Mari kita Simak kisah Sufi berikut ini .....
Abu Bakar Al-Kattani mendapat julukan "Pelita Masjidil Haram” karena ia menetap di kota Mekah hingga wafatnya. Selama itu pula, setiap malam, waktunya diisi dengan salat malam dan membaca Al-Qur'an sampai khatam. Bahkan, ketika thawaf di Kakbah, misalnya, ia bisa membaca 20.000 ayat. Yang mengherankan banyak orang, selama 30 tahun, Abu Bakar duduk sambil berzikir di bawah air mancur di dalam Masjidil Haram. Itulah keperkasaan Abu Bakar Al-Kattani yang tahan tidak tidur sepanjang malam dan bersuci (berwudu) hanya sekali dalam sehari semalam karena selalu menjaga kesuciannya.
Sesaat kemudian, terdengarlah sebuah suara yang berkata di dalam dirinya, Di dalam keadaan yang seperti ini, ketika rahasia-rahasia dari yang gaib hendak dibukakan kepadanya, ia malah berpaling ke arah Kakbah. Oleh karena itu, ia dihukum. Apabila berhadapan dengan Pemilik Rumah (Allah), janganlah engkau berpaling memandangi rumah-Nya."
Pada suatu hari, ketika Abu Bakar Al-Kattani sedang melewati gerbang Batu Syaibah, ada seorang tua berwajah cerah berseri-seri mengenakan sebuah jubah yang anggun menghampirinya. Saat itu, Abu Bakar Al-Kattani sedang berdiri dengan kepala tertunduk. Setelah saling mengucap salam, orang tua itu berkata, "Mengapa engkau tidak pergi ke Maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan ia sedang menyampaikan hadis-hadis yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya!” "Siapa perawi dari hadis-hadis yang dikhotbahkannya itu?” tanya Abu Bakar Al-Kattani.
"Dari Abdullah bin Ma'mar, dari Zhuhri, dari Abu Hurairah, dan dari Muhammad,” jawab orang tua itu.
"Sebuah rantaian para perawi yang panjang,” kata Abu Bakar Al- Kattani. "Segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rantaian panjang para perawi di tempat itu dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini."
"Melalui siapakah engkau mendengar?” tanya orang tua itu.
"Hatiku menyampaikannya kepadaku langsung dari Allah," jawab Abu Bakar Al-Kattani.
"Apa kata-katamu itu dapat dibuktikan?" tanya orang tua itu lagi. "Inilah buktinya,’ kata Abu Bakar Al-Kattani. "Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidir."
Orang tua yang aslinya memang Khidir itu langsung berkata, "Selama ini, aku mengira tidak ada hamba Allah yang tidak kukenal.” Setelah itu Khidir pergi. Sambil berjalan, dia bergumam, "Demi¬kianlah halnya sebelum aku bersua dengan Abu Bakar Al-Kattani. Aku tidak mengenal dia, tetapi dia mengenalku. Sekarang aku sadar bahwa masih ada para hamba Allah yang tidak kukenal, tapi mereka mengenalku."
Kedua, ada seorang kekasih Allah yang diketahui malaikat, tetapi gaib bagi para nabi dan rasul-Nya, termasuk para wali.
Ketiga, ada seorang kekasih Allah yang diketahui para nabi dan
rasul-Nya, tetapi kebanyakan para wali tidak mengetahuinya.
Keempat, ada kekasih Allah yang diketahui oleh kekasih Allah lainnya yang sekelas, sedangkan wali-wali di bawahnya tidak mengetahuinya. Begitu seterusnya hingga "tidak tahu wali kecuali wali” Artinya, sesama kekasih Allah (wali-Nya) saling mengetahui maqam masing-masing di hadapan Allah.
Tiba-tiba, ia melihat mayat yang tersenyum di padang pasir.
"Hei, mengapa engkau dapat tersenyum, padahal engkau sudah mati?” tanya Abu Bakar Al-Kattani keheranan.
"Karena kasih Allah," jawab mayat itu.
Abu Bakar Al-Kattani merenungkannya sambil berjalan. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa perbekalan yang dibawanya masih kurang sehingga ia harus pulang kembali. Sesampainya di rumah, ternyata sang ibu telah menunggu kedatangannya di balik pintu.
”lbu, bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi?" tanya Abu Bakar Al-Kattani.
”Ya," jawab ibunya. "Tetapi tanpa engkau, aku tak sanggup melihat rumah ini. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini terus-menerus. Rupanya perkataan ibunya itu telah menyadarkan Abu Bakar Al- Kattani untuk tidak mengulangi perbuatannya, meninggalkan ibunya seorang diri. Itulah sebabnya, sebelum ibunya meninggal dunia, ia tidak mau mengarungi padang pasir lagi.
"Kesalehan,” jawabnya.
"Di mana tempatmu?" tanya Abu Bakar Al-Kattani.
"Di dalam hati orang-orang yang berduka.”
Tidak lama kemudian, remaja tampan itu menghilang. Setelah itu
muncul seorang perempuan hitam yang sangat mengerikan.
"Siapa engkau ini?" tanya Abu Bakar.
"Gelak tawa, sukaria, dan foya-foya,” jawab perempuan itu.
"Di mana tempatmu?" tanya Abu Bakar Al-Kattani lagi.
"Di dalam hati orang-orang yang berbuat sesuka hati dan orang- orang yang bersenang-senang." Setelah berkata begitu, perempuan itu pun sirna.
Ketika Abu Bakar Al-Kattani terbangun, ia bertekad untuk tidak tertawa seumur hidupnya, kecuali kalau sudah tidak kuasa menahannya.
Sumber Buku "Kisah Para Sufi"
Oleh Wawan Susetya
Kisah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani
Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Kattani lahir di Baghdad. Setelah beranjak dewasa, ia menunaikan ibadah haji ke Mekah lalu menetap di sana hingga wafatnya pada tahun 322 H/934 M. Abu Bakar Al-Kattani merupakan salah seorang anggota dari keluarga Imam Junaid, seorang sufi yang termashyur.Abu Bakar Al-Kattani mendapat julukan "Pelita Masjidil Haram” karena ia menetap di kota Mekah hingga wafatnya. Selama itu pula, setiap malam, waktunya diisi dengan salat malam dan membaca Al-Qur'an sampai khatam. Bahkan, ketika thawaf di Kakbah, misalnya, ia bisa membaca 20.000 ayat. Yang mengherankan banyak orang, selama 30 tahun, Abu Bakar duduk sambil berzikir di bawah air mancur di dalam Masjidil Haram. Itulah keperkasaan Abu Bakar Al-Kattani yang tahan tidak tidur sepanjang malam dan bersuci (berwudu) hanya sekali dalam sehari semalam karena selalu menjaga kesuciannya.
Abu Bakar, Muridnya, dan Khidir
Abu Bakar Al-Kattani mempunyai seorang murid yang sedang sekarat, menantikan ajalnya. Si murid membuka matanya dan me¬mandang ke arah Kakbah. Tepat pada saat itu, seekor unta lewat di depannya dan menyepak mukanya hingga biji matanya tercukil keluar.Sesaat kemudian, terdengarlah sebuah suara yang berkata di dalam dirinya, Di dalam keadaan yang seperti ini, ketika rahasia-rahasia dari yang gaib hendak dibukakan kepadanya, ia malah berpaling ke arah Kakbah. Oleh karena itu, ia dihukum. Apabila berhadapan dengan Pemilik Rumah (Allah), janganlah engkau berpaling memandangi rumah-Nya."
Pada suatu hari, ketika Abu Bakar Al-Kattani sedang melewati gerbang Batu Syaibah, ada seorang tua berwajah cerah berseri-seri mengenakan sebuah jubah yang anggun menghampirinya. Saat itu, Abu Bakar Al-Kattani sedang berdiri dengan kepala tertunduk. Setelah saling mengucap salam, orang tua itu berkata, "Mengapa engkau tidak pergi ke Maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan ia sedang menyampaikan hadis-hadis yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya!” "Siapa perawi dari hadis-hadis yang dikhotbahkannya itu?” tanya Abu Bakar Al-Kattani.
"Dari Abdullah bin Ma'mar, dari Zhuhri, dari Abu Hurairah, dan dari Muhammad,” jawab orang tua itu.
"Sebuah rantaian para perawi yang panjang,” kata Abu Bakar Al- Kattani. "Segala sesuatu yang mereka sampaikan melalui rantaian panjang para perawi di tempat itu dapat kita dengarkan secara langsung di tempat ini."
"Melalui siapakah engkau mendengar?” tanya orang tua itu.
"Hatiku menyampaikannya kepadaku langsung dari Allah," jawab Abu Bakar Al-Kattani.
"Apa kata-katamu itu dapat dibuktikan?" tanya orang tua itu lagi. "Inilah buktinya,’ kata Abu Bakar Al-Kattani. "Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidir."
Orang tua yang aslinya memang Khidir itu langsung berkata, "Selama ini, aku mengira tidak ada hamba Allah yang tidak kukenal.” Setelah itu Khidir pergi. Sambil berjalan, dia bergumam, "Demi¬kianlah halnya sebelum aku bersua dengan Abu Bakar Al-Kattani. Aku tidak mengenal dia, tetapi dia mengenalku. Sekarang aku sadar bahwa masih ada para hamba Allah yang tidak kukenal, tapi mereka mengenalku."
Demikianlah, kekasih Allah itu bertingkat-tingkat.
Pertama, ada seorang kekasih Allah dan hanya Dia yang mengetahuinya, sedangkan para malaikat, rasul, nabi, dan wali-Nya tidak mengetahuinya.Kedua, ada seorang kekasih Allah yang diketahui malaikat, tetapi gaib bagi para nabi dan rasul-Nya, termasuk para wali.
Ketiga, ada seorang kekasih Allah yang diketahui para nabi dan
rasul-Nya, tetapi kebanyakan para wali tidak mengetahuinya.
Keempat, ada kekasih Allah yang diketahui oleh kekasih Allah lainnya yang sekelas, sedangkan wali-wali di bawahnya tidak mengetahuinya. Begitu seterusnya hingga "tidak tahu wali kecuali wali” Artinya, sesama kekasih Allah (wali-Nya) saling mengetahui maqam masing-masing di hadapan Allah.
Gagal Naik Haji
Ketika masih remaja, Abu Bakar Al-Kattani meminta izin kepada ibunya untuk pergi menunaikan ibadah haji, la berangkat menyusuri padang pasir yang luas.Tiba-tiba, ia melihat mayat yang tersenyum di padang pasir.
"Hei, mengapa engkau dapat tersenyum, padahal engkau sudah mati?” tanya Abu Bakar Al-Kattani keheranan.
"Karena kasih Allah," jawab mayat itu.
Abu Bakar Al-Kattani merenungkannya sambil berjalan. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa perbekalan yang dibawanya masih kurang sehingga ia harus pulang kembali. Sesampainya di rumah, ternyata sang ibu telah menunggu kedatangannya di balik pintu.
”lbu, bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi?" tanya Abu Bakar Al-Kattani.
”Ya," jawab ibunya. "Tetapi tanpa engkau, aku tak sanggup melihat rumah ini. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini terus-menerus. Rupanya perkataan ibunya itu telah menyadarkan Abu Bakar Al- Kattani untuk tidak mengulangi perbuatannya, meninggalkan ibunya seorang diri. Itulah sebabnya, sebelum ibunya meninggal dunia, ia tidak mau mengarungi padang pasir lagi.
Mimpi Abu Bakar Al-Kattani
Suatu malam, Abu Bakar Al-Kattani bermimpi ketemu dengan seorang remaja yang berwajah sangat tampan. Kemudian Abu Bakar Al-Kattani bertanya, "Siapa engkau ini?""Kesalehan,” jawabnya.
"Di mana tempatmu?" tanya Abu Bakar Al-Kattani.
"Di dalam hati orang-orang yang berduka.”
Tidak lama kemudian, remaja tampan itu menghilang. Setelah itu
muncul seorang perempuan hitam yang sangat mengerikan.
"Siapa engkau ini?" tanya Abu Bakar.
"Gelak tawa, sukaria, dan foya-foya,” jawab perempuan itu.
"Di mana tempatmu?" tanya Abu Bakar Al-Kattani lagi.
"Di dalam hati orang-orang yang berbuat sesuka hati dan orang- orang yang bersenang-senang." Setelah berkata begitu, perempuan itu pun sirna.
Ketika Abu Bakar Al-Kattani terbangun, ia bertekad untuk tidak tertawa seumur hidupnya, kecuali kalau sudah tidak kuasa menahannya.
Sumber Buku "Kisah Para Sufi"
Oleh Wawan Susetya
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini