Beliau adalah Habib ‘Ali bin
‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Lahir di Kwitang, Jakarta,
pada 20 Jamadil Awwal 1286H / 20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib
‘Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama dan daie yang hidup zuhud, manakala bonda
beliau seorang wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama
Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.
Adapun
kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak,
Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke
Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi,
kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak
dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.
Habib
‘Abdur Rahman ditakdirkan menemui Penciptanya sebelum sempat melihat anaknya
dewasa. Beliau meninggal dunia sewaktu Habib ‘Ali masih kecil. Sebelum wafat,
Habib ‘Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib ‘Ali dihantar ke Hadhramaut
untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di sana. Tatkala berusia lebih kurang
11 tahun, berangkatlah Habib ‘Ali ke Hadhramaut. Tempat pertama yang ditujunya
ialah ke rubath Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau
menekuni belajar dengan para ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah
Shohibul Mawlid Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad
al-’Aydrus, Habib Zain bin ‘Alwi Ba’Abud,
Habib Ahmad bin Hasan al-’Aththas dan Syaikh Hasan bin ‘Awadh. Beliau juga
berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu daripada ulama di sana, antara
gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah),
Sayyidi Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, (pengarang I’aanathuth Thoolibiin
yang masyhur) Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh ‘Umar Hamdan dan ramai lagi.
Ia
dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis
taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya
majelis taklim- majelis taklim di seluruh tanah air. Majelis taklim Habib Ali
di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh
dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu
dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda.
Setiap
Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai
pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi
dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan
salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis
majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin
Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.
Menurut
beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih
dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid,
kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau
akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa
melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah,
ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa
membedakan status sosial.
Dua
tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11
tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. - sesuai wasiat ayahandanya yang kala
itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin
Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin
Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin
Makhdzam.
Di
antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-
Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan
Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang
tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.
Pulang
dari Hadramaut , ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia),
Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-
Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-
Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Ketika
terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali
Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada
kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada
waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan
tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam
memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.
Setelah
itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin
Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad
menggandeng tangan Habib Ali dan menaikannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata
pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara
mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang
lain” (seolah-olah engkau orang lain).
Ia
mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di
madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di
Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid
tersebut pada tahun 1356 H. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga
Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid
Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk
berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid
itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada
pemerintah Hindia Belanda.
Ukuran
tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun
madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya
sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap
bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya
mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di
masjid tersebut.
Habib
Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun,
kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M
di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.
Habib
Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan
para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para
ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali
karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat
menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan) kembali.
Sayyid
Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan
perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan
itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke
berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri
pelajaran - pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang
menghalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh
syariat).”
Pada
salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut,
menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah
mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”
Ternyata
setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah.
Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis
taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih
Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya
Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.
Setelah
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913,
pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka,
Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.
Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah,
kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.
Tahun
1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan
membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada
Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang
mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika
Ar-Rabithah Al- Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut.
Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang - yang kemudian
disiarkan secara khusus oleh RRI Studio Jakarta.
Habib
Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun.
Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita
duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di
Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia
mengajar.
Sejumlah
menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir.
Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar
negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid
Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering
berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai
penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh
akidah Alawiyin.
Ada
kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai
kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi’i,
K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka
dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan
ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu
terus mengumandangkan dakwah Islam.
Harapan
Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya
memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi’i, sejak
1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah, dan K.H. Thahir
Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun
belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.
Tidak
mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-
Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun
Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali
Kwitang.
Betapa
erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari
pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali
Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat
Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah
Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.
Supaya
dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di B ungur, Kiai Syaf’i
Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah
mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika
ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja
memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000.
Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini