TRADISI KEISLAMAN: MASYARAKAT BANTEN, MADURA, DAN LOMBOK
Sebelum mengungkap sosok Mbah Dim, ada baik- nya kita sedikit
menilik ihwal tradisi keislaman di Banten. Akan tetapi, karena di bumi persada
ini setidaknya ada tiga masyarakat yang memiliki tradisi keislaman yang unik,
yakni masyarakat Madura, Lombok, dan Banten sendiri, maka pertanyaan yang layak
diajukan adalah: apakah perbedaan antara tradisi keislaman masyarakat Banten,
Madura, dan Lombok?
Secara mudah, orang awam seperti saya ini tentu akan mengatakan
bahwa ketiga masyarakat tersebut adalah masyarakat yang kukuh memegang syar'i.
Hal ini adalah kesan yang umum. Bagaimana dalam kenyataan sesungguhnya, orang
berhak untuk mempertanyakannya.
Yang jelas, masyarakat Lombok adalah masyarakat yang gemar
membikin masjid dan memperindahnya. Oleh karena itu, tak mengherankan jika
dalam setiap jarak 100 meter berdiri megah sebuah masjid. Bahkan, tak jarang
ada dua buah masjid yang hanya dipisahkan oleh jalan raya.
Selain itu, ada pula keunikan yang lain dari masyarakat Lombok.
Dalam masyarakat lombok, ketika seorang lelaki hendak meminang, ia harus melalui sebuah perjuangan, yakni “mencuri” mempelai wanita. Barangkali,
karena tradisi inilah, masyarakat Lombok dijuluki sebagai “masyarakat seribu
masjid sejuta pencuri”.
Di luar itu semua, tentang “citra keislaman” dan tersebarnya
syari’at, Lombok tak bisa melupakan jasa- jasa para ''alim,
yang penduduk sekitar menyebutnya dengan panggilan akrab: “Sang Tuan Guru”.
Adapun tentang kukuhnya orang Madura memegang syara
dan kepatuhan mereka terhadap tradisi, amatlah banyak cerita-cerita beredar,
hingga ada yang dibikin humor dan anekdot. Misalnya, seorang kawan santri dari Madura
berkisah ihwal tetangganya yang biasa judi dan sabung ayam di pasar-pasar pun
masih tetap berpeci dan bersarung.
Namun yang jelas, secara umum orang-orang Madura adalah
orang-orang yang patuh tradisi, sangat pintar dalam memuliakan tamu
(sebagaimana “budaya Magelangan” ketika menyuguh dan hurmat
para tamu), dan yang paling menonjol mereka sangat “tinggi” dalam menjunjung
dan menghargai ulama.
Setelah sekilas mengenal tradisi Lombok dan Madura, khususnya
tentang tradisi para santri, dapat- lah kita bertanya, “Apakah yang paling
memberikan citra kuat tentang Banten? Apakah Banten dengan debusnya? Apakah
Banten dengan para jawara dan ilmu-ilmu hikmahnya?
Diakui atau tidak, debus dan ilmu hikmah adalah hal-hal yang baru
dan menarik bagi para santri, dan apalagi bagi orang luar. Akan tetapi, jika
kita berkenan sedikit menengok sejarah Kasultanan Banten dan sejarah para
ulama, maka kajian yang terakhir ini pun tak kalah menariknya, terutama
menyangkut masalah kentalnya “budaya kasultanan” yang terkait dengan menyatunya
fikih-tasawuf yang menjadi tradisi masyarakat Banten dan menjadi warisan para
kiai dan ulama. Pula, kajian tentang fenomena “Abuya”, yakni sebuah gelar
kemasyarakatan atau sebutan untuk sosok ulama kharismatik bagi masyarakat
Banten.
Sesuatu yang menyangkut tentang kenapa “budaya kasultanan” begitu
kental melingkupi masyarakat Banten, biarlah hal ini diteliti oleh para
akademisi. Sedangkan sesuatu yang menyangkut masalah-masalah “ringan”, masalah
kecil yang terkadang bernuansa humor di bilik pondok pesantren, biarlah ini
yang menjadi fokus perhatian saya, meskipun nanti secara selintas akan saya
uraikan pula ihwal “kultur santri” dan “prakuk fikih dan tasawuf yang kereng ala
kasultanan” di Pesantren Cidahu. Hanya saja, dua hal yang terakhir ini tetap
merupakan kejadian di sebuah pondok pesantren asuhan Abuya Dimyathi, Cidahu
Pandeglang (Banten); sebuah pesantren yang sudah termasyhur sebagai pondok yang
mendidik santrinya dengan thariqah (jalan sufi para ulama salaf)—ah, jika hal itu terdengar begitu “wah” dan “angker”, anggaplah
bahwa yang mempraktik- kan thariqah secara sungguh-sungguh adalah Mbah Dim dan putera-puterinya,
sedangkan orang-orang yang sepadan dengan saya, yang lebih tepat untuk
dikatakan adalah merdi-merdi atau pura-pura mencintai jalan yang ditempuh para ulama.*
Karya: H. Murtadho Hadi