Habib Salim bin Jindan-Jakarta, Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Ulama
habaib Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib
berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang
kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring
sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi
(Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir
semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib
Salim bin Jindan - yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab
yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara
lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir
di Surabaya pada 18 Rajab 1324 ( 7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16
Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain
bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para
ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak
usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib
Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad
bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik),
K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin
Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut. Selain itu ia juga berguru kepada Habib
Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu
juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin
menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau
dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari
perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu
agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits.
Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist,
dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid. Mengenai
guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, ”Aku telah berkumpul dan hadir di
majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan
kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi
bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka,
Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan
dan suri tauladan."
Pada
1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga
berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib
Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah
Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang
maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi
Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam
tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia
tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi
munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah
airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman - cinta tanah air adalah sebagian dari
pada iman.
Kembali
Berdakwah Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak
mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau
tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi
nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di
Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia,
Kamboja.
Ketika
berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam.
Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate,
Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti,
Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama
Al-Fakhriah.
Di
masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab
berbagai persoalan - yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika
ia ditanya oleh seorang pendeta, "Habib, yang lebih mulia itu yang masih
hidup atau yang sudah mati?" Maka jawab Habib Salim, "Semua orang
akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah
jadi bangkai." Lalu kata pendeta itu, "Kalau begitu Isa bin Maryam
lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal,
sementara Isa -- menurut keyakinan Habib -- belum mati, masih hidup."
"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam
sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,"
jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam
seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya
memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib
Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak
lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat
pornografi dan kemaksiatan. "Para wanita mestinya jangan membuka aurat
mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau
memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin," kata
Habib Salim kala itu.
Ulama
besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu
ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya
di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu
panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi,
Condet, Jakarta Timur.
Almarhum
meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah
menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan
mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk
haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar
Dinata.
Belakangan,
nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama
pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug,
Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim
dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim - dua putra almarhum Habib Novel.
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami.
Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah
yang sulit dijangkau," kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada
sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap
diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak
keluarga. "Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati
keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari
orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah
(perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding
nasehat orang lain.”
Disarikan
dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini