- Ada apa dengan Cinta Segi Tiga?
- Rahasia dibalik Nongkrong (jawa: Jaduman)
- "Ayah, jangan biarkan sehelai benang pun memisahkanmu dari Allah"
.............. yuk simak kisah sufi berikut ini. "Semoga bermanfaat"
Dia mendapat julukan demikian karena tidak seorang pun di dalam masyarakat sufi yang dapat menerangkan kebenaran mistik seperti dia.
Yang lebih mengagumkan lagi, Abu Sa’id juga dikaruniai Allah kepandaian menulis buku yang dihasilkan dari perenungannya yang mendalam. Sungguh luar biasa karena ia telah mengarang 400 buah buku dengan tema disasosiasi dan kekukuhan dari segala macam pengaruh. Itulah sebabnya ia menjadi seorang tokoh sufi yang sulit dicari tandingannya.
Abu Sa'id berasal dari Baghdad, pernah bertemu dengan Dzun Nun, dan bersahabat baik dengan Bisyr dan Sari As-Saqathi. Dialah tokoh sufi yang pertama kali mengemukakan teori "kelepasan” dan "kelanjutan” dalam pengertian mistis dan memadatkan keseluruhan doktrinnya ke dalam kedua buah istilah ini.
Teologi-teologi tertentu penganut eksoterik (golongan formalis atau ahli fikih) tidak setuju dengan ajaran-ajarannya yang pelik tersebut. Mereka menuduhnya telah berbuat fitnah karena ucapan-ucapan tertentu yang mereka jumpai di dalam karya-karyanya.
Mereka mengecam Kitab Rahasia, khususnya satu bagian buku itu yang tidak dapat mereka pahami sebagaimana yang seharusnya. Di dalam bagian itulah Abu Sa'id mengatakan, "Seorang hamba Allah yang telah kembali kepada-Nya, menautkan dirinya kepada Allah, dan berada di dekat Allah, ia sama sekali lupa kepada dirinya sendiri dan segala sesutu kecuali Allah sehingga apabila engkau bertanya kepadanya, apa yang dicarinya maka tak sesuatu pun jawaban yang diucapkannya kecuali Allah, Allah.”
Bagian lain dalam karya-karya Abu Sa'id yang sering dikecam orang adalah pernyataannya berikut ini:
"Jika kepada salah seorang di antara tokoh-tokoh mistik ini ditanyakan, apakah yang engkau kehendaki? maka jawabannya Allah. Jika di dalam keadaan seperti ini setiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata maka semuanya akan mengatakan Allah karena setiap anggota dan sendi tubuhnya telah bermandikan nur Allah sehingga ia pun hanyut ke dalam Allah. Begitu dekat ia kepada Allah sehingga tak seorang pun dapat mengatakan Allah di depannya karena segala sesuatu yang bergerak dari realitas untuk realitas dan dari Allah kepada Allah. Karena dari manusia kebanyakan, tidak sesuatu pun berasal dari Allah, bagaimanakah mereka dapat mengucapkan Allah. Di sinilah semua akal manusia yang berpikir berakhir di dalam ketakjuban.”
Dengan pandangannya seperti itu, wajar jika Abu Sa'id pernah pula berkata, "Kepada semua manusia diberi pilihan, berada jauh atau dekat kepada Allah. Aku sendiri memilih berada jauh dari Allah karena aku tidak kuat menanggung beban kedekatan itu. Lukman pun pernah berkata kepadaku diberi pilihan, kebijaksanaan atau kesanggupan untuk melihat kejadian di masa mendatang. Lukman memilih kebijaksanaan karena dia tidak kuat menanggung beban dari kesanggupan melihat ke masa depan itu."
Mimpi Bertemu Malaikat dan Nabi saw.
Pada suatu malam, Abu Sa'id bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan bertanya kepadanya, "Apakah kesetiaan itu?”
Abu Sa’id menjawab, “Memenuhi perjanjian dengan Allah"
"Jawabmu benar’' Setelah mendengarkan jawaban Abu Sa’id seperti itu, kedua malaikat itu pun terbang lagi ke langit.
Kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad. Dalam mimpinya, beliau bertanya, "Apakah engkau mencintai aku?”
"Maafkanlah aku sebab cintaku kepada Allah membuatku tak sempat mencintaimu,” jawab Abu Sa'id jujur.
Kemudian Nabi saw. berkata, "Barangsiapa mencintai Allah, sesungguhnya ia mencintaiku pula."
Di hari lain ketika berada di Damaskus, sekali lagi Abu Sa'id bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Sambil ditopang oleh Abu Bakar dan Umar, Nabi saw. menghampirinya. Ketika itu Abu Sa'id sedang menyenandungkan sebait syair sambil menepuk-nepuk dada.
Nabi saw. berkata kepadanya, "Keburukannya lebih besar dari kebaikannya." (Maksudnya jangan suka bersyair).
Apa yang terjadi pada diri Abu Sa'id dalam mimpinya bertemu dengan Rasulullah saw. benar-benar merupakan sentimentil secara horizontal sebab bagaimana mungkin ia tidak mencintai Rasulullah, sedang yang ia amalkan sehari-harinya meneladani sikap dan tindakan beliau?
Jika seseorang bercita-cita menuju Allah (wushul ila Allah atau bermakrifat kepada-Nya, ia diperintahkan untuk meneladani Rasulullah saw. Sebaliknya, jika seseorang meneladani praktik amaliah Rasulullah, berarti ia telah mencintai-Nya. Dalam hidupnya, Rasulullah memang meneladani Allah, sementara Allah memerintahkan kepada kaum muslimin supaya meneladani kepribadian beliau.
Itulah makna "Cinta Segi Tiga" dalam berselawat kepada Nabi saw, Allah berselawat kepada Nabi saw., maksudnya memberikan rahmat-Nya, kemudian Allah memerintahkan kepada kaum mukminin supaya berselawat kepada Rasulullah, sedangkan beliau meneladani akhlak-Nya dalam kehidupan. Kelak di akhirat, Rasulullah akan memberikan syafaat kepada orang-orang yang telah berselawat kepada Nabi saw. (mendoakannya).
Kemudian Abu Sa’id berkata kepada iblis. "Kemarilah!”
Iblis'menjawab, "Apalah dayaku terhadapmu? Engkau telah mencampakkan sesuatu yang dapat kugunakan untuk mencampakkan manusia.”
"Apa itu?” tanya Abu Sa’id.
"Dunia," jawabnya.
Kemudian iblis meninggalkan Abu Sa'id, tetapi belum jauh ia berjalan, lalu menoleh ke belakang dan berkata, "Ada satu hal kecil di dalam diri manusia yang dapat kugunakan untuk mencapai tujuanku."
"Apa itu?” tanya Abu Sa'id.
"Duduk bersama dengan para remaja,” jawab iblis.
"Nak, apakah yang telah dilakukan Allah terhadapmu?" Abu Sa'id bertanya.
"Dia membawaku ke hadirat-Nya dan banyak memberi kebahagiaan kepadaku," jawab putranya.
"Nak, berilah aku sebuah petuah," Abu Sa’id memohon kepada anaknya. -
Putranya menjawab, "Ayah, janganlah berpikiran suram mengenai Allah.”
"Lanjutkanlah!" pinta Abu Sa'id.
"Ayah, jika kukatakan niscaya engkau tidak sanggup melaksanakannya," kata putranya.
"Aku bermohon kepada Allah untuk menguatkan diriku," jawab Abu Sa’id.
’Ayah, jangan biarkan sehelai benang pun memisahkanmu dari Allah,” petuah anaknya.
Setelah mimpi seperti itu, Abu Sa’id tidak pernah melupakan mimpi itu hingga wafatnya.
Demikianlah mimpi seorang ulama dan tokoh sufi, bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bukankah para nabi dan rasuI-Nya dulu juga banyak yang mendapatkan wahyu melalui mimpi?
- Rahasia dibalik Nongkrong (jawa: Jaduman)
- "Ayah, jangan biarkan sehelai benang pun memisahkanmu dari Allah"
.............. yuk simak kisah sufi berikut ini. "Semoga bermanfaat"
Kisah Abu Sa'id Ahmad bin Isa Al-Kharraz
Meski hanya menjadi seorang tukang sepatu, namun Abu Sa'id Ahmad bin Isa Al-Kharraz mendapat julukan “Si Lidah Sufi"Dia mendapat julukan demikian karena tidak seorang pun di dalam masyarakat sufi yang dapat menerangkan kebenaran mistik seperti dia.
Yang lebih mengagumkan lagi, Abu Sa’id juga dikaruniai Allah kepandaian menulis buku yang dihasilkan dari perenungannya yang mendalam. Sungguh luar biasa karena ia telah mengarang 400 buah buku dengan tema disasosiasi dan kekukuhan dari segala macam pengaruh. Itulah sebabnya ia menjadi seorang tokoh sufi yang sulit dicari tandingannya.
Abu Sa'id berasal dari Baghdad, pernah bertemu dengan Dzun Nun, dan bersahabat baik dengan Bisyr dan Sari As-Saqathi. Dialah tokoh sufi yang pertama kali mengemukakan teori "kelepasan” dan "kelanjutan” dalam pengertian mistis dan memadatkan keseluruhan doktrinnya ke dalam kedua buah istilah ini.
Teologi-teologi tertentu penganut eksoterik (golongan formalis atau ahli fikih) tidak setuju dengan ajaran-ajarannya yang pelik tersebut. Mereka menuduhnya telah berbuat fitnah karena ucapan-ucapan tertentu yang mereka jumpai di dalam karya-karyanya.
Mereka mengecam Kitab Rahasia, khususnya satu bagian buku itu yang tidak dapat mereka pahami sebagaimana yang seharusnya. Di dalam bagian itulah Abu Sa'id mengatakan, "Seorang hamba Allah yang telah kembali kepada-Nya, menautkan dirinya kepada Allah, dan berada di dekat Allah, ia sama sekali lupa kepada dirinya sendiri dan segala sesutu kecuali Allah sehingga apabila engkau bertanya kepadanya, apa yang dicarinya maka tak sesuatu pun jawaban yang diucapkannya kecuali Allah, Allah.”
Bagian lain dalam karya-karya Abu Sa'id yang sering dikecam orang adalah pernyataannya berikut ini:
"Jika kepada salah seorang di antara tokoh-tokoh mistik ini ditanyakan, apakah yang engkau kehendaki? maka jawabannya Allah. Jika di dalam keadaan seperti ini setiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata maka semuanya akan mengatakan Allah karena setiap anggota dan sendi tubuhnya telah bermandikan nur Allah sehingga ia pun hanyut ke dalam Allah. Begitu dekat ia kepada Allah sehingga tak seorang pun dapat mengatakan Allah di depannya karena segala sesuatu yang bergerak dari realitas untuk realitas dan dari Allah kepada Allah. Karena dari manusia kebanyakan, tidak sesuatu pun berasal dari Allah, bagaimanakah mereka dapat mengucapkan Allah. Di sinilah semua akal manusia yang berpikir berakhir di dalam ketakjuban.”
Dengan pandangannya seperti itu, wajar jika Abu Sa'id pernah pula berkata, "Kepada semua manusia diberi pilihan, berada jauh atau dekat kepada Allah. Aku sendiri memilih berada jauh dari Allah karena aku tidak kuat menanggung beban kedekatan itu. Lukman pun pernah berkata kepadaku diberi pilihan, kebijaksanaan atau kesanggupan untuk melihat kejadian di masa mendatang. Lukman memilih kebijaksanaan karena dia tidak kuat menanggung beban dari kesanggupan melihat ke masa depan itu."
Mimpi Bertemu Malaikat dan Nabi saw.
Pada suatu malam, Abu Sa'id bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit dan bertanya kepadanya, "Apakah kesetiaan itu?”
Abu Sa’id menjawab, “Memenuhi perjanjian dengan Allah"
"Jawabmu benar’' Setelah mendengarkan jawaban Abu Sa’id seperti itu, kedua malaikat itu pun terbang lagi ke langit.
Kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad. Dalam mimpinya, beliau bertanya, "Apakah engkau mencintai aku?”
"Maafkanlah aku sebab cintaku kepada Allah membuatku tak sempat mencintaimu,” jawab Abu Sa'id jujur.
Kemudian Nabi saw. berkata, "Barangsiapa mencintai Allah, sesungguhnya ia mencintaiku pula."
Di hari lain ketika berada di Damaskus, sekali lagi Abu Sa'id bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Sambil ditopang oleh Abu Bakar dan Umar, Nabi saw. menghampirinya. Ketika itu Abu Sa'id sedang menyenandungkan sebait syair sambil menepuk-nepuk dada.
Nabi saw. berkata kepadanya, "Keburukannya lebih besar dari kebaikannya." (Maksudnya jangan suka bersyair).
Apa yang terjadi pada diri Abu Sa'id dalam mimpinya bertemu dengan Rasulullah saw. benar-benar merupakan sentimentil secara horizontal sebab bagaimana mungkin ia tidak mencintai Rasulullah, sedang yang ia amalkan sehari-harinya meneladani sikap dan tindakan beliau?
Jika seseorang bercita-cita menuju Allah (wushul ila Allah atau bermakrifat kepada-Nya, ia diperintahkan untuk meneladani Rasulullah saw. Sebaliknya, jika seseorang meneladani praktik amaliah Rasulullah, berarti ia telah mencintai-Nya. Dalam hidupnya, Rasulullah memang meneladani Allah, sementara Allah memerintahkan kepada kaum muslimin supaya meneladani kepribadian beliau.
Itulah makna "Cinta Segi Tiga" dalam berselawat kepada Nabi saw, Allah berselawat kepada Nabi saw., maksudnya memberikan rahmat-Nya, kemudian Allah memerintahkan kepada kaum mukminin supaya berselawat kepada Rasulullah, sedangkan beliau meneladani akhlak-Nya dalam kehidupan. Kelak di akhirat, Rasulullah akan memberikan syafaat kepada orang-orang yang telah berselawat kepada Nabi saw. (mendoakannya).
Mimpi Bertemu Iblis
Dalam sebuah mimpi yang lain, Abu Sa'id bertemu dengan iblis. Lalu ia mengambil sebuah tongkat untuk memukulnya. Tetapi di saat itu juga terdengar seruan dari langit, "la tidak takut kepada tongkat itu, yang ditakutinya adalah cahaya di dalam hatimu."Kemudian Abu Sa’id berkata kepada iblis. "Kemarilah!”
Iblis'menjawab, "Apalah dayaku terhadapmu? Engkau telah mencampakkan sesuatu yang dapat kugunakan untuk mencampakkan manusia.”
"Apa itu?” tanya Abu Sa’id.
"Dunia," jawabnya.
Kemudian iblis meninggalkan Abu Sa'id, tetapi belum jauh ia berjalan, lalu menoleh ke belakang dan berkata, "Ada satu hal kecil di dalam diri manusia yang dapat kugunakan untuk mencapai tujuanku."
"Apa itu?” tanya Abu Sa'id.
"Duduk bersama dengan para remaja,” jawab iblis.
Mimpi yang Tak Terlupakan
Abu Sa’id Al-Kharraz mempunyai dua orang putra. Salah satunya telah meninggal dunia. Pada suatu malam, Sa’id Al-Kharraz bermimpi bertemu dengan putranya yang telah meninggal dunia itu."Nak, apakah yang telah dilakukan Allah terhadapmu?" Abu Sa'id bertanya.
"Dia membawaku ke hadirat-Nya dan banyak memberi kebahagiaan kepadaku," jawab putranya.
"Nak, berilah aku sebuah petuah," Abu Sa’id memohon kepada anaknya. -
Putranya menjawab, "Ayah, janganlah berpikiran suram mengenai Allah.”
"Lanjutkanlah!" pinta Abu Sa'id.
"Ayah, jika kukatakan niscaya engkau tidak sanggup melaksanakannya," kata putranya.
"Aku bermohon kepada Allah untuk menguatkan diriku," jawab Abu Sa’id.
’Ayah, jangan biarkan sehelai benang pun memisahkanmu dari Allah,” petuah anaknya.
Setelah mimpi seperti itu, Abu Sa’id tidak pernah melupakan mimpi itu hingga wafatnya.
Demikianlah mimpi seorang ulama dan tokoh sufi, bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bukankah para nabi dan rasuI-Nya dulu juga banyak yang mendapatkan wahyu melalui mimpi?
Sumber Buku "Kisah Para Sufi"
Oleh Wawan Susetya
Oleh Wawan Susetya
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini