K.H. ABDUL HAMID PASURUAN (BAGIAN I)
(Dari buku biografi K.H Abdul Hamidi)
Tahu sebelum dikasih tahu
Kiai Hamid di anugrahi mengetahui apa yang ada di benak orang Misykat misalnya, dia sering tertebak apa yang ada dibenaknya. "Beliau tahu apa maunya orang" katanya. "Saya kalau ada apa-apa belum bilang beliau sudah menjawab".
Hal yang sama dialami Gus Shobich Ubay, Ahmad Afandi, Syamsul Huda, Gus Hadi Ahmad, dll. Rata-rata mereka punya pengalaman, sebelum sempat mengadu, diberi jawaban terlebih dahulu.
Said Amdad Pasuruan, dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional.Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor kemana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia ingin mengetes, "Saya ingin diberi makan Kiai hamid. Coba dia tahu apa tidak" katanya dalam hati ketika pulang dari Surabaya. Setiba di Pasuruan dia langsung ke pondok Salafiyah pesantrennya Kiai Hamid.
Waktu itu pas mau jamaah sholat isya' usai sholat isya ia tidak langsung keluar, membaca wirid dulu. Sekitar pukul 20.30 WIB, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan. Dia melangkah keluar, Dia melihat orang melambaikan tangan dari rumah Kiai Hamid. Dia pun menghampiri. Ternyata yang melambaikan tangan adalah tuan rumah alias Kiai Hamid. "Makan disini ya" kata beliau.
Diruang tengah hidangan sudah ditata. "Maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih" kata Kiai Hamid dengan ramahnya. Said merasa di sindir, sejak itu dia percaya Kiai hamid adalah seorang wali.
Kambing Mau Datang, Kiai Hamid Tahu.
Kiai Hamid adalah seorang yang kasyaf. Berkat kasyaf-nya atau kemampuan clairvoyance ini, beliau bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu kali Misykat di beri pisang oleh Kiai Hamid. "Ini makan, kulitnya kasihkan kambing" katanya. Padahal tidak ada kambing, ya kulitnya dia buang. Habis ashar dia dipanggil "Mana kulit pisangnya?" tanyanya. "Saya buang, Yai" jawabnya. "Lho, disuruh kasihkan kambing kambing tapi kok di buang" kata Kiai Hamid. Ternyata tidak lama kemudian ada orang mengantar kambing.
Pada kali yang lain misykat disuruh menyediakan lauk daging ayam. "Bilang sama Nyai, Yai ingin makan ayam" katanya. "Tidak ada daging ayam besok aja kita motong", kata Nyai. Lepas maghrib misykat dipanggil lagi. "Lihat diatas meja itu kan daging ayam" kata beliau. Ternyata betul diatas meja ada daging ayam yang baru saja diantar orang.
Tiba-tiba ada yang pulang.
Suatu malam beliau pergi ke Madura bersama keluarga dalam satu mobil. Beliau, Nyai Nafisah dan Gus Idris. Sampai di pelabuhan Tanjung Perak, ternyata sudah 15 mobil yang antri. Sementara kapal yang hendak mengangkut mereka belum datang, Kapal tersebut adalah kapal terakhir dalam jadwal hari itu. Padahal satu kapal hanya bisa memuat 15 mobil. Kiai Hamid menyuruh kang Said, sopir, tetap disitu. Eh, tahu-tahu mobil di depannya memutar balik, mungkin tak sabar menunggu atau apa.
Masih cerita Gus Idris, Mahfuzh Hafizh Surabaya mau pergi haji. Oleh Kiai Hamid ia dibekali 3 biji kurma. Disuruh menanam di Makkah. Sebelum berangkat, temannya di Jakarta yang juga mau berangkat ke Makkah, memaksa minta satu biji kurma tadi. Terpaksa diberikan. Di Makkah mahfuzh mendapat musibah, ayah dan adiknya meninggal dunia. Sedangkan dari rombongan temannya dari Jakarta tadi. Ada seorang yang wafat di tanah suci.
Asmawi Memanen Uang
Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar hutang yang jatuh tempo. Jumlahnya Rp. 300.000,- jumlah itu sangat besar untuk ukuran waktu itu. Hutang itu buat pembangunan masjid.
Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Darimana ia bisa memperoleh uang sebanyak itu? Pikirannya jadi buntu. Dia melapor ke Kiai Hamid. "Laopo nangis sik onok yai, (mengapa menangis masih ada kiai)" beliau menghibur. Lalu Kiai menyuruh menggoyang-goyangkan pohon kelengkeng di depan rumah beliau. Daun-daun yang berguguran disuruh ambil, diserahkan kepada Kiai Hamid. Beliau meletakan tangannya dibelakang tubuh, terus memasukannya ke saku. Begitu dikeluarkan ternyata daun-daun di tangannya berubah menjadi uang kertas. Beliau menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng satunya lagi. Daunnya diambil, terus tangan beliau dibawa kebelakang tubuh (punggung) lalu dimasukkkan ke saku dan daun-daunnya sudah menjadi uang kertas. Setelah dihitung ternyata jumlahnya Rp 225.000,- Alhamdulilah masih kurang Rp. 75.000,- Tiba-tiba ada tamu datang memberi Kia Hamid Rp. 75.000,- jadi pas.
Mengoperasi perut
Gus Zaki di serang penyakit maag yang parah. Serasa tak kuat, ia sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga datang mendoakan. Kiai aqib, Nyai Nafisah hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal, Kiai Ahmad Sahal. Semua sudah menjenguk kecuali Kiai Hamid. Dokter Ham sudah dipanggil.
Karena sakitnya masih tak ketulungan, Guz Zaki menyuruh orang untuk memanggil dr. Ham lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang ya sabar aja" Kata dr. Ham. Dia tidak mau datang.
Sekitar pukul 23:30 WIB,Maimunah istrinya yang setia menunggu pergi ke dapur untuk merebus air. Sebab air dibotol sudah dingin (oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol berisi air hangat tersebut ditempel di perut).
Ketika di tinggal sendirian itulah Gus Zaki dikejutkan oleh kedatangan Kiai Hamid yang begitu tiba-tiba di dalam kamar. Entah darimana masuknya beliau. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal beliau memperhatikan telapak tangan itu seperti ada kabek-kabel. "Ini biar saya ganti saja ya, sudah lapuk" katanya, entah apa maksudnya lantas telapak tangan kanan itu ditempelkan ke perut Gus Zaki. Tiba-tiba ia merasakan perutnya enakan, hingga hilang rasa sakitnya. Di suruh duduk, eh ternyata tidak apa-apa. Padahal sebelumnya bergerak sedikit saja sudah sakit.
"Keburu ada orang ini biarkan saja Ki nanti nyambung sendiri." Kata beliau menunjuk perut Gas Zaki, sebelum bergeser pergi. Setelah di tinggal pergi barulah Gus Zaki merasakan kejanggalan. "Darimana masuknya beliau?"pikir dia. Apa betul itu Kiai Hamid, kok nggak ngasih uang? Sebab biasanya Kiai Hamid tidak pernah absen memberi uang".
Sejurus kemudian Ning Muna masuk kamar dia kaget melihat suaminya sudah bisa duduk. "Sampeyan ini bagaimana kok sudah bisa duduk" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang sudah tidak karuan "kalau jatuh bagaimana?" pikirnya. "Ini siapa yang mindah?" tanyanya.
Gus Zaki yang masih bengong tidak menggubris kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan dan pintu belakang" katanya. Dengan penuh tanda tanya Ning Muna menurut.
"Semua terkunci, memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kiai Hamid" jawab Gus Zaki sambil menceritakan semua yang dialaminya.
Esoknya habis sholat subuh Kiai Hamid datang. "Bagaimana keadaanmu?" tanya beliau. "Alhamdulilah, sudah baik, iya tadi malam..." sampai disitu kata-katanya dipotong oleh Kiai Hamid."Sudah, sudah..." kata beliau sambil meletakan telunjuk tangannya di mulut. Beliau lalu memberi Gus Zaki uang Rp. 500,- lantas pergi lagi. Gus Zaki berpikir rupanya beliau membayar "utangnya" tadi malam.
Nara sumber : K.H. Hasyim Muzadi (Ketua PB NU)
KH. Abdul Hamid dan Pondok Pesantren Al Hikam, Malang
Disamping memiliki jabatan sebagai Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi adalah juga pimpinan pondok pesantren Al Hikam, Malang. Sebelum pondok pesantren Al Hikam berdiri, KH. Abdul Hamid pernah berkata kepada KH. Anwar, Bululawang, bahwa kelak suatu hari KH. Hasyim Muzadi akan membangun pondok pesantrennya di sebelah utara rumahnya. Kebenaran dari ucapan KH. Abdul Hamid tersebut sekarang terbukti, yaitu KH. Hasyim Muzadi akhirnya menjadi pimpinan pondok pesantren yang beliau bangun tepat disebelah utara rumahnya, hal ini persis seperti yang dikatakan oleh KH. Abdul Hamid kepada KH. Anwar, Bululawang. Padahal tanah yang saat ini menjadi lokasi pondok pesantren yang dipimpin oleh K.H Hasyim Muzadi pada awalnya adalah tanah milik orang lain
http://ceritaulama.blogspot.com/
Filosofi Pohon Kelapa
(Kisah ketawadlu’an Kyai Hamid Pasuruan)
Hal inilah yang pernah dialami oleh Ust. H. Syamsul huda, seniman kaligrafi berkaliber nasional jebolan Pondok Pesantren Salafiyah. Selain sangat ahli dalam masalah seni tulis dan lukis kaligrafi, beliau juga sangat ahli dalam masalah ilmu Nahwu.
Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul masih mengajar ilmu nahwu di Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba’da shalat shubuh Ust. Syamsul mulai mondar mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak didiknya mendapat nilai bagus semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang lumayan relatif, seperti l`yaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada satu dua anak yang dapat niali merah.
Sudah hampir jam masuk sekolah Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah. Ketika itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang terlihat seperti orang linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust. Syamsul.
“Sul… ayo melok aku.” (Sul… Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang kini mengisi jajaran staf pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di shtu Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih sedikit buahnya.
“Sul…awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi degan langsung di ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes dadi kelopo kadang sekdipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken iku uwite nggak kuat engkok”.
(Sul… apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan jadi kelapa semuanya. Ya ada yang terjatuh, ada yang masih jadi degan akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah dimakan sama tupai dulu. Coba kamu pikir, kalau bunga itu jadi kelapa semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai Hamid. Belum Ust. Syamsul menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi. “anggepen ae wet kelopo iku mau guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok mane sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune, biso-biso lek nggak kuat guru iku mau biso ngomong “ikiloh didikanku, dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat sombong.
Paham awakmu Sul? Lek paham wes ndang ngajaro, sekolahe wes wayahe melebu.” (anggap saja pohon kelapa itu tadi adalah guru. Kalau ada seorang guru yang muridnya sukses semua itu sangat sulit. Ya pastinya ada yang nilainya jelek, ada yang nilainya biasa-biasa, dan ada juga yang nilainya bagus. Nanti kalau nilai muridnya bagus semua yang kasihan adalah gurunya. Bisa-bisa guru tersebut berbicara “ini loh, anak didikku, semuanya sukses, siapa dulu gurunya” lah, akhirnya bisa menimbulkan sifat sombong.
Kamu paham Sul? Kalau paham cepat mengajar, sudah waktunya jam masuk sekolah.) tambah Kiai Hamid. Tanpa menjawab Ust. Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid. Subhanalloh … padahal, Ust Syamsul masih bercerita sedikit pun, akan tetapi sudah menjawab semua yang dikeluhkan oleh Ust. Syamsul, dengan menggunakan sebuah filosofi pohon kelapa.
Setiba dikelas Ust. Syamsul masih terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi. “benar juga apa yang dikatakan oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust. Syamsul dalam hati. Sebaiknya cerita ini bisa menjadi ibrah bagi para guru, agar tidak terlalu berkecil hati ketika ada satu-dua anak didiknya yang didak mampu pada pelajaran yang guru ajarkan. Dibalik itu semua pasti aka nada hikmahnya…
http://risalahatiku46.blogspot.com/