Pengalaman Tak Terlupakan di rumah Mbah Mangli
Oleh: Maman Kusmana
Kisah ini sudah
diringkas seperlunya. Pada tahun 1980-an, ketika usia saya masih 20-n, selesai
menghadiri pengajian Mbah pada hari Ahad, setelah sholat dzuhur semua jamaah
membuat pagar manusia dikiri kanan memeberikan kesempatan kepada Mbah untuk
menuju rumah beliau (jarak dari rumah ke masjid lebih kurang 50 m.
Para santri
mengumumkan di masjid berkali-kali: “ketika Mbah menuju rumah jangan ada yg
cium tangan Mbah”. Tapi tetap saja semua orang berusaha menyalami beliau, tapi
beliau jalan terus sambil meletakan tangan beliau sambil bersedakep (meletakan
kedua tangan diatas pusar ketika sholat) dan menghindar untuk dicium tangan.
Tapi Mbah kadang-kadang mengulurkan juga tangannya kepada siapa saja yg Mbah
kehendaki.
Beberapa kyai telah
diterima Mbah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Kemudian saya memberanikan
diri minta ijin kepada santri-santri yang menjaga pintu rumah beliau untuk
bertamu.
Mereka bertanya, saya
berasal dari mana dan ada kepentingan apa. Mereka tidak mengijinkan saya untuk
masuk. Apalagi saya berpakaian biasa saja tidak seperti pakaian ulama. Saya
menjawab, saya dari Cempaka Putih Jakarta, ketika itulah tiba-tiba terdengar
oleh saya suara dari dalam: “kalau yang itu boleh masuk”. Sungguh
terperanjat mendengar suara itu.
Saya dipersilahkan
oleh santri untuk masuk, ternyata sebelum masuk ruang tamu harus melewati dapur
dulu. Ketika itulah saya melihat Mbah memegang centong sedang aduk-aduk nasi
yang dimasak di atas langseng.
Dengan segenap
perasaan saya mencium tangan Mbah, sangat lembut, dan saya dipeluk oleh beliau.
Singkat cerita…… Mbah memberi saya beberapa dus Jenang Mubarok dan surban motif
kotak-kotam hitam putih.
Setelah itu Mbah
memanggil salah seorang jama’ah dan meminta saya untuk mengikutinya. Ternyata
saya diajak naik mobil Peogeot 505 warna hitam dan menurut orang itu Mbah
meminta untuk membawa saya ke rumah Mbah yang di Kudus, saya terperenjat ………………..
Saya terkejut luar
biasa, karena saya dari Jakarta datang ke Yogyakarta beserta isteri yang sedang
hamil 9 bulan mengandung anak pertama, yang menginap di Hotel Madukoro Jalan
Taman Siswa Yogyakarta.
Saya pamit kepada
isteri bahwa saya akan ke Magelang sebentar untuk hadir pengajian Mbah dan
setelah itu langsung segera pulang.
Tentu terjadi sebuah
pergolakan batin yang luar biasa, antara patuh dan thoat kepada ulama yang
sangat saya hormati dan kepada janji dan tanggung jawab saya selaku suami yang
meninggalkan isteri hamil 9 bulan.
Terbayangkan
bagaimana seandainya isteri saya melahirkan, anak pertama pula, siapa yang akan
menolong. Tapi semua rasa galau dan cemas menjadi sirna, ketika saya menyadari
bahwa saya sedang berada dalam pengawasan seorang ulama kekasih Allah SWT, dan
Allah SWT Maha Mengetahui dan Menyayangi kepada hamba-hambaNYA yang berserah
diri.
Singkat cerita saya
sampai dirumah Mbah di Kudus sekitar pukul 19.30 dan Mbah sudah ada disana. Ini
saya ketahui dari mobil yang biasa dipakai beliau Hardtop hitam bernomor (kalau
tidak salah) B 99.
Ketika saya
mengucapkan salam dan Mbah menjawab, maka kalimat pertama yang beliau ucapkan
kepada saya (kalimat ini yang membuat saya menangis): ”Jadi nak maman
meninggalkan isteri di yogya sendirian..? Insya Allah selamat.
Masya Allah,
Subhanallah saya merinding, merinding dan menangis. Bahkan ketika membuat
tulisan ini, pada usia ke 52 tahun, hari ini Kamis, 17 Maret 2011 pukul 14.25
saya mencucurkan air mata.
Ketika itu terjadi
perpaduan antara rasa hormat sampai ke ubun-ubun dan rasa sedih dan bahagia
yang tidak terkira. Saya semakin percaya Kepada Allah SWT Yang Maha mengetahui.
Kepergian saya
meninggalkan isteri adalah atas sepengetahuan Allah SWT, dan Mbah menerjemahkan
kebesaran Allah SWT dihadapan saya. Saya semakin haqqul yakin bahwa Allah itu
Esa dan agama Islam adalah Agama Allah SWT.
Kemudian Mbah membuka
botol Aqua …………….