Al-Habib
Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas dilahirkan di kota Hajeriem, Hadramaut,
pada tahun 1255 H. Pada masa kecilnya, beliau mendapat didikan langsung dari
ayah beliau Al-Habib Abdullah bin Thalib Alatas. Setelah dirasakan cukup
menimba ilmu dari ayahnya, beliau kemudian meneruskan menuntut ilmu kepada para
ulama besar yang ada di Hadramaut. Diantara para guru beliau adalah :
-
Al-Habib Hasan bin Ali Alkaff
-
Al-Habib Al-Qutub Sholeh bin Abdullah Alatas
-
Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas
-
Al-Habib Al-Qutub Thahir bin Umar Alhaddad
-
Al-Habib Al-Qutub Idrus bin Umar Alhabsyi
-
Al-Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh Al-Bahar
-
Al-Habib Muhammad bin Ibrahim Balfagih
Setelah
ditempa oleh para ulama besar bahkan para Qutub yang ada di Hadramaut saat itu,
keinginan beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus. Hasrat
beliau untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehingga untuk itu beliau kemudian
melakukan perjalanan ke kota Makkah. Beliau banyak menjumpai ulama-ulama besar
yang tinggal di kota Makkah saat itu. Kesempatan baik ini tak beliau
sia-siakan. Beliau berguru kepada mereka. Diantara ulama-ulama besar yang
menjadi guru beliau disana adalah :
-
As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Makkah
saat itu)
-
Al-Habib Abdullah bin Muhammad Alhabsyi
-
Asy-Syaikh Muhammad bin Said Babsail
-
Al-Habib Salim bin Ahmad Alatas
Beliau
Al-Habib Ahmad dengan giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka. Sehingga tak
terasa sudah 12 tahun beliau jalani untuk menimba ilmu disana. Beliau terus
mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama
diakui oleh para ulama kota Makkah saat itu.
Beliau
kemudian dianjurkan oleh guru beliau, As-Sayyid Al-Allamah Ahmad bin Zaini
Dahlan, untuk memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Mula- mula beliau berdakwah di pinggiran kota Makkah. Beliau tinggal disana
selama 7 tahun. Dalam kurun waktu itu, kegiatan dakwah selalu aktif beliau
lakukan disana.
Kemudian
beliau berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan dakwah beliau ke Indonesia.
Beliau sampai disini diperkirakan sekitar tahun 1295-1300 H. Setibanya beliau
di Indonesia, beliau menuju ke kota Pekalongan dan menetap disana.
Di
kota Pekalongan beliau selalu aktif meneruskan kegiatan-kegiatan dakwahnya.
Beliau tidak ambil pusing dengan urusan-urusan duniawi. Semua fikrah beliau
semata ditujukan untuk kepentingan dakwah. Waktu beliau selalu terisi dengan
dakwah, ibadah, dzikir kepada Allah dan rajin membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Selain itu, ilmu beliau selalu tampak bercahaya, terpancar melalui akhlak
beliau yang mulia. Beliau selalu berperilaku baik, penyayang dan lemah lembut
terhadap sesama.
Akan
tetapi itupun tidak meniadakan sikap beliau yang selalu ber-nahi mungkar. Jika
beliau melihat seseorang yang melakukan suatu kemungkaran, beliau tidak
segan-segan untuk menegurnya. Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut
beliau, selalu beliau ucapkan dengan shidq. Beliau tidak perduli terhadap
siapapun jika ada hak-hak Allah yang dilanggar di hadapan beliau. Sehingga
berkat beliau, izzul Islam wal Muslimin tampak terang benderang, menyinari kota
Pekalongan.
Disamping
itu, dari sebagian jasa-jasa baik beliau, beliau membangun beberapa masjid dan
madrasah Salafiyah, yang berjalan pada thariqah para salaf beliau yang shaleh.
Rumah beliau selalu penuh dengan tamu dan beliau sambut dengan ramah-tamah.
Inilah akhlak beliau yang mensuri-tauladani akhlak dan perilaku datuk-datuk
beliau.
Sampai
akhirnya beliau dipangil ke hadirat Allah, pergi menuju keridhaan Allah. Beliau
wafat pada tanggal 24 Rajab 1347 H di kota Pekalongan dan dimakamkan disana.
Masyarakat berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah.
Derai keharuan sangat terasa, membawa suasana syahdu...
Selang setahun kepergian beliau, untuk menghidupkan
kembali kesuri-tauladan dan mengenang jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di
kota tersebut diadakan Haul beliau. Haul tersebut banyak dihadiri oleh berbagai
kalangan umat Islam. Mereka berduyun- duyun dari berbagai kota hadir disana,
demi mengenang kehidupan beliau.demi menjemput datangnya nafaahat dan imdaadat.
Radliyallahu 'anhu.
—————————————————————————————–
Subject: Menengok Perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah From: Muhammad Lutfi |
Tiba-tiba
saja Kotamadya Pekalongan menjadi lebih semarak pada 21-23 November
lalu. Ratusan bus dan mobil dari berbagai daerah memasuki kota ‘batik’,
ini dengan membawa ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di
Jawa. Belum lagi mereka yang datang dengan kereta api. Bahkan ada jamaah
dari luar Jawa yang datang dengan pesawat atau kapal laut melalui
Semarang. Akibatnya, sejumlah losmen di kota ini menjadi kewalahan
hingga tidak dapat lagi menerima para tamu, termasuk Hotel Nirwana,
hotel paling bergengsi di kota itu. Padahal, bagian terbesar dari para
tamu itu menginap di rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan tempat
khaul seorang ulama besar Pekalongan.
Membanjirnya
umat Islam ke Pekalongan, yang waktunya bersamaan dengan Muktamar NU di
Lirboyo, Kediri, adalah untuk menghadiri khaul atau peringatan wafatnya
ke-73 Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Dari jumlah umat
Islam yang datang dari berbagai tempat untuk menghadiri khaul itu
menunjukkan, bahwa sekalipun ia telah meninggal dunia hampir tiga
perempat abad lalu, tapi hingga kini kiprah perjuangannya masih tetap
dikenang. Memperingati khaul untuk mengenang seorang tokoh agama dengan
berbagai acara, di Indonesia merupakan tradisi yang banyak dilakukan
oleh warga Nahdliyin dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum.
Khaul
ke-73 Habib Ahmad sendiri berlangsung pada hari Senin (22/11) atau
bertepatan dengan 14 Sya’ban 1420 Hijriah dengan mengadakan ziarah ke
makam almarhum. Berbagai acara yang digelar dalam rangkaian khaul ini
ialah, pada hari Ahad (21/12), diadakan pembacaan Dala’il al-Khaerat,
berisi shalawat puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu
dibawakan oleh almarhum di dalam majelis-majelisnya semasa ia hidup.
Ribuan
santri dan jamaah yang berdatangan dari kodya dan kabupaten Pekalongan
serta berbagai tempat lainnya, duduk mengitari makam Habib Ahmad di
ruang khusus berukuran sekitar 10×20 meter, di pemakaman umum Sapuro,
Pekalongan. Mereka seolah-olah larut dalam kesahduan ketika dengan suara
keras menggeleng-gelengkan kepala bershalawat dan berzikir kepada Allah
SWT.
Menurut
seorang penjaga makam di Sapuro, tiga hari sebelum acara khaul telah
berdatangan kaum Muslimin dan Muslimat dengan menggunakan sembilan bus
dari Purwokerto, Bogor, Sukaraja, Semarang, dan Demak. Mereka berziarah
hingga larut malam. Sebagaimana terjadi tiap tahun, penjaga makam ini
meyakini, bahwa sampai dua hari setelah acara khaul tempat ini masih
terus didatangi para penziarah.
Seperti
dituturkan oleh Haji Wagio, 40, sehari sebelum acara khaul, ia dan
rombongannya datang dari Surabaya ke Pekalongan dengan 23 buah bus
patas. Tiap bus memuat 70 orang. Menurut Wagio, kunjungannya ke
Pekalongan ini dalam rangka ‘Tour Ziarah Walisongo dan Khaul Akbar’.
Mengingat para jamaah bukan saja dari Surabaya, tapi juga dari berbagai
tempat di Jatim, menurut Wagio, ini menunjukkan bahwa Habib Ahmad
dikenal cukup luas di Jawa Timur.
Rombongan
yang berjumlah hampir 1.500 orang ini, bermalam di sekitar rumah-rumah
penduduk yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk mereka. Sedangkan
untuk makam dan minum, disediakan oleh tuan rumah, yang dipimpin oleh
Habib Abdullah Bagir Alatas, cicit almarhum. Rumah almarhum sendiri,
yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan yang bagian
depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan keagamaan,
juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib Bagir sendiri
merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah ayahnya Habib
Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad (19/12), seminggu
sebelum acara khaul.
Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari,
salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada
murid-muridnya selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di
Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama
16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring
hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya.
Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits
belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.
Amar ma’ruf nahi munkar
Pada puncak acara khaul, yang berlangsung Senin (22/11), dibacakan manakib
atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Ia
dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836
Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama,
ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal
lainnya.
Kemudian,
ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan Madinah. Sekalipun
mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal di kedua Kota
Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan
dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid Ahmad Zaini
Dahlan. Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di Mekkah yang
memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri maupun
negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai dari
Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan, Madura, dan
Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri NU dan
kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha, tokoh
ulama Betawi akhir abad ke-19.
Di
antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah adalah
Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab Saudi,
pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah
usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan
kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu
ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran
Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena
berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.
Setelah
tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke Hadramaut.
Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa
terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang
banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping
untuk berdagang juga menyebarkan agama.
Setibanya
di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang
dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam, maka tergeraklah
hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan
kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam Masjid Wakaf
yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian ia membangun
dan memperluas masjid tersebut.
Di
samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca
Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba’i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Ia juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran).
Melihat
suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib
Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang letaknya
berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah
Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama. Madrasah
ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib Abdullah
Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang kemudian
berkembang di kota-kota lain.
Menurut
sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau
mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu tampil dengan
rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.
Kendati
demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ”Beliau tidak dapat
mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang
meremehkan soal agama.” Seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang
tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang
melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.
Sebagai
contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang di depan
kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak peduli
wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup kepala
bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen
Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup
kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini
sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan,
setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai
perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak
dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap
perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani
melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.
Keberaniannya dalam menindak yang munkar
itu, rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. ”Saya
heran dengan Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat
Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi,” kata Habib Ahmad bin Hasan
Alatas, seorang ulama dari Hadramaut.
Habib
Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl
Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal
pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia
mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan
pengajian.
Penderitaan
ini berlanjut hingga meninggalnya pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau
1928 M, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kodya
Pekalongan. Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14
Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri
ribuan orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura,
Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ketika
ia meninggal dunia, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan dan
sekitarnya mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir.
”Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti
ketika wafatnya Habib Ahmad,” kata Habib Alwi Alatas, 70, salah seorang
kerabatnya.
Karena
itulah, setiap khaulnya selalu dihadiri oleh ulama terkemuka, termasuk
almarhum KH Abdullah Syafe’i, dan kini putranya KH Abdul Rasyid AS,
serta KH Abdurrahman Nawi, dari Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini