Yang paling “unik” dan “menarik” dari tradisi keislaman di Banten
adalah prinsip bahwa belajar (ngaji
atau nyantri)
selalu pantas bagi siapa saja, tak peduli dia adalah seorang kiai dengan
ratusan santri. Inilah menurut hemat saya, warisan dari tradisi Banten yang
paling menonjol, citra keislaman yang sangat kental yang perlu dijaga dan
dilestarikan.
Dengan ngaji dan nyantri, atau mendatangi para ulama (meskipun seminggu satu kali),
sesungguhnya seseorang telah membuang sifat takabbur
dan masuk ke maqam tawadlu. Merasa “kurang” akan cabang- cabang keilmuan yang belum dikuasai,
meskipun bagi seorang kiai yang punya santri, adalah sesuatu yang penting. Oleh
karena itu, seseorang masih membutuhkan adanya sosok yang mana—karena wirainya, zuhudnya
dan “tabahhur” dalam keilmuannya—”kita” sangatlah patut mengagungkannya.
Kiai dan umat sangatlah butuh sosok yang fatwa-fatwanya patut
didengar. Sosok yang bisa menjadi pengayom bagi wong
cilik. Sosok yang diamnya adalah
zikir dan kalamnya adalah ilmu. Maka, sosok seperti itu adalah benar-benar
sosok seorang “Abuya”.
Kenapa tidak setiap kiai di Banten disebut “Abuya”? Jawabannya,
sudah begitu terang, karena kiai pun masih butuh figur dan guru yang mumpuni.
Artinya, yang dibutuhkan adalah “otoritas” dan “integritas ulama”. Apakah itu
berarti MUI? Tidak! Kita kurang perlu dengan lembaga MUI, yang bisanya hanya
memberikan lebel “halal-haram” pada produk-produk makanan. Kita kurang perlu
dengan “ulama-ulama formal” seperti mereka yang berada di dalam lembaga itu.
Sebaliknya, yang kita butuhkan adalah seorang ulama yang rasikhah
sebuah kata lain dari ulama yang mengamalkan ilmu- nya (al-ulama al-'amilin)
dan menghindari ilmu yang hanya berhenti di tingkat “wacana” dan “retorika”.
Ketika umat dan kaum muslimin benar-benar merasa terlindungi
dengan kehadirannya, itulah sosok dan benar-benar figur seorang “Abuya”.
Hadirnya dirindukan kaum muslimin. Fatwa-fatwanya dinanti- nanti. Sikapnya
menjadi cermin dan teladan. Dan berkah dari doanya senantiasa diharap-harap.*
Sejak kapankah istilah Abuya begitu populer di Banten? Sangatlah
menarik jika ada yang sanggup mengungkap ihwal mula digunakannya istilah Abuya
untuk seorang ulama, yang dalam tradisi Jawa disebut kiai. Hal itu antara lain,
karena “Abuya” dan “Kiai” posisinya sama-sama punya akses luas dengan sosial
kemasyarakatan. Punya daya rekat (“pemersatu”). Sama- sama figur yang punya haebah (“wibawa”) sehingga tak jarang-jarang para penguasa pun
tertunduk-tunduk merasa dirinya kecil.
Tentu saja, ulama yang mendapat “kredit-titel” seperti itu
hanyalah ulama yang kukuh dan teguh menjaga “independensi” (kemandirian), tidak
merendahkan diri di hadapan umara (“pejabat”)- Yang hanya mau datang ke tempat umara
jika bertujuan li
an-nushhi: memberikan
nasehat-nasehat, menolak madharat, dan membela saudara-saudara seiman yang teraniaya (dizalimi penguasa).
Sebab, selain alasan itu, tentulah kedatangan ulama kepada umara demi tujuan-tujuan sementara, tujuan duniawi.
Sebutan “‘Abuya” berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap
dan diadaptasi oleh budaya-lokal, sebagaimana kalimah-kalimah (kata) lain semisal abi, aba,
ummiy abu, abaya
atau abuya. Terkadang, dalam konteks masyarakat tertentu ada yang memanggil
bapak dengan sebutan “Abah”. Akan tetapi, “Abuya” dalam makna aslinya, padanan
bahasanya kira-kira setara dengan kata “Syaikh” yang berarti orang yang
“dituakan” oleh karena menjadi guru atau pembimbing.
Jika “abi” atau “bapak” (orang tua kandung) adalah sebagai abu
al-jasad (ayah secara
fisik), maka dalam tradisi suluk dan tarekat, posisi guru spiritual adalah sebagai abu
ar-ruh atau bapak bagi jiwa yang
tercerahkan. Dari sini, diharakatinya ya mutakallim dalam kalimah “abuya”—dengan konotasi makna “syaikh”—menunjukkan betapa
dekatnya hubungan antara guru dan murid, sedekat tangan orang hidup yang
memandikan orang mati.
Ini berarti pula, ketika si murid menatap sang guru, leburlah jati
diri si murid oleh figur sang guru sehingga ia tidak lagi menyisakan ruang bagi
dirinya, kecuali— yang terlihat adalah—akhlak dan teladan sang guru. Mungkin,
seperti para sahabat yang menatap akhlak dan teladan nabi?
Oleh karena itu, ungkapan yang tepat adalah: ketika sang Purnama
datang, leburlah kerlip bintang-bintang. Namun ketika cahaya Matahari (yang
merupakan simbol Nur Ilahi) telah meliputi, kerlip bintang-bintang dan sang Purnama pun lebur
karena begitu zhahir dan terangnya Nur
asy-Syamsi. *
ABUYA DIMYATHI
DAN AKHLAK-RABBANY
Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, saya telah berjumpa
dengan para alim dan kiai (semoga Allah
melimpahkan rahmat kepada mereka).
Akan tetapi, ketika saya bertemu dan nyantri di tempat Abuya Dimyathi (Mbah Dim Banten), dengan segera dia
menempati ruang khusus di hati saya. Pengalaman semacam ini, barangkali bukan
hanya berlaku atas diri saya. Sebaliknya, sangat mungkin juga menjadi pengalaman
sebagian besar santri yang menyaksikan langsung praktik fikih, sayari’at, dan thdriqah Mbah Dim dalam kehidupan sehari-hari.
Kepribadian Abuya Dimyathi adalah kepribadian yang menyerap.
Sosoknya senantiasa menjadi pusat perhatian—justru ketika dia lebih ingin
“menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya
dengan ngaji dan bertawajjuh ke hadhratillah.
Sebagai misal, siapakah yang tidak kecil nyalinya, ketika begitu
para santri keluar dari shalat jama’ah shubuh, ternyata di luar telah menanti
dan berdesak-desakan para tamu (sepanjang 100 meter lebih) yang ingin bertemu
Abuya. Dan, hal itu terjadi hampir setiap hari.
Para peziarah Walisanga yang tour keliling Jawa, semisal para peziarah dari Malang, Jember, ataupun
Madura, merasa seakan belum lengkap jika belum mengunjungi ulama Cidahu ini,
untuk sekadar melihat wajah dan nama besar Abuya; untuk sekadar ber- mushafahah (bersalaman—red.) atau meminta air dan berkah doa.
Sosok Mbah Dimyathi Banten—dengan para tamunya yang berjubel—itu
mengingatkan kita kepada sosok Mbah Hamid Pasuruan (seorang kiai dengan wajah
lembut dan halus budi bahasa) yang akhlaknya senantiasa menjadi “bacaan” bagi
orang-orang yang ingin tajam bashirah (“melek ati”). Gus Mik—sang Pemilik Aurad
Dzikrul-Ghafilin
yang sepeninggalnya tetap ramai dikunjungi orang dan auradnya banyak dilantunkan jama’ah-jama’ah adalah salah seorang yang
dikenal dekat dengan Mbah Hamid sekaligus orang yang melakukan “pembacaan”
itu.
Para guru senantiasa berwasiat kepada saya, “Senantiasa
dekat-dekatlah engkau dengan kiai (ulama), yang mana dengan melihat wajahnya,
engkau menjadi ingat kepada Allah!”
Tak pelak lagi, dengan melihat Mbah Dim, maka hati menjadi hidup,
setan pun berlari, dan nafsu menjadi “sirap Inilah makna sebuah riwayat yang
berbunyi: “Melihat wajah seorang ‘alim (bi limi
al-akhirat) pahala-nya adalah
seribu ekor kuda”. Sebab, dengan melihat wajah dan akhlak seorang ulama, kita
menjadi ingat kepada Allah.
Ingatlah Sedulur-Sedulur, para sahabat nabi (meskipun mereka buta huruf) yang melihat
akhlak nabi dalam keseharian adalah orang-orang yang khatam 30 juz Al-Qur’an
berikut tafsir-tafsirnya. Hal itu tak lain karena melihat nabi adalah melihat
“akhlak rabbany”. Tsummal-amtsal,
tsummal-amtsal
(Kemudian, orang-orang yang berada di bawah derajat nabi adalah para ulama yang
alim bi ilmi al-akhirat. Dan karena “ulama akhirat” itu di bawah bayang-bayang nabi, maka
melihat wajah mereka akan senantiasa mengingatkan kita kepada Allah).*
Tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari
bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu.
Sebagai misal, seorang kiai kok teledor dalam masalah
ngaji, atau jadwal ngaji dan shalat jamaahnya kok dikalahkan dengan jadwal lain. Wah, kiai yang seperti ini layak untuk diragukan kekiaiannya.
Terkadang, ada pula seorang kiai yang lebih bangga ketika diundang
dalam hajatan partai ini atau sekadar mengimami doa di partai itu.
Sampai-sampai, ngaji
dan jama’ah pun terbengkalai. Santri tidak terurus.
Dan meskipun karena sesuatu hal seseorang bisa disebut kiai, namun bagaimana
bisa orang yang seperti ini disebut ulama?
Ngaji sebagai Thariqah
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu dan nilai-nilai inilah yang
menjadikan seorang ulama menyandang predikat “pewaris para nabi”, sebagaimana
disebutkan, “Al-ulamau waratsatul-anbiya: Para ulama adalah pewaris nabi-nabi.” Sebab, melalui gaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Dan melalui ngaji pula, seorang santri membuang gelap dan rancunya nalar, lalu
dengan pelan-pelan, dengan sabar dan telaten, menuju terangnya ilmu, yang
berarti “tuntutnya nalar” dan “terangnya berpikir”. Ingin mencapai maqam yang tinggi tanpa ngaji adalah tertipu (maghrur).
Menilik betapa pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah
Dim kepada para santri dan kiai adalah: jangan sampai ngaji
ditinggalkan karena
kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, “Thariqah
aing mah ngajil Ngaji
dan belajar adalah thariqah-ku.” Pesan itu sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin
memberikan tekanan khusus: jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi, demi
sekadar hajatan partai.
Dan memang, Mbah Dim mengungkapkan pernyataannya itu bukan sebatas
retorika belaka. Betapa seriusnya Mbah Dim mengurus masalah yang satu ini, dan
tanpa kecuali. Kepada putera-puterinya (dan tentu saja, kepada para santri)
Mbah Dim menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Tak bisa ditawar
bagi santri, apalagi bagi putera-puterinya.
Mbah Dimyathi tidak akan memulai shalat dan ngaji, kecuali putera-puteranya yang seluruhnya adalah seorang hafizh (hafal Al-Qur’an) itu sudah berada rapi, berjajar di barisan (shaf shalat. Jika belum datang, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu.
Sampai semua hadir, dan shalat jama’ah dimulailah.
Dalam masalah ngaji dan jamaah tersebut, rukhshoh
(keringanan) sebenarnya
juga diberikan Mbah Dim kepada putera-putera tertua. Karena mereka juga harus
mengatur anak-anak dan keluarga, sesekali atau dua kali telat dalam jamaah tidaklah mengapa. Akan tetapi, kelonggaran ini
justru membuat putera-putera tertua itu sungkan karena terkait masalah
keteladanan kepada yang lebih muda dan para santri. Artinya, rukhshoh tidak pernah benar-benar dimanfaatkan begitu saja.
Mbah Dim menerapkan strategi itu, karena yang tua-tua telah lulus
penggemblengan di awal-awal mujahadah. Sebaliknya, untuk putera-putera termuda tidak ada ampun lagi.
Mereka berada di dalam pengawasan ketat Mbah Dim sehingga jama’ah tidak
dimulai ketika mereka belum hadir.
Putera-Puteri sebagai Santri
Wajib ‘ain
hukumnya bagi putera-puteri Mbah Dim untuk mengikuti ngaji.
Bahkan, ngaji
tidak akan dimulai,
fasal-fasal tidak akan, dibuka, kecuali semua putera-puterinya hadir di dalam
majlis. Itulah sekelumit Mbah Dimyathi dan putera-puterinya, yang sejalan
dengan pesan Al-Qur,an: “Qu anfusakum
wa ahlikum naran.
Jagalah diri kamu dan keluargamu dari api neraka!” Sesudah putera-puterinya
hadir, barulah Mbah Dim memerhatikan santri-santri yang lain.
Yang unik, Mbah Dim menerapkan peraturan yang ketat kepada
putera-puterinya bukan semata karena keturunan nasab dan kerabat. Akan tetapi,
Mbah Dim mengangggap putera-puterinya sebagai anak didik dan santrinya. Oleh
karena itu, Mbah Dimyathi adalah seorang ayah sekaligus seorang guru bagi putera-
puterinya. Yang menarik, dalam urusan pendidikan putera-puterinya, Mbah Dim
tidak mau mewakilkannya kepada orang lain. Itulah kenapa, sembilan putera-
puterinya yang seluruhnya hafal Al-Qur’an dan mahir cabang-cabang keilmuan
tentang dinul-islam itu adalah didikan Mbah Dim sendiri. Seakan-akan, fenomena seorang
guru atau “kiai” yang begitu sibuk mengajar anak
orang lain, namun anaknya sendiri (Gus) tidak terurus, adalah hal yang tidak disepakati dan tidak mendapat tempat
pada diri Mbah Dim.
Terkadang, Mbah Dim pun sering humor juga (demi memecah kebisuan
dan suntuknya ngaji di tengah malam), atau sekadar menyemangati santri-santri agar jangan
teledor dalam masalah ngaji. Kata Mbah Dim, “Hai Kediri), (maksud Mbah Dim adalah santri-santri Kediri atau Jawa), antum
pengin keramat gandul, teh?”
Fenomena “keramat gandul” dalam tradisi pesantren adalah: begitu
bapaknya seorang kiai, dengan serta merta puteranya (gus) adalah calon atau
seorang kiai juga (meskipun dengan kapasitas intelektual yang rendah).
Mbah Dimyathi menunjuk Kediri dapatlah di- pahami. Sebab, Kediri
adalah gudangnya pesantren dan kiai. Dan tentu saja, fenomena gus dengan
sekelumit ceritanya yang nyleneh dan unik amat marak. Namun demikian, apakah di Kediri memang semarak
fenomena “keramat gandul”? Untuk masalah ini ditangguh sajalah. Yang jelas,
Mbah Dim mengungkap masalah itu dalam konteks menyemangati para santri, jangan
sampai mereka kendor dalam belajar, meskipun mereka adalah putera seorang kiai.
Mbah Dim pun tidak suka putera-puterinya mengagungkan “nama besar Abuya”— atau
dalam ungkapan Mbah Dim: “keramat Abuya”— tanpa diimbangi dengan perhatian yang
sungguh dalam masalah ilmu.
Dan, dari seluruh kiai yang pernah saya temui, hanya Mbah Dimyathi
Banten yang berani begitu lantang mengatakan, “ Thariqahku adalah ngaji.” Apa pasal?
Ngaji dan
Thariqah Ulama
Pernyataan “ngaji adalah Thariqah' sebagaimana yang sering diungkap oleh Mbah Dim, dapat diungkap dengan
dua cara pandang. Pertama, pernyataan itu merupakan wujud kerendahan dan tawadhu’ dari
seorang ulama Kedua, pernyataan tersebut bermaksud menegaskan status ngaji jika dibandingkan dengan praktik-praktik ibadah yang lain.
“Kiai” atau “pemuka agama” yang secara kebetulan sudah menjadi
panutan, atau sudah mempunyai satu- dua anggota jama’ah, namun kemudian dia tak
mau lagi menyingkap dan membuka kitab para ulama, maka sikapnya yang demikian
itu tidak lain adalah sebuah wujud kesombongan. Rasa sombong itu memang tidak
terasa bagi dirinya. Sebab, sudah banyak orang (awam) yang condong kepadanya.
Ya. Tidak mau ngaji adalah sebuah kesombongan. Sebab, di dalam sikap yang demikian,
diam-diam seseorang merasa “bisa” dan “mampu”. Lalu, seseorang bisa sangat
tertipu dan semakin tergelincir ketika dia yang karena perasaan
“mampu”nya kemudian menyampaikan sebuah keputusan hukum, pernyataan, atau
bahkan penafsiran dengan cara-caranya sendiri.
Bagi seorang panutan (“kiai”) ketika ditanya oleh umat akan suatu
masalah, lalu memberikan suatu jawaban dengan menyampaikan
pernyataan-pernyataan para ulama terdahulu di dalam kitab-kitab mereka adalah
wajib hukumnya. Sebab, suatu masalah haruslah ditimbang dengan dalil-nash, atau melalui sikap nabi, sahabat dan tabi’in, serta penafsiran
para ulama. Bukan jawaban hanya berdasar pada rayu-nya sendiri. Inilah makna terpenting dari “ngaji bagi kiai” itu. Oleh karena itu, bagi yang belum mampu melakukan
pembacaan terhadap pernyataan-pernyataan dan penafsiran para ulama di dalam
kitab-kitab mereka, mencari guru hukumnya wajib.
Akan tetapi, kenapa mesti ngaji. Dan kenapa ngaji sebagai Thariqah segala?
Ilmu li Tashhih al-A’mal
Ngaji adalah jalan yang ditempuh para ulama. Hanya para ulama-lah yang
tahu dan bisa menghargai betapa tingginya “derajat” ngaji dan buah dari ngaji, yaitu ilmu.
Ilmu di dalam dirinya sendiri adalah ibarat cahaya dan mutiara.
Sebagai ungkapan, betapa tingginya dan berharganya ilmu itu! Sebab kalau tidak,
tentulah Allah tidak “meletakkan” sifat “ 'alim” (yang Mengetahui) pada Dzat-Nya yang agung. Sedangkan ilmu dalam
kaitannya dengan praktik-praktik ibadah yang lain adalah sebagai “syarat yang
mutlaq" yang tak bisa ditawar. Tanpa ilmu (pengetahuan) tentang “syarat”
dan “rukun” amal dan ibadah tak ada artinya. Sebab, sesuatu yang masyru’iyyah dalam amal dan ibadah haruslah menetapi kaidah syarat dan rukun,
Tanpa itu, semuanya tertolak, Batal Mardudun la
tuqbalu.
Oleh karena itu, mencari ilmu sebagaimana pernyataan Mbah
Dimyathi, “Al-ilmu li tashhih al-a’mal hukumnya adalah wajib.
Sebab, dengan ilmu itulah amal dan praktik ibadah bisa menjadi “sah” dan
“bersih” dari afat-afat dan penyakit-penyakit yang selalu mengiring! setiap amal
perbuatan.
Di samping semua alasan yang dikemukakan di atas, masih ada alasan
yang paling mendasar mengapa ngaji diutamakan. Khususnya, dalam kaitannya dengan perjalanan seorang
hamba yang ingin mencapai maqam wushul dan berakrab-akrab dengan Allah SWT. Sebab, tanpa ngaji dan ilmu yang memadai seorang hamba (santri) bisa menjadi
bulan-bulanan setan dan nafsu.
Jadi, dengan pernyataan “Thariqahku adalah Ngaji!”, sebenarnya Mbah Dim hendak menunjukkan bahwa jalan yang “tercepat”
dan “aman” bagi seorang hamba untuk mencapai maqam-maqam yang tinggi adalah ngaji. Tidak bisa tidak, karena ngaji merupakan perangkat terbukanya 'kaweruh” dan “makrifat’. Dan, ngaji
adalah asbabul-futuh! *
Karya: H. Murtadho Hadi
Catatan:
Kami hanya sebatas sharing apa yang telah dipublikasikan oleh http://books.google.co.id
Bila anda tertarik dengan buku ini silahkan beli Buku "JEJAK SPIRITUAL ABUYA DIMYATHI" karya H. Murtadho Hadi