dan lain sebagainya. Allah ta’ala berfirman yang maknanya:Allah tidak menyerupai sesuatu-pun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatu-punyang menyerupai-Nya, Allah maha mendengar lagi maha melihat”[20].

    KH Abul Fadhol as-Senori, Senori Tuban Jawa Timur dalam karyanya berjudul “ad-Durral-Farîd Fî Syarh Jawharah at-Tawhîd”, menuliskan sebagaiberikut:
    وعرف من ذلك كونه تعالى منزها عن الاستقرارعلى شىء والتمكن فيه وكونه منزها عن الصورة والمقدار مقدسا عن الجهات والأقطار
    “Diketahui dariketerangan ini bahwa Allah ta’ala maha suci dari menetap atau bersemayam diatas sesuatu dan bertempat di dalamnya, dan bahwa Allah maha suci dari gambar danukuran, maha suci dari semua arah, penjuru dan tempat”[21].

    Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dalam bukunya berjudul “Tafsir Qur’an Karim”, menuliskansebagai berikut:
    “Allah tidak bertempat, karena yangbertempat itu ialah makhluk-Nya, sedangkan Allah tidak serupa dengan suatuapapun (QS. Asy-Syura: 11)”[22].

    Asy-Syaikh MahmudMukhtar Cirebon Jawa Barat dalam bukunya berjudul “al-Muqaddimah/al-Mabâdi’al-Mahmûdiyyah Fi al-Masâ-il at-Tawhîdiyyah”, menuliskansebagai berikut:
    كذا قيام له بالنفس قد وجبا * وضد ذاك افتقارفهو لم يقم
    بحال أو بمكان فادر أو زمن * أو يوم أو ليلأو نور ولا ظلم
    “Demikain pulasifat Qiyâmuhu Bi Nafsih tetap bagi-Nya, dan mustahil lawan-nya yaitu iftiqâr(membutuhkan kepada mkhluk), maka Allah tidaklah menempati tempat--ketahuilah-- atau masa, hari, malam, terang, maupun kegelapan”[23].

    Asy-Syaikh MuhammadThayyib ibn Mas’ud al-Banjari, salah seorang ulama alim di wilayah Banjarmasin,dalam kitab karyanya dalam bahasa Melayu berjudul Miftâh al-Jannahmenuliskan sebagai berikut:
    “Dan ke-lima Qiyâmuhu Ta’âla BiNafsihi artinya berdiri Allah ta’âla dengan sendiri-Nya; yakni tiadaberkehendak Ia kepada mahall (tempat), dan tiada berkehendakkepada mukhash-shish (yang mengkhususkan atau yang menciptakan)”[24]
    Pada bagianlain, beliau menuliskan:
    “(Faedah); Ini suatu faedah, ketahuiolehmu bahwasannya sekailan yang maujûd ini (artinya sesuatu yang ada)dengan dinisbahkan bagi kaya dengan sendirinya dan tiadanya itu empat bahagi,pertama; barang yang tiada berkehendak kepada mahall (tempat) dantiada kepada mukhash-shish yaitu Dzat Allah …”[25]
    Juga menuliskan:
    “Maka Qiyâmuhu Bi Nafsih itu ibârah (ungkapan) daripada menafikan berkehendak kepada mahall (tempat)”[26]

    Catatan Kaki
    [1] Berikutini penterjemah hanya mengutip sebagian saja dari pernyataan ulama terkemukaIndonesia, ada banyak tulisan mereka dalam menjelaskan “Allah ada tanpatempat”. InsyaAllah kita terbitkan dalam buku tersendiri.
    [2] at-Tafsir alMunir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm. 282
    [3] az-Zahr al Basimfi Athwar Abi al Qasim, hal. 30
    [4] al Hikam (dalambahasa jawa), hlm. 105
    [5] Muqaddimahat-Tanbihat al Wajibat
    [6] Aqidah at-Tauhid,hlm.3
    [7] Jawab SoalipunMu’taqad seket, hlm. 18
    [8]Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan, hal. 25
    [9] NukilanUshuluddin Bagi Orang yang Baharu Belajar Pokok-pokok Agama, h. 6
    [10] Tashfiyatul JananFi Tahqiq Mas-alah ‘Aqa’idil Iman (Mensucikan hati di dalam menyatakan masalahaqa-idul Iman), hal. 15
    [11] Ta’lîmal-Mubtadi-în Fî Aqa-ididdîn, ad- Dars al-Awwal, hal. 9
    [12] Risalah Tauhidal-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm. 3.
    [13] Pangajaran ‘Aqaidal-Iman, hal. 6-7
    [14] al-Qawa-idal-Asasiyyah Li Ahlissunnah Wal Jama’h (Konsep Dasar Pengertian Ahlussunnah WalJama’ah), hal. 100
    [15] al-Fushulal-Arba’iniyyah Fi Muhimmat al-Masa-il ad-Diniyyah, hal. 11,
    [16] Menuju MukminSejati terjemahan kitab Minhaj al-‘Abidin karya Al-Imâm al-Ghazali, hal. 24,
    [17] Menuju MukminSejati, hlm. 50
    [18] Sirâjath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn, h. 104
    [19] Ta’liqat ‘AlaMatn al-Jawharah, hal. 48-49
    [20] ad-Dakhâ-iral-Mufîdah Fî Syarh al-‘Aqîdah” hal. 17
    [21] ad-Durr al-FaridFi Syarh Jawharah at-Tawhid”, h. 119
    [22] “Tafsir Qur’anKarim”, hal. 805
    [23] al-Muqaddimah  al-Mabadi’ al-Mahmudiyyah Fi al-Masa-ilat-Tawhidiyyah, hal. 4,
    [24] Miftah al-Jannah,h. 7.
    [25] Miftah al-Jannah,h. 7.
    [26] Miftah al-Jannah,h. 7.

    Sumber:

    Dalil Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Silahkan tinggalkan pesan disini

    DAFTAR SEKARANG

    Pendaftaran Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Itqon Patebon, Kendal Tahun Pelajaran 2023/2024 Daftar Sekarang, Kuota Terbatas.

    ALAMAT

    Kebonharjo RT 3 RW 2 Patebon Kendal Jawa Tengah

    EMAIL

    spmalitqon@gmail.com
    mak.alitqon@gmail.com

    TELEPON

    0813-1111-9337

    WHATSAPP

    0813-1111-9337