Nama Kiai Umar, memang tidak terlalu populer.
Namun di zamannya, kiai yang satu ini cukup terkenal sebagai pejuang NU
yang tangguh. Dialah ayahanda Kiai Khotib Umar, Jember. Nama yang
disebut terakhir ini, sudah tidak asing di telinga warga NU, khususnya
Jawa Timur.
Selain dikenal sebagai sesepuh NU, Kiai Khotib Umar juga dikenal dekat dengan Gus Dur dan keluarganya. Setiap kali berkunjung ke Jember, hampir dipastikan Gus Dur singgah di Sumberwringin, sebutan Pesantren Raudlatul Ulum asuhan Kiai Umar.
Kiai Umar lahir di Desa Suko, Kec. Jelbuk, Kabupten Jember dari pasangan Kiai Ahmad Ikram dan Nyai Aminah tahun 1904 M. Putra sulung dari 4 bersaudara ini bernama asli Abd. Mushowwir. Sejak kecil, ia belajar mengaji kepada ayahnya sendiri. Menjelang remaja, Mushowwir dikirim ke Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Madura
Di pesanteren asuhan KH. Abdul Hamid tersebut, Mushowwir dikenal sebagai santri yang sangat setia mengabdi kepada gurunya. Misalnya, setiap hari ia menimbakan air untuk memenuhi bak mandi sang guru. Diantara teman sepondok Mushowwir saat itu yang kemudian jadi “orang” adalah KH. As’ad Syamsul Arifin (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), KH. Zaini Mun’im (Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo) dan KH. Junaidi Asmuni (Pesantren Bustanul Makmur, Genteng, Banyuwangi).
Setelah cukup lama nyantri, Mushowwir pulang ke Jember. Namun karena Mushowwir selalu dahaga akan ilmu, maka ia pun mondok di Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Kec. Sukowono, Jember yang diasuh paman iparnya, KH. M. Syukri. Tak berapa lama kemudian, Mushowwir pindah ke Pesantren Al-Wafa, Tempurejo, Jember asuhan KH. Abdul Azis, yang tak lain putra gurunya, KH. Abdul Hamid. Mushowwir lalu pindah ke Pesantren Ya’kub Hamdani di Siwalan, Panji, Sidoarjo asuhan KH. Khozin.
Sebenarnya Mushowwir masih ingin mondok beberapa lama lagi di situ, namun seiring berjalannya waktu, Pesantren Raudlatul Ulum membutuhkan tenaga untuk memutar roda pesantren. Lebih-lebih, KH. M. Syukri sudah sakit-sakitan. Maka, Mushowwir memutuskan pulang ke Sumberwringin setelah beberapa bulan menginjakkan kaki di Siwalan. Saat itu, Mushowwir sudah ditunangkan dengan putri satu-satunya KH. M. Syukri. Namanya Shofiah.
Tak lama kemudian, KH. M. Syukri wafat setelah sebelumnya sempat menikahkan putrinya dengan Mushowwir. Sejak saat itulah Mushowwir ditahbiskan menjadi pengasuh Pesantren Raudlatul Ulum, menggantikan mertuanya. Beberapa waktu kemudian, Mushowwir naik haji. Setelah 7 bulan, baru pulang dengan nama baru; KH. Muhamamd Umar. Orang kemudian biasa memanggilnya Kiai Umar.
Ketika Kiai Umar memimpin pesantren, serdadu Belanda tengah giat-giatnya menancapkan kuku kekuasaannya. Tak urung, Raudlatul Ulum pun jadi markas perjuangan di bawah komando Kiai Umar. Karena perannya itu, ia pernah ditahan Belanda. Selain santri, ada sektiar 250 pejuang yang bermarkas di pesantren tersebut. Siang mengaji, malamnya bergerilya.
Saat Jepang berkuasa, Kiai Umar juga menjadi bidikan serdadu Jepang. Itu karena ia berani menolak melakukan Saikere. Sebuah gerakan dengan membungkukkan badan 90 derajat selama beberapa detik untuk menghormati raja Jepang, Tenno Heika.
Setelah Indonesia merdeka, partai Islam bermunculan. Diantaranya NU, Masyumi, Perti dan SI. Sebagai ulama berpengaruh, Kiai Umar tak luput dari incaran partai Islam tersebut. Dan itu jelas membuatnya bingung. Karena itu, Kiai Umar kemudian beristikharah untuk menentukan pilihan. Dalam sebuah mimpi, seolah ia tengah mengikuti rapat akbar, dan di situ semua lambang partai Islam, terpampang jelas. Rasulullah SAW yang juga menghadiri rapat tersebut memberikan isyarat kepada Kiai Umar. “Semua partai ini baik, namun yang paling baik adalah itu (sambil menunjuk lambang NU),” katanya.
Maka sejak itu (1977), mantaplah pilihan Kiai Umar terhadap partai NU. Iapun dilantik sebagai Rois Awwal oleh KH. Ahmad Shiddiq. Kiai Umar all out berkampanye untuk partai NU. Namun dalam setiap kampanye, Kiai Umar intinya berdakwah. Karena itu, orasinya sangat santun, dan tak pernah menyinggung partai lain, apalagi mencaci. Teman seperjuagannya dalam partai NU antara lain; KH. Zaini Mun’im, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Dhofir Salam (Pesantren Al-Fattah, Talangsari), KH. Ahmad Mursyid dan KH. Abd. Hannan (Tanggul).
Kendati sibuk di politik, namun Kiai Umar tak pernah melalaikan kewajibannya mengelola pesantren. Baginya, mendidik santri adalah tugas utama.
Setelah menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Umar sakit-sakitan. Di penghujung tahun 1982, ia wafat. Anak-anaknya sudah siap meneruskan perjuangan sang ayah. Mereka adalah Nyai Hj. Masturoh Umar. KH. Khotib Umar, KH. Muzammil Umar,KH. Misbah Umar dan KH. Lutfi Umar. Kiai Khotib Umar menjadi sesepuh Sumberwringin saat ini. (Aryudi A. Razak).
Sumber: http://www.nu.or.id/
Selain dikenal sebagai sesepuh NU, Kiai Khotib Umar juga dikenal dekat dengan Gus Dur dan keluarganya. Setiap kali berkunjung ke Jember, hampir dipastikan Gus Dur singgah di Sumberwringin, sebutan Pesantren Raudlatul Ulum asuhan Kiai Umar.
Kiai Umar lahir di Desa Suko, Kec. Jelbuk, Kabupten Jember dari pasangan Kiai Ahmad Ikram dan Nyai Aminah tahun 1904 M. Putra sulung dari 4 bersaudara ini bernama asli Abd. Mushowwir. Sejak kecil, ia belajar mengaji kepada ayahnya sendiri. Menjelang remaja, Mushowwir dikirim ke Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, Madura
Di pesanteren asuhan KH. Abdul Hamid tersebut, Mushowwir dikenal sebagai santri yang sangat setia mengabdi kepada gurunya. Misalnya, setiap hari ia menimbakan air untuk memenuhi bak mandi sang guru. Diantara teman sepondok Mushowwir saat itu yang kemudian jadi “orang” adalah KH. As’ad Syamsul Arifin (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), KH. Zaini Mun’im (Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo) dan KH. Junaidi Asmuni (Pesantren Bustanul Makmur, Genteng, Banyuwangi).
Setelah cukup lama nyantri, Mushowwir pulang ke Jember. Namun karena Mushowwir selalu dahaga akan ilmu, maka ia pun mondok di Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Kec. Sukowono, Jember yang diasuh paman iparnya, KH. M. Syukri. Tak berapa lama kemudian, Mushowwir pindah ke Pesantren Al-Wafa, Tempurejo, Jember asuhan KH. Abdul Azis, yang tak lain putra gurunya, KH. Abdul Hamid. Mushowwir lalu pindah ke Pesantren Ya’kub Hamdani di Siwalan, Panji, Sidoarjo asuhan KH. Khozin.
Sebenarnya Mushowwir masih ingin mondok beberapa lama lagi di situ, namun seiring berjalannya waktu, Pesantren Raudlatul Ulum membutuhkan tenaga untuk memutar roda pesantren. Lebih-lebih, KH. M. Syukri sudah sakit-sakitan. Maka, Mushowwir memutuskan pulang ke Sumberwringin setelah beberapa bulan menginjakkan kaki di Siwalan. Saat itu, Mushowwir sudah ditunangkan dengan putri satu-satunya KH. M. Syukri. Namanya Shofiah.
Tak lama kemudian, KH. M. Syukri wafat setelah sebelumnya sempat menikahkan putrinya dengan Mushowwir. Sejak saat itulah Mushowwir ditahbiskan menjadi pengasuh Pesantren Raudlatul Ulum, menggantikan mertuanya. Beberapa waktu kemudian, Mushowwir naik haji. Setelah 7 bulan, baru pulang dengan nama baru; KH. Muhamamd Umar. Orang kemudian biasa memanggilnya Kiai Umar.
Ketika Kiai Umar memimpin pesantren, serdadu Belanda tengah giat-giatnya menancapkan kuku kekuasaannya. Tak urung, Raudlatul Ulum pun jadi markas perjuangan di bawah komando Kiai Umar. Karena perannya itu, ia pernah ditahan Belanda. Selain santri, ada sektiar 250 pejuang yang bermarkas di pesantren tersebut. Siang mengaji, malamnya bergerilya.
Saat Jepang berkuasa, Kiai Umar juga menjadi bidikan serdadu Jepang. Itu karena ia berani menolak melakukan Saikere. Sebuah gerakan dengan membungkukkan badan 90 derajat selama beberapa detik untuk menghormati raja Jepang, Tenno Heika.
Setelah Indonesia merdeka, partai Islam bermunculan. Diantaranya NU, Masyumi, Perti dan SI. Sebagai ulama berpengaruh, Kiai Umar tak luput dari incaran partai Islam tersebut. Dan itu jelas membuatnya bingung. Karena itu, Kiai Umar kemudian beristikharah untuk menentukan pilihan. Dalam sebuah mimpi, seolah ia tengah mengikuti rapat akbar, dan di situ semua lambang partai Islam, terpampang jelas. Rasulullah SAW yang juga menghadiri rapat tersebut memberikan isyarat kepada Kiai Umar. “Semua partai ini baik, namun yang paling baik adalah itu (sambil menunjuk lambang NU),” katanya.
Maka sejak itu (1977), mantaplah pilihan Kiai Umar terhadap partai NU. Iapun dilantik sebagai Rois Awwal oleh KH. Ahmad Shiddiq. Kiai Umar all out berkampanye untuk partai NU. Namun dalam setiap kampanye, Kiai Umar intinya berdakwah. Karena itu, orasinya sangat santun, dan tak pernah menyinggung partai lain, apalagi mencaci. Teman seperjuagannya dalam partai NU antara lain; KH. Zaini Mun’im, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Dhofir Salam (Pesantren Al-Fattah, Talangsari), KH. Ahmad Mursyid dan KH. Abd. Hannan (Tanggul).
Kendati sibuk di politik, namun Kiai Umar tak pernah melalaikan kewajibannya mengelola pesantren. Baginya, mendidik santri adalah tugas utama.
Setelah menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Umar sakit-sakitan. Di penghujung tahun 1982, ia wafat. Anak-anaknya sudah siap meneruskan perjuangan sang ayah. Mereka adalah Nyai Hj. Masturoh Umar. KH. Khotib Umar, KH. Muzammil Umar,KH. Misbah Umar dan KH. Lutfi Umar. Kiai Khotib Umar menjadi sesepuh Sumberwringin saat ini. (Aryudi A. Razak).
Sumber: http://www.nu.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini