Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan
Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal
dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok
Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.
Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan
gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu
kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk
tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Masa Menuntut Ilmu Agama
HIJRAH KE PESANTREN
Mas’ud sudah resmi menetap di Batavia.
Dari tempat yang jauh itu terkadang ia terbayang kampung halamannya.
Teringat akan ayah ibunya, saudara‑saudaranya atau teman sebayanya.
Dalam hati ia bertekad tak akan mengecewakan harapan orang tuanya. “Daku
harus belajar dengan sungguh‑sungguh, aku harus berhemat agar orang
tuaku tak memikul beban yang berat, aku harus pulang sukses, dengan
menggondol nama kebesaran Dr. Mas Mas’ud Utsman. ” Pernyataan itulah
yang selalu dicamkan dalam hatinya. la membayangkan betapa bangga dan
bahagianya kedua orangtua dan saudara‑saudaranya bila kelak dirinya
sukses menjadi seorang Sarjana, keluarganya akan turut terhormat.
Tiba‑tiba sepucuk surat datang. Sebuah
surat dari Ploso. Kabar apa gerangan yang disampaikan oleh keluarganya
dalam surat tersebut. Sebagaimana lazimnya seorang mahasiswa yang jauh
dirantau, hatinya dag‑dig‑dug harap‑harap cemas, karena tak mampu
menahan rasa penasaran.
Isi surat itu sungguh diluar dugaan, Mas’ud diminta segera pulang ke Ploso, padahal kehadirannya di Batavia belumlah lama.
Pak Naib beserta istri tengah menunggu
kedatangan anaknya di Ploso. Dari hari ke hari sejak surat telah
terkirim pasangan suami istri itu terus menunggu dengan sabar. Akhimya
datang juga yang ditunggu‑tunggu.
Mas’ud merasa lega dan bahagia berada
kembali di tengah‑tengah keluarganya, demikian pula kedua orang tuanya
merasa bersyukur nienerima kedatangan anaknya dengan selamat. Pak Naib
tahu kalau Mas’ud sangat lelah diperjalanan, oleh karena itu disuruhnya
makan terlebih dahulu dan kemudian istirahat secukupnya. Rasanya belum
pantaslah untuk melakukan pembicaraan serius dalam kondisi lelah seperti
itu. Namun diam‑diam sebenarnya kedua orang tua itu menyimpan tanda
tanya besar yang belum terjawab. Bagaimanakah perasaan Mas’ud dengan
digagalkannya kuliah di Fakultas Kedokteran? Tidakkah anak itu kecewa
atau putus asa? Dan macam‑macam peraasan berkecamuk di hati kedua orang
tua itu.
Akan tetapi keduanya telah mantap dalam
mengambil keputusan bahwa saran Kyai Ma’ruf mesti dilaksanakan dan tak
dapat ditawar‑tawar. Doa selalu dipanjatkannya kepada Allah semoga
Mas’ud diberi‑Nya petunjuk untuk menerima kebenaran.
Kemudian setelah semuanya merasa tenang,
Pak Naib, Bu Naib dan Mas’ud duduk bersama, layaknya bagaikan sidang
kecil‑kecilan. “Ada yang perlu kita bicarakan,” begitulah Pak Naib &
mengawali pembicaraan. Lalu Pak Naib menceritakan apa yang teriadi
selama Mas’ud tidak ada di rumah. Bahwa Kyai Ma’ruf tidak nienyetujui
perihal kuliahnya di Fakultas Kedokteran, Orang tua itu menjelaskan
keinginan nya agar Mas’ud melepaskan cita-citanya untuk menjadi dokter.
Kini dia harus pindah kedunia baru, dunia Pondok Pesantren. Mas’ud
terdiam sambil merunduk hormat, tetapi dalam benaknya dia tengah
memikirkan jawaban apa yang akan disampaikannya. Rasanya tak mungkin dia
akan membantah keinginan orang tuanya, lebih‑lebih pencetusnya adalah
Kyai Ma’ruf seorang ‘ulama yang disegani oleh setiap orang termasuk Pak
Naib serta Mas’ud sendiri. Apalagi sebagai anak yang berbakti kepada ibu
bapaknya tak akan ada pilihan lain kecuali menyerah sebulat‑bulatnya
mentaati apa yang diperintahkan kedua orang tuanya.
Kemudian Mas’ud menjawab dengan pasti
tanpa ada keraguan, dia tak keberatan dengan kehendak orang tuanya.
Suatu jawaban yang tulus ikhlas bukan atas dasar keterpaksaan.
Pak Naib dan Bu Naib sangat terharu dan
senang. Alhamdulillah, gayung telah bersambut. Seketika itu beliau
terkenang kemballi kepada nasihat‑nasihat Kyai Ma’ruf. Dahulu Kyai
itulah yang menganjurkan kepadanya untuk rajin‑rajin bersilaturohmi
dengan pari ‘ulama agar anaknya menjadi orang alim, Ialu Kyai itu pula
yang menganjurkan Mas’ud untuk pindah ke Pesantren. Harapan-harapannya
sebagai orang tua diwarnai perasaan optimis, mungkin Mas’ud inilah yang
akan muncul sebagai kenyataan dari firasat Kyai Ma’ruf. Pak Naib hanyut
dengan perasaannya sendiri, dalam hati beliau berdo’a semoga anaknya
benar‑benar menjadi anak yang sholeh, berilmu dan beramal. Sehingga
kelak dihari akhirat anak ini akan tampil sebagai penolong dari segala
kesulitin yang menimpa. Beliau terus berdo’a dan berdo’a.
Bagaimana dengan Mas’ud? Kecewakah ia ?
Cengsi kah ia dikatakan dokter droup out? Tidak! Tidak sania sekali,
Mas’ud h.ukan anak kecil lagi. Dia sudah etikup de‑wasa menghadapi
berbagai persoalan. Dia percaya orang tuanya punya niat yang baik, cinta
dan kasih orang tuanya tak pernah diragukannya. “Ridlo orang tua
jaminan kesuksesan,” begitu semboyannya. Dia nampak sangat siap untuk
segera memasuki pintu gerbang Pondok Pesantren.
***
Mas’ud memasuki dunia Pondok Pesantren
setelah menginjak dewasa, usianya sudah mencapai hampir 16 tahun. Tetapi
pemuda yang selalu haus dahaga akan ilmu pengetahuan itu bergumam It’s
never late to learn (Tak ada istilah terlambat untuk belajar). Bukankah
Rasulullah Saw telah bersabda :
اطلب العلم من المهد الى اللحد
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian ibu
sampai ke liang lahad.” Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan Long life
education jauh sebelum dunia barat menemukannya.
Dengan ucapan bismillahirrohmannirrohim
berangkatlah ia ke Pondok Gondanglegi diantarkan Pak Naib dengan
mengendarai dokar yang ditarik si Konang. Maka resmilah Mas’ud diterima
sebagai murid KH Ahmad Sholeh Condanglegi Nganjuk, seorang ulama yang
terkenal alim dalam bidang ulumul qur’an.
Di Pondok inilah Mas’ud mendalami
ilmu‑ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an khususnya tajwid disamping ia
juga belajar kitab Al‑Ajrumiyah pelajaran tata bahasa Arab tingkat dasar
dan lebih dikenal dengan nama ilmu Nahwu.1
Perlu diketahni bahwa ada sesuatu yang
ajaib yang hanya dapat dirasakan oleh orang‑orang yang belajar ilmu
agama dengan penuh kesungguhan disertai dengan himmah yang tinggi.
Ketika telah diperoleh kefahaman, kemudian ilmu itu masuk ke dalam dada,
meskipun cuma setetes terasa nikmat luar biasa, tenang dan tenteram
terasa dihati, seolah‑olah perkara lain tak ada artinya sama sekali.
Sangat berbeda dengan belajar ilmu‑ilmu dunia saja, kian menumpuk
pengetahuan yang didapat malahan seringkali mendatangkan kegelisahan.
Terbayanglah ijazah, terbayanglah gelar, kekuasaan, kemewahan dan istri
cantik. Dan tatkala ilmu‑ilmu dunia telah sampai pada klimaksnya,
jadilah pemiliknya seorang pakar yang dikagumi. Lambat laun sang pakar
merasakan kehebatan dirinya, terkadang dianggaplah dirinya sebagai The
best (yang terbaik) dan tak terkalahkan lagi sedangkan orang lain
dianggap sepele dan bodoh. Itulah awal kesombongan dan keangkuhan yang
membawa kesesatan. Tidak jarang yang akhirnya tergelincir tidak
menjalankan ibadah lupa pada Tuhan.
Agaknya sejak di Gondanglegi Mas’ud sudah
merasakan nikmat dan lezatnya ilmu agama, dia telah mabuk kepayang di
lautan ilmu Allah yang tidak mengenal batas. Bukankah sebelum masuk
Pesantren dia telah mengalami bagaimana rasanya menjadi pelajar dan
mahasiswa? dipuja dan disanjung oleh orang lain. Semua itu tak ada
artinya sama sekali apabila dibandingkan dengan kenikmatan yang
dirasakan di Pesantren.
Diapun berjanji dalam hati untuk
bersungguh-sungguh menekuni pelajaran. Konon, selama belajar di Pondok
Mas’ud tak pernah tidur dengan sengaja. la hanya tidur apabila tertidur.
Hampir seluruh waktunya untuk belajar dan terus belajar. Itulah
sebabnya dia sudah mampu menguasai ilmu‑ilmu Al-Qur’an dan kitab
Al‑Ajrumiyah hanya dalam tempo 6 bulan saja.2)
***
Dasar ilmu Nahwu sudah dikantonginya di
Gondanglegi. la ingin mencari lagi dasar ilmu shorof, sebab ada makalah
yang mengatakan Nahwu adalah apak ilmu pengetahuan sedang shorof adalah
ibunya. Berarti Mas’ud baru berhasil meraih bapak ilmu, pantaslah kalau
ia segera pamit dari Gondanglegi untuk selanjutnya belajar di Pondok
Sono‑Sidoarjo.3) Pondok kedua yang dimasukinya ini sangat terkenal
menonjol dalam bidang ilmu shorof khususnya pelajaran Tashrifan, Di
Pondok inilah Mas’ud khusus belajar tashrif. Tidak didapatkan keterangan
yang pasti mengenai. berapa lama ia belajar di Pondok ini, yang jelas
tidak sampai setahun.
Akhirnya ia kembali lagi ke daerah
Nganjuk ingin melanjutkan di Pondok Mojosari, berguru kepada Kyai
Zainuddin yang sangat masyhur dimasa itu. Namun sebelumnya dia sempat
mondok di Sekarputih Nganjuk untuk beberapa lama menimba ilmu dari KH
Abdul Rohman pengasuh pondok tersebut. Pemuda Mas’ud sang pendatang baru
di dunia Pondok Pesantren ini nampaknya benar‑benar haus akan ilmu
agama, ia ingin mengejar ilmu dimanapun berada dari satu tempat ke
tempat yang lain. Bagaikan seorang pemburu yang tak mengenal ngarai,
tebing dan jurang.
MOJOSARI PENUH KENANGAN
MOJOSARI PENUH KENANGAN
Mengiktiti kisah panjang perjalanan hidup
pemuda Mas’ud belumlah lengkap kalau tidak mengungkap cerita Pondok
Mojosari sekaligus Kyai Zainuddin pengasuhnya, karena dipondok inilah
Mas’ud menemui jati dirinya sebagai calon ulama dikemudian hari. Ke
pondok inilah dia melanjutkan petualangan mencari ilmu setelah dari
Gondanglegi, Sono dan Sekarputih. Dari tujuh pondok yang disinggahinya
selama hidup pondok inilah yang paling lama ia huni. Sampai akhirnya ia
mempersunting putri angkat Kyai Zainuddin guru utamanya. Apabila anda
hanya menggunakan akal, mungkin tak akan percaya kalau Pondok Mojosari
telah menelorkan banyak ulama. Apalagi kita hanya memandang lewat
kacamata sistem pendidikan modern belaka.
Pondok berusia tua yang didirikan oleh
KH. Ali Imron beratus‑ratus tahun yang lampau ini memang tergolong cukup
antik dan aneh (kontroversial). Bila anda datang bertamu kesana mungkin
akan merasa kaget atau asing. Seringkali ada tamu atau santri baru yang
datang langsung disambut oleh para santri Mojosari, Ialu digendong
beramai‑ramai sambil dibacakan sholawat. Bila santri barit ini berani
membalas dengan kata‑kata kontan dimasukkan kedalam kamar dan diambilkan
pentung, kemudian penggojlokan dilanjutkan. Tidak main‑main apabila
masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.4)
Oleh‑oleh berupa rokok, jajan atau uang
recehan tak segan‑segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata
beramai‑ramai. Saat penulis mengadakan penelitian ke pondok ini, suasana
semacam itu masih terjadi.
Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan
marah, sehingga mengadukan hal ini Iangsung kepada Kyai. Pada zaman Kyai
Zainuddin’ masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang
bertingkah kurang etis tersebut, bahkan sampai memukul‑mukul dengan
tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat
berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya Kyai pasrah menganggapnya sebagai
suatu suratan pembawaan dari pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka
nakal, ibarat padi mereka inasih muda wajarlah kalau tengadah, nanti
jika mereka sudah berisi akan merunduk dengan sendirinya,” begitu
ungkapan beliau.5)
Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama
sekali tak ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu
atau santri baru, gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk
melatih kesabaran dan memperkuat mental dalam menerima cobaan.
Sebagaimana layaknya perpeloncoan untuk mahasiswa baru di universitas.
Suasana setiap hari di Pondok Mojosari
sangat berbeda dengan pondok‑pondok Salafiyah pada umumnya. Di pondok
ini tidak nampak santri‑santri tekun belajar, melakukan riyadloh atau
tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak santri yang
bergerombol bersenda gurati, ngobrol dengan bebas, yang penting mereka
mengaji dengan tertib dan rajin sholat berjamaah.
Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah
sesama santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib
nampak sangat menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan
jajan untuk dimakan besok pagi, semuanya mesti dibagi‑bagi.
Ada lagi yang lebih antik, pada zaman
dahulu belum ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri
seluruhnya mandi ke sungai. Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila
telanjang bulat dari kamarnya bergerombol menuju sungai, padahal
santri‑santri pada zaman itu sudah besar‑besar, suatu pemandangan yang
sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari ikan dan
tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan)
sesama santri tidak hanya sampai disitu, sudah menjadi kebiasaan pula
apabila mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai‑ramai) dan
banyak lagi contoh yang lain.6)
***
Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal
usulnya.7) Alkisah, KH Ali Imron asal Grobogan Purwodadi Semarang
tatkala masih muda pergi berguru kepada Kyai Salimin di Lasem Jawa
Tengah. Suatu malam Kyai Salimin keluar melihat‑lihat santrinya yang
tengah nyenyak tidur dilokasi pondok. Tiba‑tiba beliau melihat pancaran
sinar yang keltiar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati
santri tersebut dan sarungnya diikatkan, Ialu esok paginva semua santri
ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu
setelah dirasa cukup ilmu yang diperoleh Kyai Salimin memilihnya menjadi
menantu dan menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan
kemudian didirikan Pondok Pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari
sekarang ini.
Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim
kepada gurunya, Kyai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang
diperintahkan. Dijalaninya tirakat luar biasa sampai bertahun‑tahun
lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para
penghuni rimba raya yang terdiri dari macan, ular jin dan hantu bukan
perkara yang ringan. Rupanya Kyai Ali Imron sangat dekat dengan Allah
Sang pemilik hutan dan jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat
yang sanggup merintanginya dan akhirnya sukseslah beliau mengemban
amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya benar‑benar mengeluarkan
daya kekuatan bathin yang luar biasa dan doa‑doanya sangat makbul.
Di tengah‑tengah tirakat yang amat berat
itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar. “Santri‑santri yang
belajar di Pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam‑macam,
seluruh tirakat aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan
tekun disini, Insya Allah diberkahi”. Sebuah nadzar yang makbul dan
menjadi kenyataan dikemudian hari.
Mantapnya keyakinan para santri Mojosari
akan keampuhan nadzar Kyai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di
Pondok Mojosari. Para santri benar‑benar tidak menjalani tirakat
semata‑mata mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini
terus berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Tak
terkecuali pada priode kepemimpinan KH. Zainuddin, tatkala Mas’ud
menuntut ilmu di pondok tersebut.
SIAPAKAH KYAI ZAINUDDIN?
KH. Zainuddin berasal dari Padangan
Bojonegoro ‑ jatim dimasa mudanya ia belajar di Pondok Langitan Babat,
Sudah menjadi tradisi yang baik di kalangan para ulama untuk menjodohkan
putrinya dengan santri‑santri berbobot., Begitu pula dengan Kyai
Zainuddin, karena prestasinya yang menonjol beliau Ialu dijadikan
menantu oleh gurunya, kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan
Pondok Mojosari.
Beliau tampil pada urutan kelima sebagai
pengasuh terhitung dari KH Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat
kepribadian dan kepemimpinan Kyai Zainuddin yang agung nama pondok
Mojosari melejit ke segenap penjuru.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai
waliyulloh, namun aktivitas sehari‑harinya tak beda dengan petani-petani
desa yang bersahaja, karomahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan
beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh,
tugas‑tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqomah. Setelah selesai
mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun
jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawatil Qur’an
dan lain‑lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt sampai menjelang
shubuh. Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari rumah
mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar‑putar
di sekitar pekarangan yang dipadati dengan pohon buah‑buahan. Beliau
mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau
sisa kelelawar. Makanan itu cukup Iezat untuk sarapan ternaknya besok
pagi. Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri
di Pondok, disebutnya nama masing‑masing santri yang dibangunkannya.
Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal. Apabila musini dingin
telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi, untuk mengatasinya
Kyai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling membawa
wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian
ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum
bangun, tak peduli tamu atau bukan. Beliau memang memiliki sifat humor
sehingga santri‑santri menjadi sangat akrab dengannya. Santri yang
terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu mulai bergerak bangun,
namun lucunya Kyai Zainuddin dengan sigap segera bersembunyi di balik
pintu tak beda dengan anak‑anak yang bermain kucing‑kucingan. Apabila si
santri merapikan kembali selimut atau sarungnya, karena enggan bangun,
dengan sangat sabar beliau mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai
akhirnya si santri bangun dengan sendirinya. Untuk santri‑santri yang
masih juga membandel diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng
bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si
santripun bisa marah seketika sambil berteriak: “Wo nakal ! Mbeling
nganggo lengo gas.”
Dan si santri hanya bisa tersenyum
tersipu‑sipu malu ketika tahu pelakunya adalah Kyai yang mengajak
sholat. Begitu juga ketika adzan Dhuhur berkumandang Kyai Zainuddin naik
ke masjid lebih awal dan dengan penuh kesabaran beliau
memanggil‑manggil santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, Ayo
sembahyang Co,” seru beliau berulang‑ulang. 8)
Pengajian yang beliau asuh amat banyak,
dari kitab kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau
mengganti pakaian dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi,
kandang kambing, ayam, bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara
binatang dari sapi sampai kucing, seakan‑akan rumahnya mirip kebun
binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan memberi makan
binatang‑binatang peliharaannya, beliau sendiri turun tangan
membagi‑bagi makanan menunjukkan bahwa Kyai ini benar‑benar seorang
penyayang binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan,
sehingga kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali,
apalagi halaman atau kamar-kamar rumahnya.
Adalah budi pekerti yang pantas
diteladani disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya
agama yang menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita
lebih kotor dari orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda
Nabi Saw
النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ
Namun sampah berserakan dibawahnya. Kyai
Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunah Rosul, tetapi beliau
praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering
disampaikannya kepada para santri Co, ojo Iali karo ayat :
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
(Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri)
Syariat Islam dijalankannya dengan nyata
dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari‑hari beliau mengolah tanah
pertanian secukupnya, beliau sendiri sering memegang pacul menanam
singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khoriqul
‘adah dihadapan masyarakat.9)
Akan tetapi sepandai‑pandai menyimpan
durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kyai Zainuddin, banyak
ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu ketika KH Hasyim Asy’ari
(Pendiri dan Rois Akbar NU) membuat surat edaran untuk meluruskan acara
perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari dinilai
kurang Islami. Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang
wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan
perayaan Maulid. Seponsornya adalah santri‑santri dari Blitar, Jombang,
Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim, malam harinya
Kyai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia sholat berjamaah
di sebuah masjid jami. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak
selaku imam adalah Kyai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut
praktis tidak jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kyai Hasyim cukup segan
terhadap Kyai Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah
pendiri NU dan Rois Aam setelah KH. Hasyim Asy’ari.* Tentu saja terdapat
rasa sungkan ditubuh NU untuk mengatur (menegur) gurunya sendiri.
Ketenaran nama Kyai Zainuddin ternyata
membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang
datang mohon ijazah do’a, namun beliau tetap mengaku tidak punya do’a
khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan
ahli thoriqot. Bila ada orang yang datang minta ijazab do’a beliau
spontan menjawab . “Enggih sampun kulo ijazahi”. Entahlah apakah memang
benar sudah atau belum Wallobu a’lam bishshowab.
HARI‑HARI PERTAMA DI MOJOSARI
Gaung Pondok Mojosari menggema terdengar
di segenap penjuru, banyak ulama merupakan alumni pondok ini bahkan
hampir setiap alumni pondok ini setelah pulang mesti mengajar
bagaimanapun bentuknya. Antik dan unik merupakan identitas pondok
Mojosari yang sudah tak asing lagi dan diakui oleh masyarakat. Maka
datanglah para santri dari daerah‑daerah yang jauh di Pulau jawa seperti
Surabaya, Banyumas, Cirebon dan sebagainya. Walaupun demikian jumlah
santri pada masa Kyai Zainuddin terbatas antara 200 sampai 250 orang.
Tentu saja Mas’ud yang selalu mengikuti
informasi pesantren mengetahui secara detail tentang Pondok Mojosari
karena pondok yang pertama kaii dimasukinya adalah Gondanglegi dimana
Kyai Sholeh pengasuhnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kyai
Mojosari. Nampaknya Mas’ud telah lama menyimpan keinginannya untuk
menjadi santri pondok favorit ini, dan iapun datang ke Mojosari. Sayang
perjalanannya tak mulus, ia harus menerima kenyataan dan bersabar
memecahkan problema yang menimpa dirinya. Masalahnya bekal yang
diberikan Pak Naib tak mencukupi untuk tinggal di Pondok. Uangnya
terlalu minim untuk dapat membayar iuran kamar dan biaya‑biaya yang
lain. Mas’ud memang anak yang nerimo dan tak suka membebani orang
tuanya. Oleh karena itu ia tak pemah minta dana tambahan. Dengan bekal
sedikit itu dia ingin terus maju, Dimana ada kemauan disitu ada jalan
seolah‑olah begitulah prinsipnya. Bukankah jalan menuju sorga itu
dipenuhi onak dan duri ? Sebagaimana sabda Rosululloh Saw
خُفَّةِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهْوَاتِ (رواه مسلم)
(Sorga itu dikelilingi dengan duka derita, dan neraka itu dikelilingi dengan hawa nafsu (Muslitn)
Mengingat ketidakmampuan membayar inilah
maka ja memutuskan untuk tinggal di langgar Pucung yang terletak tidak
jauh di selatan pondok. Dari tempat inilah ia mengikuti kegiatan belajar
di pondok dengan pulang pergi.10)
Menurut riwayat yang lain bertempatnya
Mas’ud diluar pondok gara‑gara ia takut menerima gojlokan. Memang
gojlokan yang biasa diterima oleh para santri baru seperti telah
dipaparkan sebelumnya cukup mengerikan. Sehingga banyak yang bertahan
tinggal di Pondok cuma sehari semalam saja. Bayangkan, ada santri baru
diketahui takut melihat ulat, malahan semakin ditempelkan ulat di
tubuhnya. Tanpa sadar santri tersebut berteriak‑teriak berlari tunggang
langgang dalam keadaan telanjang.
Sementara diam‑diam Kyai Zainuddin selalu
memperhatikan gerak‑gerik santri baru yang berasal dari Ploso ini.
Agaknya ada sesuatu yang menarik pada diri Mas’ud dan suatu ketika
terjadilah pertemuan dan dialog :*)
Kyai Zanuddin : “Co, endang ning pondok”
Mas’ud : “Kulo boten gadah sangu Yai”.
Kyai Zainuddin : “Ayo, Co … besok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud tidak mengerti apa artinya
Blawong, namun ia hanya diam seribu bahasa, rupanya ia tengah berfikir
tentang posisinya yang amat sulit, hendak ke pondok uang kiriman tak
akan cukup sebaliknya jika tetap di Langgar Pucung berarti tidak taat
pada gurunya. Oleh karena itu predikat Blawong untuk dirinya hanya
melintas sekilas dibenaknya. la sudah mengerti bahwa Kyai Zainuddin
sering memberi julukan kepada santri barunya dan selanjutnya Kyai itu
lebih suka memanggil dengan nama julukan ketimbang nama aslinya. Tentu
saja bukan sekedar guyonan, akan tetapi sebagai seorang waliyullah
beliau dikenal dapat menembus hal‑hal yang bersifat bathiniah, termasuk
pribadi dan hari depan masing‑masing santrinya.
Sumber yang lain menceritakan bahwa
sebeltim Mas’ud sowan (menghadap) Kyai, terlebib dahulti Kyai berangkat
ke Ploso untuk menemui Pak Naib sekeluarga, “Mas’ud itu Blawong”, kata
Kyai Zainuddin kepada Pak Naib.
“Tolong supaya benar‑benar diperhatikan kebutuhannya”.11)
Lucunya ketika Mas’ud sowan kepada Kyai,
bukan Mas’ud yang menyampaikan salam dari orang tuanya di Ploso,
melainkan Kyai Zainuddin terlebih dahulu mengawali pembicaraan dengan
mengatakan “Salam dari ibu‑bapakmu “.
Agaknya Kyai Zainuddin menganjurkan
Mas’ud pindah ke pondok bukan sekedar basi‑basi. Sampai tiga kali beliau
mendesak Mas’ud untuk bertempat di pondok sampai akhirnya murid itu
benar‑benar taat pada perintah gurunya. Kyai menempatkannya di sebuah
kamar berslama sama Zaini, Sobiri dan Baidowi yang temasuk orang-orang
dekat Kyai sekaligus murid-murid kesayangan beliau yang kelak dikemudian
hari tampil sebagai Kyai sukses di tempatnya masing‑masing.12)
GARA‑GARA FATHUL QORIB KIAN SPIRIT13)
Sudah setahun lebih Mas’ud tidak pulang.
Sebagaimana anak rantauan dia kangen kepada keluarga, rindu akan kampung
halaman. Pikirannya terasa kurang konsentrasi kepada pelajaran, maka
pulanglah ia ke Ploso untuk bersilaturrohmi dengan ayah‑ibu, saudara dan
sanak famili. Tentu saja Pak Naib sekeluarga merasa sangat senang
menerima kedatangannya berhubung lama sudah tak jumpa. Masing‑masing
dapat melepaskan perasaan rindunya dan saling menceritakan keadaan
selama perpisahan.
Sudah bisa dipastikan Pak Naib mesti
melahirkan kebiasaannya dengan menyembelih ayam. Namun kali ini lebih
istimewa, yang disembelih bukan sembarang ayam, tetapi ayam jago yang
sudah dikebiri, berarti bukan sekedar untuk Mas’ud, agaknya seperti ada
acara penting.
Betul saja, ternyata Pak Naib mengadakan
selamatan atas pulangnya Mas’ud dari Pondok. Diundangnya pemuka
Masyarakat dan dua orang Kyai yaitu Kyai Pondok Kemayan dan Kyai Pondok
Kalianyar, tak ada yang tahu apa niat Pak Naib dengan acara kendurinya.
Pada jam yang ditentukan para undangan
telah duduk dengan rapi, Mas’ud dipanggil untuk ikut makan bersama.
Tiba‑tiba setelah acara jamuan makan usai, Pak Naib menyampaikan maksud
acara.
“Nyuwun sewu Pak Kyai,” kata Pak Naib
menghadap dua orang Kyai di depannya. Semua mata tertuju ke arah Pak
Naib. “Anak saya ini sudah setahun di Pondok Mojosari, coba Pak Kyai uji
kemampuannya, apakah sudah bisa mengaji atau belum?” lanjut Pak Naib
yang membuat para hadirin serentak tercengang. Sementara Mas’ud
tertunduk, gemetar, kaget dan gugup karena merasa dirinya belum punya
kemampuan apa‑apa. Hampir saja apa yang barusan dimakannya berhamburan
keluar dari mulutnya.
Dia tidak bisa menghindar, kecuali harus
membaca kitab taqrib yang disodorkan kepadanya. Sejak itu Mas’ud
bertekad tak akan pulang kalau belum siap dengan kemampuannya. Apabila
rasa rindunya kepada keluarga sudah tak tertahan lagi atau ada keperluan
yang sangat mendesak terpaksalah ia pulang ke rumah Roihah, adiknya
yang sudah menikah dengan H. Abdul Hamid di desa Kemayan (empat km ke
arah selatan Ploso). Dari sanalah ia mengutus adiknya untuk menyampaikan
pesannya ke Ploso.
Pengalaman digojlok ayahnya waktu pulang
sangat membekas di hatinya. Betapa tidak, di hadapan publik orang‑orang
terpandang ia harus menanggung malu, mentalnya benar‑benar diuji.
Peristiwa itu tak akan dapat ia lupakan, sehingga ia semakin takut untuk
menyia‑nyiakan waktunya, ia harus belajar lebih giat lagi.
Tiba‑tiba Kyai Zainuddin memanggilnya dan
menugaskannya untuk membaca (mengajar) kitab Fathul Qorib. Sekali lagi
ia menjadi kaget dan menanggung beban moral yang amat berat. Mas’ud
memberanikan diri menyatakan kepada Kyai babwa dirinya belum siap. Namun
Kyai mengatakan selanjutnya : “Co, sampean manut mawon. Sampean sekedar
berdagang, sing bakul kulo” (Mas kamu menurut saja. Kamu sekedar
pelayan dari dagangan saya. Majikan yang memiliki dagangan adalah saya).
Yang dimaksud dengan dagangan adalah Ilmu. Akhirnya Mas’ud tak mampu
mengelak dan harus belajar dan berusaha dengan segenap kemampuannya
untuk menjalani perintah gurunya. Namun dua peristiwa di atas merupakan
cambuk spirit baginya untuk berpacu lebih maju. Tak ada waktu untuk
hura‑hura, tak ada kesempatan untuk ugal‑ugalan.
SUKA DUKA DI MOJOSARI14)
Mas’ud terus semakin giat belajar,
seakan‑akan tak pernah mengenal lelah, tidurnya hanya sedikit dan
temannya yang paling akrab adalah kitab, pulpen dan tempat tinta
berukuran besar. Pengalaman pahit diuji ayahnya membawa pengaruh besar
bagi jiwanya. Lebih‑lebih setelah peristiwa itu Mas Miftah, kakaknya
sering menuduh dirinya gagal belajar di Pondok. Hatinya malu dan
terkadang sedih. Itulah sebabnya tatkala Kyai Zainuddin menugaskannya
untuk mengajar Fathul Qorib, dia terkejut, tertunduk merendah sambil
berucap: “Kulo dereng saget nopo‑nopo, Kyai!”*)
Namun Kyai Zainuddin yang arif‑billah itu
sudah faham, siapa sebenamya Mas’ud, termasuk kemampuan yang sudah
dicapainya. Seperti biasanya Kyai Zainuddin sering bercerita dan memberi
nasehat di sela‑sela pengajiannya. Kerap kali beliau tiba‑tiba berkata:
“Co, kancane ngaji iki Blawong, co! “**) tanpa menunjuk kepada
siapa-siapa. Tetapi Mas’ud merasa dalam hati kalau yang ditujukan oleh
Kyai adalah dirinya. Dan para santripun lama kelamaan mengerti siapa
Blawong diantara mereka.
Karena penasaran Mas’ud scring bertanya
kepada teman‑temannya apakah artinya Blawong, tak ada yang dapat memberi
jawaban dengan pasti. Dan agaknya ia tak puas sebelum mendapat jawaban
sebenarnya, Ialu ditanyakannya kepada orang‑orang tua. Ternyata Blawong
adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si
Blawong itu dipelihara dengan mulia di Istana Kerajaan Brawijaya dan
tentu saja ia turut naik tahta menjadi raja seluruh perkutut di wilayah
kekuasaan Brawijaya bahkan raja seluruh burung margasatwa di rimba
belantara. Di samping alunan suaranya yang mengagumkan, tak ada
seorangpun yang berkata‑kata tatkala Si Blawong sedang berkicau, semua
menyimak suaranya. Seolah‑olah burung itu punya pengaruh dan kharisma
luar biasa Tidak hanya sampai disitu pujian yang diterima oleh Mas’ud,
adalagi yang lebih unik. Mbah Abu Hamid dari desa Ngetos‑Nganjuk sering
datang di Pondok Mojosari, beliau mengaku murid Kyai Zainuddin. Beliau
juga dikenal sebagai seorang Waliyulloh yang berprilaku Khoriqul ‘adah
(di luar kebiasaan). Bila Mas’ud berjalan hendak mandi ke sungai, Mbah
Abu menghampirinya dan terkadang berputar‑putar mengitari santri
berprestasi ini sambil menirukan ayam jago yang sedang kukuruyu
(keluruk: Jawa). Suatu ketika Mbah Abu bertingkah lebih aneh lagi,
tiba‑tiba beliau memukul kentongan Pondok dan beduk sambil
berteriak‑teriak laksana suporter tinju yang penuh semangat.
“Jagoku Ploso, nek kalah tak pesteni
mulih”,*) seru beliau berulang‑ulang. Tak ada yang mengerti apa
sebenarnya maksud Mbah Abu. Mungkin kelak Mas’ud akan menjadi jago
(tokoh) di tengah‑tengah masyarakatnya wallohu’alam.
Blawong dan jago adalah dua julukan yang
disandang oleh Mas’ud, membuat namanya kian harum di kalangan sesama
santri dan semakin dicintai oleh Kyai. Kepada Syihabuddin yang menjabat
pengurus Pondok waktu itu Kyai Zainuddin mengintruksikan agar Mas’ud
diberikan keistimewaan (kehormatan) tidak boleh ikut kerja apabila ada
gotong royong. Tetapi Syihab tak perduli, tetap semua santri harus
bergotong royong tanpa kecuali. “Perkara Mas’ud calon Kyai, itu kan soal
nanti”, Tandas Syihab dengan tegas. Kyai Zainuddin nampaknya tahu sikap
Syibab dan kembali beliau memperingatkan. “Kelak kamu akan tahu bahwa
Mas’ud itu benar‑benar seorang ‘Ulama besar”, kata Kyai dengan mantap.
Bagaimana dengan diri Mas’ud? banggakah
ia? sikapnya biasa‑biasa saja bahkan semakin menunduk tawadlu’. Pujian
dan penghormatan tidak membuat dirinya takabbur atau merasa dirinya
punya kelebihan Ialu meremehkan orang lain. Dia tidak ongkang‑ongkang
menunggu ilmu ladunni turun dari langit, walau pun Kyai Ma’ruf Kedunglo,
Kyai Zainuddin (gurunya) dan Mbah Abu Hamid yang merupakan tiga auliya’
telah menandaskan dirinya akan jadi seorang’Ulama di kemudian hari,
justru sebaliknya pujian‑pujian itu diterimanya sebagai beban moral, ia
harus dapat meningkatkan prestasinya dan untuk itulah dia harus tekun
belajar sepanjang waktu, bukankah ia hanyalah anak pegawai negeri, tak
memliki nasab Kyai. Satu‑satunya yang dapat dijadikan andalan hanyalah
ketekunan dan kesungguhan berikhtiar.
Tak ada jalah mendatar atau menurun terus
menerus di dunia ini. Terkadang ditemui tanjakan, jurang dan tebing,
terkadang turun silih berganti. Seperti itulah jalan hidup setiap insan
di dunia ini dan Mas’ud‑pun mengalaminya. Mengenang derita sengsara yang
ia jalani benar‑benar membuat hati kita merasa iba dan terenyuh.
Pak Naib memberi jatah biaya hanya Rp. 5
sebulan, tanpa membawa beras dan lauk pauk dari rumah. Padahal di zaman
itu rata‑rata santri berbekal Rp. 10,‑ terkadang masih ditambah lauk
pauk dan beras. Maksud Pak Naib tentu saja baik, untuk melatih anaknya
agar terbiasa berhemat, hidup sederhana dan tahan menderita disamping
tanggungannya memang banyak. Bayangkan saja putraputrinya ada 13 orang.
Karena bekalnya dibawah standar, konon
setiap hari ia hanya makan satu piring kecil (lepek: Jawa) yang
dimasaknya dengan menggunakan kaleng kecil (semacam kaleng susu kental
manis cap bendera/indo milk). Kaleng tersebut dipanaskan diatas nyala
lampu. Lauk pauknyapun sekedar untuk pelicin masuknya nasi melewati
kerongkongan. Terkadang ontong (jantung pisang) yang diberi bumbu ala
kadarnya, satu ontong bisa sampai lima hari. Terkadang daun luntas yang
dipetiknya dari pagar dioleskan pada sambal yang rasanya kocar-kacir tak
karuan dan terkadang lauk pauknya sambal kluwak. Bahkan sering kali
hanya makan dengan garam saja. Sungguh jauh untuk dikatakan ni’mat
apalagi Iezat. Mas’ud yang bekas calon dokter itu bukannya tak mengerti
akan ilmu gizi, tetapi keadaanlah yang memaksa harus demikian.
Rupa‑rupanya Kyai Zainuddin mengerti
derita yang dihadapi oleh Mas’ud. Bertambahlah kasih sayang dan cinta
beliau kepada santri pujaannya itu. Sering kali Mas’ud menerima
kiriman.makanan dari rumah Kyai. Alhamdulillah, betapa syukur dan
ni’matnya bagaikan menghadapi hari raya.
Menurut sebagian riwayat di pertengahan
mondok di Mojosari inilah meninggalnya Pak Naib Ustman, ayahnya
tercinta. Musibah ini membuat kesedihan yang dalam di hatinya. Dia
merasa belum dapat membalas budi orang tuanya, belum sempat ia tunjukkan
prestasi puncak berupa kesuksesan setelah tamat dari Pondok. Disamping
itu ia merasa kehilangan tempat mengadu tatkala menghadapi problema
kehidupan. Kini tinggallah ibunya, seorang wanita yang harus tabah
menanggung beban berat mengasuh 13 putra dan putri. Suatu tanggung jawab
yang amat berat bagi seorang wanita tua seperti ibu Naib.
Mas’ud merasa terharu bereampur pilu
dalam hati, semakin khusu’ ia berdo’a kepada Alloh SWT, semoga kiranya
orang tua itu mendapat ampunan dan yang masih hidup diberi kesabaran dan
ketabahan menjalani kehidupan.
Terbetiklah hatinya bagaimana langkah
untuk meringankan beban ibunya, ia ingin mandiri. Maka muncullah idenya
yang menarik, ia membeli kitab‑kitab kuning yang masih kosong, Ialu
dengan tulisannya yang sudah terkenal bagus, indah dan rapi diberinya
makna sangat jelas, makna gandul ala pesantren yang mudah dibaca dan
dipahami. Untuk keperluan inilah ia memiliki tempat tinta berukuran
besar. Banyaklah santri yang tertarik utituk memiliki hasil kreasinya.
Lalu dijualnya kitab tersebut, tentu saja dengan harga berlipat, sampai
kitab kecil semacam fathul qorib laku Rp 2,50,‑ (seringgit) suatu jumlah
yang lumayan bagi Mas’ud, sudah cukup untuk biaya hidup 15 hari.
Seorang sahabatnya yang sampai sekarang masih memiliki dagangan berharga
itu adalah Kyai Jufri Prambon Nganjuk.
MACANPUN TUNDUK KEPADA BLAWONG15)
Sakit perut ingin buang hajat sudah tak
dapat ditahan lagi. Mas’ud bingung karena di Pondok tak ada WC. Hendak
ke sungai terlalu jauh dan gelap gulita, karena kejadian ini tiba‑tiba
muncul di waktu malam hari. Akhirnya tanpa berfikir panjang ia
berlari‑lari kecil, Ialu berjongkoklah ia dibawah pohon petai besar yang
teletak di kebun dekat Pondok. Menurut perasaannya ia memegang salah
satu dari akar petai yang menjalar di atas tanah. Setelah rasa mules
agak berkurang ia memandang dengan teliti kearah depan. Di kegelapan
malam itu akhirnva tampak yang ia pegang itu bukan akar petai, tetapi
moncong seekor macan yang tengah berbaring. Tersentak ia terkejut dan
segera meninggalkan tempat itu dengan berjalan cepat dan perasaan ngeri.
Pohon petai besar dan rindang itu memang
angker. Konon menurut orang‑orang yang mengerti tentang dunia makhluk
halus di pohon itu terletak Istana kerajaan jin. Makhluk halus itu sudah
bermukim berabad‑abad lamanya dan sering mengganggu santri Pondok.
Setidaknya ada seorang santri yang menjadi gila setiap tahun akibat ulah
makhluk halus.
Tetapi Mas’ud tak apa-apa, jiwa raganya
yang bersih dari maksiat dan ibadahnya yang tekun telah menghantarkannya
dekat dengan Allah Sang Maha Raja dari segala jin dan manusia. Macan
jadi‑jadian dari jin jahat itu tak berdaya apa‑apa, tunduk kepada Sang
Blawong.
BLAWONG JADI RAJA
Salah satu faktor yang menunjang
suksesnya Rasululloh SAW dalam perjuangan menyebarkan agama Allah adalah
persatuan yang utuh antara beliau dengan sahabat‑sahabatnya terutama
sahabat empat yang dikenal dengan nama Khtilafaur‑Rosyidin. Hal ini
dicapai karena adanya hubungan keluarga yang dijalin lewat tali
pernikahan. Abu Bakar As‑Shiddiq dan Umar Bin Khottob r.a adalah
mertua‑mertua beliau, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib adalah
menantu‑menantu beliau.
Mempererat hubungan dengan para kader
perjuangan Islam yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW ini
dikemudian hari diwariskan sebagai suatu tradisi oleh para ‘Ulama
warotsatul anbiya. Di Pondok Pesantren sudah lazim terjadi santri‑santri
yang punya prestasi menonjol dan berakhlaq mulia dijodohkan dengan
putri atau keluarga Kyai. Dan Kvai Zainuddin adalah salah satu
contohnya.
Empat tahun sudah Mas’ud di Mojosari.
Berkat ketekunannya hampir seluruh fan (vak) sudah dikuasainya dengan
baik. Kyai Zainuddin merasa lega melihat santri andalannya itu
benar‑benar telah memenuhi harapannya. Sungguh tak dapat duraikan dengan
kata‑kata. Betapa bangganya seorang guru apabila menyaksikan muridnya
punya prestasi, lebih‑lebih dikalangan Pesantren. Bukankah Ilmu yang
tumbuh dan berkembang di dada santrinya merupakan jariyah yang pahalanya
terus mengalir untuk sang guru sampai jasad sudah terkubur?
Begitulah kebanggaan Kyai Zainuddin
kepada Mas’ud berakibat lebih lanjut, seakan‑akan ia tak bisa
melepaskannya lagi. Mas’ud bagi beliau adalah kader yang diharapkan
dapat mengorbitkan Mojosari lebih lanjut. Maka muncullah niat beliau
untuk menjodohkan Mas’ud dengan ning Badriyah putri Kyai Khozin Widang
Langitan‑Babat (ipar Kyai Zainuddin). Gadis yang semula anak ipar ini
dijadikan putri angkat oleh Kyai Zainuddin dan dibesarkan di Mojosari
berhubung beliau tak memperoleh keturunan. Beliau tak ingin terlambat
mendapatkan Mas’ud, khawatir kalau didahului oleh orang lain.
Sementara Mas’ud yang berpenampilan gagah
dan berparas tampan itu belum berfikir terlalu jauh tentang teman
hidup, terlebih‑lebih lagi usianya baru menginjak ± 19 th. Ketekunan dan
cintanya pada ilmu telah menyelamatkan dirinya dari hayalan &
lamunan betapa indahnya belahan jiwa tambatan jantung. No time for love
merupakan prinsip yang ia pegang teguh selama masih menuntut ilmu,
karena wanita dianggapnya penggoda paling rawan bagi seorang pencari
ilmu.
Akan tetapi Mas’ud tak mampu mengelak
tatkala Kyai Zainuddin tiba‑tiba memanggil dan mengutusnya pulang ke
Ploso. “Sampaikan salamku pada ibumu,” kata beliau mengawali pesan.
“Sampaikan kepadanya bahwa kamu akan saya jadikan menantu”.
Sungguh Mas’ud tak bisa berbuat apa‑apa dihadapan gurunya yang agung. la pamit sambil menghela nafas panjang.
***
Kini Mas’ud sudah pulang ke Ploso dan
sedang berada di tengah‑tengah keluarganya, semua duduk mengerumuninya
karena dia terlalu lama tak pulang. Tatkala suasana cukup tenang, dia
menyampaikan salam dan pesan Kyainya.
“Salam Pak Kyai Bu”, katanya yang
langsung dijawab: “Alaika wa’alaihimus salam “, oleh ibunya “Kulo dipun
utus nyampaeaken pesan, bilih Pak Kyai mundut kulo dados menantu”,
katanya melanjutkan (Saya diutus untuk menyampaikan pesan Pak Kyai bahwa
saya akan diambil menjadi menantu).
Sebelum ibunya memberi tanggapan yang
pasti, Mas Miftah tersentak dan tiba‑tiba berkata dengan lantang : “Kowe
mondok isih pirang dino, wis pingin kawin … arep dadi mantune Kyai,
isomu opo? ” (kamu mondok baru berapa hari saja sudah pingin kawin.
Bisamu apa?). Ternyata ungkapan Mas Miftah di atas cukup diperhatikan
dan mempengaruhi keputusan rembukan keluarga ini. Memang Miftah diakui
sangat cerdas dan lincah sehingga memegang peranan di keluarganya
terutama setelah Pak Naib meninggal.16)
Mas’ud kembali lagi ke Mojosari dengan
membawa keputusan keluarga bahwa dirinya belum siap untuk menikah. Namun
Kyai Zainuddin tak mau menerima keputusan itu. Beliau memerlukan diri
untuk datang ke Ploso.
Di Ploso seluruh keluarga menyambut Kyai
dengan penuh hormat, lebih‑lebih kali ini ada topik pembahasan yang
istimewa. “Sing momong niku kulo, kulo langkung ngertos pribadi santri
setunggal‑setunggalipun”,*) tegas Kyai dengan gayanya yang khas.
Semuanya bungkam diam seribu bahasa, termasuk Mas Miftah. Dan
pembicaraanpun dilanjutkan membahas tehnik pelaksanaan, hari resepsi dan
seterusnya.
***
Malam resepsi telah tiba. Dua sejoli
Mas’ud dan Badriyah telah bersanding, resmi dinobatkan menjadi raja dan
ratu semalam. Seluruh mata memandang ke arah pelaminan. Si Blawong
benar‑benar menjadi raja.
Para undangan dari kalangan ‘Ulama,
Umaro’, Tokoh masyarakat dan handai taulan telah pula datang sementara
suara gendang bertalu‑talu mengiringi barisan anak-anak muda yang
bernyanyi sambil berlenggak lenggok memainkan kipas di tangannya.
Kesenian ‘ruddat’ yang mengenakan seragam gaya Turki ini memang sengaja
didatangkan dari Langitan oleh Kyai demi memeriahkan acara resepsi.
Malam sejuta rasa, semua bergembira. Mojosari berubah seketika dipadati
oleh lautan manusia, hingar bingar suara lagu dan gendang, diselingi
teriakan dan tepuk tangan para hadirin. Suatu resepsi yang tergolong
meriah dan megah di kala itu.
Siapapun dapat menyaksikan betapa Kyai
Zainuddin sangat mengagumi Mas’ud, Resepsi inilah buktinya, beliau
benar‑benar mewujudkan rasa syukurnya yang luar biasa. Kini guru agung
itu telah menjadi satu dengan murid kesayangannya lewat tali pernikahan.
Dan sejak itulah Mas’ud sangat populer dengan sebutan Mas’udnya Kyai
Zainuddin, Bukan Mas’ud Ploso atau Mas’udnya Pak Naib.
PANGGILAN NABI IBRAHIM
Setelah beberapa lama di Mojosari,
sepasang pengantin baru itu hendak pulang ke Langitan. Kyai Khozin
pengasuh Pondok Langitan diam‑diam juga punya rencana yang sama dengan
Kyai Zainuddin. Kyai Khozin ingin agar menantunya yang tersohor ‘alim
itu mengajar di Pondoknya dan kelak akan tampil sebagai penerus
perjuangan beliau. Rencana itu ternyata diketahui oleh Pak Chasbulloh
seorang yang ‘alim dan berperilaku khoriqul adah. Tak seorangpun yang
berani melanggar perintah atau larangannya, termasuk Kyai Khozin
sendiri. Sudah banyak buktinya orang jadi kuwalat karena melanggar atau
meremehkan perintahnya.
“Sampean kedah ning kutho, Inggih! saben
jam sekawan sonten nganti jam songo. Ngangge niki”,*) kata Pak
Chasbulloh kepada Mas’ud sambil menunjuk bendi (dokar) mewahnya. “Nyaine
diajak, ben marem”**) katanya melanjutkan. Mas’ud hanya dapat
mengangguk sambil berucap “Inggih “.
Setiap jam 4 sore sebuah bendi mewah
beserta kusirnya telah siap menjemput Mas’ud dan istrinya untuk kemudian
berangkat berputar‑putar di kota Babat. Orang memandang betapa asyiknya
dua sejoli itu, berbulan madu dengan kendaraan mewah bersantai ke kota
bagaikan sepasang merpati. Namun orang tak pernah mengerti betapa
jenuhnya Mas’ud hanya melakukan kegiatap monoton yang itu‑itu saja
setiap hari. Lalu kesempatan itu dipergunakannya untuk berziarah ke
makam seorang ‘Ulama di Babat, di tempat itulah dia munajat kepada Alloh
setiap hari dan pulang pada waktu yang sudah ditentukan. Lama kelamaan
Mas’ud jenuh juga, dia tak mengerti apa tujuan Pak Chasbulloh
memerintahkannya berputar-putar di kota. Hendak pamit pulang ke Ploso
tak berani, apalagi akan pindah ke Pondok lain. “Apa tujuanku setiap
hari begini”, kata batinya yang penuh tanda tanya. Padahal ia sangat
senang andaikata diberi kesempatan untuk mengajar atau membuka pengajian
di Pondok Langitan, demi mengembangkan ilmunya dan mengamalkannya.
Di tengah kebingtingannya itu timbullah
niatnya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pak Chasbulloh
merestuinya, begitu juga istrinya tercinta. Maka pulanglah ia ke Ploso
untuk mohon izin dan berunding dengan ibunya.
“Haji?” seru ibunya kaget tatkala ia
mengungkapkan persoalannya. “Le …, le … ! Opo sing arep di enggo
haji?”*) lanjut ibu yang merasa tak punya kemampuan itu. “Warisan kulo
disade sedoyo, Bu”**) tandas Mas’ud dengan singkat.
Akhirnya diputuskan bahwa Mas’ud positif
berangkat haii. Sawah seluas (l/2 bahu : Jawa) beserta sapi hak miliknya
dijual habis ternyata belum mencukupi untuk membayar ONH (ongkos naik
haji) sebesar 115 golden, maklum waktu itu sedang terjadi krisis ekonomi
dimana uang amat sulit didapat karena harga barang‑barang sangat murah.
Namun dalam hati kecilnya Mas’ud yakin apabila Nabi Ibrabim a.s telah
memanggil tak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi. Ikhtiar mesti
terus dilakukan sambil bertawakal kepada Alloh.
Adalah tidak mudah bagi Mas’ud untuk
sampai Baitulloh, di tengah‑tengah kerumitan mencari kecukupan uang ONH
itu istrinya jatuh sakit di Langitan, akan tetapi tekad Mas’ud tak
pernah goyah. Diyakininya bahwa semua kesusahan yang menimpa ini
hanyalah cobaan bagi semua perbuatan mulia. Hatinya tegar bagaikan batu
karang di tengah lautan yang tak bergeming dihempas ombak.
Hari keberangkatan sudahlah tiba, namun
persoalan belum bisa dipecahkan. Tanpa diduga sebelumnya Kyai Zainuddin
(mertuanya) menyodorkan seiumlah uang, konon besarnya 100 golden suatu
jumlah yang amat besar untuk zaman itu lebih‑lebih disaat situasi
ekonomi sedang kacau. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa beliaulah
pengganti Almarhum ayahnya (Pak Naib).17)
Alhamdulillah, betapa syukurnya Mas’ud
dan segenap keluarga. Rupanya Allah telah menyaksikan kesabaran hambanya
menerima cobaan, Ialu diberinya jalan keluar. Panggilan Ibrahim
benar‑benar untuk Mas’ud. Labbaika Allohumma Labbaika, rombonganpun
berangkat beriring-iring sembari deru sholawat bergema di udara. Mereka
menuju desa Kras dengan berjalan kaki menempuh jarak 4 km, dan Kyai
Zainuddin Mojosari yang sejak semalam menyempatkan diri menginap di
Ploso ikut serta berjalan kaki dan seterusnya ikut mengantar ke
Surabaya. Di Pelabuhanpun Kyai Mojosari itu bermalam sampai kapal
benar‑benar berangkat. Puluhan ribu tangan melambai-lambai, tak tertahan
tetesan air mata keharuan mengalir dalam rangka melepas keberangkatan
tamu Alloh. Semoga kembali lagi dengan selamat dan mendapatkan haji
Mabrtir.
MENGHAFAL DI KAPAL
Pelayaran Surabaya Jeddah dengan
menggunakan kapal uap tak secepat pesawat jet DC 10 atau Boing 747
sekarang ini. Tiga bulan lamanya terapung‑apung diatas laut. Pelayaran
adalah suasana yang biasanya membuat orang menjadi sedih, menghayal dan
rindu. Mas’ud tak mau membiarkan fikirannya melayang‑layang tak berguna.
Bila memikirkan istrinya yang sedang sakit di Langitan sedihlah ia,
dikuatkannya hatinya untuk bertawakkal kepada Alloh bersabar menerima
cobaan.
Lalu kesempatan di kapal yang luang
dipergunakannya untuk menghafal bait‑bait syair (nadhom) uqudul juman,
sebuah kitab tertinggi dalam bidang Balaghoh. Sungguh Mas’ud tak pernah
menyia‑nyiakan waktu berlalu tanpa belajar, karena ia bersemboyan bahwa
kunci utama mencari ilmu adalah Mempeng (sungguh‑sungguh). Dan itulan
yang dilakukannya sejak kecil.
1 Keterangan Mbah Burdah Jombang dan KH. Manshur Sholeh Mojosari.
1 Keterangan Mbah Burdah Jombang dan KH. Manshur Sholeh Mojosari.
2) Cerita Kyai Syihabuddin kepada Pak Salam.
3) Keterangan Mbah Burdah Jombang. Menurut sumber lain, Pondok Siwalan Panji Sidoarjo
4) Keterangan Mbah Masruri Mojosari
5) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari, Beliau mengenang masa-masa nakalnya di Mojosari
6) Cerita Mbah Masruri, KH. Manshur Sholeh dan lain-lain.
7) Dikisahkan oleh KH. Manshur Sholeh Mojosari.
8) Dikisahkan oleh KHA. Djazuli Utsman kepada Pak Musleh.
9) KH. Manshur Sholeh, Mbah Masruri dan Mbah Burdah.
* Keterangan :
Pada waktu KH. Hasyim Asy’ari istilah
yang dipakai adalah Rosi Akbar tapi sepeninggal beliau para penerusnya
merasa riskan menyandang gelar Rois Akbar, lalu diganti dengan istilah
Rois Aam.
10) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari.
*) Kyai Zainuddin : “Mas, ayo pindah ke Pondok”
Mas’ud : “Saya tidak punya bekal Kyai”
Kyai Zainuddin : “Ayolah Mas, kelak kamu akan jadi Blawong”
11) Keterangan Kyai Ma’ruf Mursyidi Ponorogo
12) Keterangan Mbah Burdah Jombang
13) Cerita KHA. Zainuddin Djazuli, diterima dari H. Abd. Hamid Kemayan (ipar KHA. Djazuli Utsman suami Roihah)
14) Dirangkum dari keterangan KH. Manshur Sholeh, Mbah Burdah, Mbah H. Abd. Ghani, dll.
*) Saya belum bisa apa-apa Kyai”
**) Mas, temannya ngaji ini adalah Blawong”
*) Jago saya dari Ploso, kalau kalah saya pastikan pulang”
15) Kisah Kh. Manshur Sholeh dan Mbah H. Abd. Ghani
16) Cerita Mbah Burdah Jombang
*) “Yang mengasuh adalah saya, jadi saya lebih mengerti pribadi masing-masing santri”.
*) “Kamu harus ke kota setiap hari jam 4 sore sampai jam 9 malam, pakai bendi ini”.
**) “Istrinya diajak biar puas”
*) “Nak……nak……! apa yang dipakai untuk haji?”
**) “Warisan saya dijual semua, Bu”
17) Keterangan Mbah Burdah Jombang dan Pak Musleh
Masa Menuntut Ilmu Agama
lbadah haji tengah berlangsung, setiap
Jamaah hanyut dalam perasaannya masing masing, rukun demi rukun dari
lbadah haji menyimpan nilai spiritual yang amat tinggi dan mendatangkan
rasa khusu’ dekat dengan Allah. Sehingga banyak orang menangis menyesali
dosa dosanya, disamping menangis haru mendapat kehormatan untuk datang
memenuhi panggilannya, mereka bersyukur dan bahagia dapat menyempurnakan
rukun Islam. Betapa dekat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya di
tempat yang mulia itu.
Tidak semua muslim bisa datang ke sana, banyak orang kaya raya meninggalkan dunia fana ini sebelum menunaikan ibadah haji, wajar kalau kita katakan para jamaah haji itu adalah manusia manusia pilihan.
Mungkin Mas’ud termasuk seorang jamaah yang pantas mensyukuri nasibnya melebihi jamaah jamaah yang lain. Betapa tidak, ia datang ke tanah suci bukan karena kekayaannya. la datang tersendat sendat berjuang mengatasi rintangan, sungguh ia bersyukur dan merasa lega bahwa dirinya yang serba kekurangan dapat menyempurnakan rukun Islam.
Di tengah tengah kekhusu’an ibadah haji itulah ia menerima khabar dari tanah air bahwa istrinya telah meninggal dunia “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Bagaikan disambar bledek (petir) berita tersebut menyayat kalbunya, sebagai hamba Allah yang baik hanya bersabar yang dapat ia lakukan.
Kini ia merasa sebatangkara, istri sudah tiada, harta sudah terjual habis, rumah memang tidak punya. “Apa yang hendak diharap lagi di tanah air?” pikirnya dalam hati, maka ia bertekad untuk berimukim di tanah suci Mekkah sampai kapanpun, untuk beribadah sambil menggali ilmu dan mengamalkannya. Karena sampai pertengahan abad 19 Mekkah masih merupakan pusat pengajaran ilmu-ilmu Salafiyah secara mendalam, sebab disana banyak pengajar ‘Ulama ‘ulama bertarap internasional. Hal itu tentu saja sangat menarik bagi Mas’ud seorang pemburu ilmu yang tak kenal puas dan lelah.
Tidak semua muslim bisa datang ke sana, banyak orang kaya raya meninggalkan dunia fana ini sebelum menunaikan ibadah haji, wajar kalau kita katakan para jamaah haji itu adalah manusia manusia pilihan.
Mungkin Mas’ud termasuk seorang jamaah yang pantas mensyukuri nasibnya melebihi jamaah jamaah yang lain. Betapa tidak, ia datang ke tanah suci bukan karena kekayaannya. la datang tersendat sendat berjuang mengatasi rintangan, sungguh ia bersyukur dan merasa lega bahwa dirinya yang serba kekurangan dapat menyempurnakan rukun Islam.
Di tengah tengah kekhusu’an ibadah haji itulah ia menerima khabar dari tanah air bahwa istrinya telah meninggal dunia “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Bagaikan disambar bledek (petir) berita tersebut menyayat kalbunya, sebagai hamba Allah yang baik hanya bersabar yang dapat ia lakukan.
Kini ia merasa sebatangkara, istri sudah tiada, harta sudah terjual habis, rumah memang tidak punya. “Apa yang hendak diharap lagi di tanah air?” pikirnya dalam hati, maka ia bertekad untuk berimukim di tanah suci Mekkah sampai kapanpun, untuk beribadah sambil menggali ilmu dan mengamalkannya. Karena sampai pertengahan abad 19 Mekkah masih merupakan pusat pengajaran ilmu-ilmu Salafiyah secara mendalam, sebab disana banyak pengajar ‘Ulama ‘ulama bertarap internasional. Hal itu tentu saja sangat menarik bagi Mas’ud seorang pemburu ilmu yang tak kenal puas dan lelah.
***
Perkenalan dengan Sablan dapat menghibur
dan membesarkan hati H. Djazuli. Demikianlah namanya setelah sempurna
menunaikan ibadah haji. la mengganti namanya sebagaimana tradisi yang
sudah berlaku, lalu ditambahkannya nama ayahnya dibelakang, jadi
lengkapnya H. Djazuli Utsman.
Sahlan sahabat barunya itu adalah seorang jemaah haji yang berasal dari Pagu Gurah Kabupaten Kediri yang tak jauh dari Ploso. Sungguh bahagia rasanya bertemu dengan teman sedaerah dirantau orang, perasaan bersaudarapun terjalin Dan Mas’ud kian bahagia mendengarkan keinginan Sahlan untuk menempuh pahit getirnya kehidupan dirantau orang, teman memikul tatkala berat dan menjinjing tatkala ringan.
Setelah beberapa lama hidup di negeri orang uang bekal telah habis, maka sepakatlah mereka berdua masuk bekerja sebagai tenaga administrasi pada seorang Syech Muzawir (biro travel urusan haji) yang terkait dengan instansi kerajaan, pekerjaan ini ia lakukan demi mendapatkan gaji untuk menyambung hidupnya. Di sela sela tugasnya yang menumpuk pergilah ia mengaji menambah ilmu, namun lama kelamaan mereka sadar bahwa tugas yang menumpuk telah menyita sebagian besar waktunya sehingga tujuan semula untuk menuntut ilmu telah terbengkalai.
Kedua orang sahabat itu berunding dan akhirnya mereka keluar dari pekerjaan. Diputuskannya untuk berguru kepada Syekh Al ‘alamah Al-’Aidarus di Jabal Hindi Mekkah.18) Persoalan rizki di pasrahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Agaknya ia ingat bahwa Abu Hanifah r.a. pernaih meriwayatkan sebuah hadits Rasululloh SAW yang diterima dari seorang sababat beliau bemama Abdulloh bin Hasan Az zuaidy:
من تفقه فى الدين الله كفاه الله همه ورزقه من حيث لا يحتسب
(Barang siapa mempelajari agama Alloh, maka Alloh memenuhi cita citanya dan diberinya rizki dari arah yang tak disangka sangka).
Benar saja, tak lama kemudian para Mukimin yang ada di Mekkah berkumpul dan meminta H. Djazuli supaya bersedia memberikan pengajian untuk mereka. Rupanya Allah telah memenuhi janjinya untuk memberkati rizki kepada pengabdi ilmu, sebab dari merekalah H. Djazuli mendapatkan uluran tangan, jumlahnya memang tak seberapa, namun sudah mencukupi untuk menyambung hidup dan bekal menuntut ilmu.
Untuk tempat bernaung disewanya sebuah ruangan bawah dari rumah tingkat. Dia harus tidur bersama kumpulan arang dan barang-barang yang berserakan karena ruang yang disewanya itu adalah sebuah gudang. Menurut riwayat yang lain, tempat tinggalnya itu emperan pabrik yang telah rusak, dan didekatnya terdapat pohon-pohon kurma. Konon kabamya ada sedikit uang sisa yang ia miliki, jumlahnya tak seberapa hanya seringgit (Tak jelas apakah ringgit emas atau golden). Uang yang dipersiapkannya apabila ada keperluan mendesak itu dimasukannya ke dalam pelepah kurma yang sudah terpotong, lalu pelepah yang terisi uang itu dimasukannya kembali disela sela pelepah kurma yang masih utuh di batangnya. Ketempat itulah ia pulang untuk berganti pakaian atau merigambil alat alat belajarnya sambil tak lupa mengontrol uangnya, masihkah atau tidak. Apabila teman-temannya bertanya dimana tempat tinggalnya dan menyatakan ingin berkunjung maka ia menjawab: “Ah…. gak usah, kita ngaji dan ngumpul di Masjidil Harom saja”.
Menyimpan uang tersebut perlu ia lakukan karena pekerjaan tetap sudah tidak ada, kiriman dari rumah tak dapat diharapkan lagi mengingat harta warisan telah dijual babis, sementara ibunya masih menanggung sejumlah anak.19)
Nasib pilu yang dihadapi H. Djazuli sungguh membuat kita merasa iba, ia tak tahu apakah esok pagi ada atau tidak sepotong roti, sebutir kurma yang hendak dimakan terkadang ia ikut ambil bagian sedekah dari ransumransum yang disediakan oleh para dermawan Arab. Makan dan minum sekedarnya dengan makanan yang tak cocok bagi selera lidahnya semata mata untuk memperoleh kekuatan beribadah dan menuntut ilmu. Diterimanya makanan itu dengan rasa penuh syukur, karena itulah yang diberikan oleh Allah. Tak pemali ia mengeluh apalagi meneteskan air mata. Karena bagi H. Djazuli yang sudah terlanjur dimabuk kepayang oleh ilmu, segenap penderitaan yang dialaminya atau pedihnya perut yang keroncongan telah dapat dilupakannya bila ia berhadapan dengan kitab, dalam rangka belajar atau mengajar.
Sahlan sahabat barunya itu adalah seorang jemaah haji yang berasal dari Pagu Gurah Kabupaten Kediri yang tak jauh dari Ploso. Sungguh bahagia rasanya bertemu dengan teman sedaerah dirantau orang, perasaan bersaudarapun terjalin Dan Mas’ud kian bahagia mendengarkan keinginan Sahlan untuk menempuh pahit getirnya kehidupan dirantau orang, teman memikul tatkala berat dan menjinjing tatkala ringan.
Setelah beberapa lama hidup di negeri orang uang bekal telah habis, maka sepakatlah mereka berdua masuk bekerja sebagai tenaga administrasi pada seorang Syech Muzawir (biro travel urusan haji) yang terkait dengan instansi kerajaan, pekerjaan ini ia lakukan demi mendapatkan gaji untuk menyambung hidupnya. Di sela sela tugasnya yang menumpuk pergilah ia mengaji menambah ilmu, namun lama kelamaan mereka sadar bahwa tugas yang menumpuk telah menyita sebagian besar waktunya sehingga tujuan semula untuk menuntut ilmu telah terbengkalai.
Kedua orang sahabat itu berunding dan akhirnya mereka keluar dari pekerjaan. Diputuskannya untuk berguru kepada Syekh Al ‘alamah Al-’Aidarus di Jabal Hindi Mekkah.18) Persoalan rizki di pasrahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Agaknya ia ingat bahwa Abu Hanifah r.a. pernaih meriwayatkan sebuah hadits Rasululloh SAW yang diterima dari seorang sababat beliau bemama Abdulloh bin Hasan Az zuaidy:
من تفقه فى الدين الله كفاه الله همه ورزقه من حيث لا يحتسب
(Barang siapa mempelajari agama Alloh, maka Alloh memenuhi cita citanya dan diberinya rizki dari arah yang tak disangka sangka).
Benar saja, tak lama kemudian para Mukimin yang ada di Mekkah berkumpul dan meminta H. Djazuli supaya bersedia memberikan pengajian untuk mereka. Rupanya Allah telah memenuhi janjinya untuk memberkati rizki kepada pengabdi ilmu, sebab dari merekalah H. Djazuli mendapatkan uluran tangan, jumlahnya memang tak seberapa, namun sudah mencukupi untuk menyambung hidup dan bekal menuntut ilmu.
Untuk tempat bernaung disewanya sebuah ruangan bawah dari rumah tingkat. Dia harus tidur bersama kumpulan arang dan barang-barang yang berserakan karena ruang yang disewanya itu adalah sebuah gudang. Menurut riwayat yang lain, tempat tinggalnya itu emperan pabrik yang telah rusak, dan didekatnya terdapat pohon-pohon kurma. Konon kabamya ada sedikit uang sisa yang ia miliki, jumlahnya tak seberapa hanya seringgit (Tak jelas apakah ringgit emas atau golden). Uang yang dipersiapkannya apabila ada keperluan mendesak itu dimasukannya ke dalam pelepah kurma yang sudah terpotong, lalu pelepah yang terisi uang itu dimasukannya kembali disela sela pelepah kurma yang masih utuh di batangnya. Ketempat itulah ia pulang untuk berganti pakaian atau merigambil alat alat belajarnya sambil tak lupa mengontrol uangnya, masihkah atau tidak. Apabila teman-temannya bertanya dimana tempat tinggalnya dan menyatakan ingin berkunjung maka ia menjawab: “Ah…. gak usah, kita ngaji dan ngumpul di Masjidil Harom saja”.
Menyimpan uang tersebut perlu ia lakukan karena pekerjaan tetap sudah tidak ada, kiriman dari rumah tak dapat diharapkan lagi mengingat harta warisan telah dijual babis, sementara ibunya masih menanggung sejumlah anak.19)
Nasib pilu yang dihadapi H. Djazuli sungguh membuat kita merasa iba, ia tak tahu apakah esok pagi ada atau tidak sepotong roti, sebutir kurma yang hendak dimakan terkadang ia ikut ambil bagian sedekah dari ransumransum yang disediakan oleh para dermawan Arab. Makan dan minum sekedarnya dengan makanan yang tak cocok bagi selera lidahnya semata mata untuk memperoleh kekuatan beribadah dan menuntut ilmu. Diterimanya makanan itu dengan rasa penuh syukur, karena itulah yang diberikan oleh Allah. Tak pemali ia mengeluh apalagi meneteskan air mata. Karena bagi H. Djazuli yang sudah terlanjur dimabuk kepayang oleh ilmu, segenap penderitaan yang dialaminya atau pedihnya perut yang keroncongan telah dapat dilupakannya bila ia berhadapan dengan kitab, dalam rangka belajar atau mengajar.
NESTAPA DI PADANG SAHARA20)
Waktu terus bergulir, tak terasa hampir
dua tahun sudah H. Djazuli mendalami ilmu di Mekkah, kealiman yang
dibawanya dan sudah diakui sejak ia di Mojosari semakin meningkat saja.
Namun ia tak pernah menunjukkan bahwa dirinya telah ‘alim, tetap saja
merendah dan tekun luar biasa, bahkan semakin merasa bodoh.
Akan tetapi pada tahun 1922 ia dan seluruh warga negara asing di Mekkah terpaksa tak dapat meneruskan pelajaran atau kegiatan, karena tahun itu terjadi kudeta (Perebutan kekuasaan) oleh kelompok Wahabi yang diprakarsai oleh Abd. Aziz As Suud. Perang saudara berkecamuk hebat dan diberlakukan hukum darurat perang. Karena situasi negara yang masih sangat rawan, pihak keamanan negara segera menangkap orang orang asing dan dipaksa kembati ke negara asalnya. Mendengar berita tersebut H. Djazuli merasa sedih dan sangat khawatir kalau sampai tertangkap dan dipulangkan. Pasainya selama berada di tanah suci belum pernah ia ziarah kemakam Rosul di Madinah, maklum ia tak punya biaya. Lalu diajaknya Sahlan beserta 5 orang teman lainnya untuk menerobos masuk ke Madinah secara nekat berjalan kaki. Mereka bertujuh sepakat berangkat dengan membawa sedikit bekal sambil mengalungkan Guriba (Kantong wadah air yang terbuat dari kulit kambing) dilehernya masing masing. Berjalanlah mereka melintasi padang pasir tandus yang amat luas, sebagai gerilyawan yang diburu oleh pemberontak Wahabi, apabila jejaknya diketahui niscaya mereka akan ditangkap dan gagallah rencananya. Sejatih mata memandang yang tampak hanya lautan pasir yang bergelombang akibat hembusan angin kencang, sesekali dijumpainya gunung gunung batu nan terjal. Tak ada pepohonan hijau yang mampu tumbuh disana karena terik panas matahari mencapai 40º 55º C, sementara air sangat sulit, lebih langka daripada premium, emas dan perak. Ada juga ditemuinya beberapa pohon kurma penuh debu yang hidup segan mati tak mau di pinggir pinggir perkampungan suku Baduwi. Sungguh pemandangan yang amat menyeramkan apalagi bagi rombongan yang berasal dari Indonesia itu, suatu negara yang beriklim sedang.
Namun keganasan padang pasir tak pernah membuat musafir itu mundur, tekadnya sudah begitu kuat untuk bertemu dan pamitan kepada Rosululloh sebelum dipaksa pulang oleh pemerintah. Walaupun untuk mencapai maksudnya mereka harus berjalan kaki menempuh jarak 498 km.
Mereka berjalan terus dengan tertatih tatih, apabila panas sudah mencapai terik yang terlalu menyengat sekitar jam 11.00 siang, mereka sudah tak tahan berjalan, maka segeralah mereka mencari tempat istirahat, mereka sangat senang jika menemukan tempat berteduh baik pohon atau timbunan batu dilereng gunung, apalagi disitu ada mata air yang biasa disebut Wadi, dapatlah mereka melakukan istirahat disana, mengisi persediaan air dan tertidur pulas. Namun jika mereka tidak menemukan tempat senyaman wadi, terpaksalah mereka berhenti dan tidur di tengah tengah padang pasir. Digalinya padang pasir itu Ialu masing masing mereka memendam badannya sampai batas leher, hanya kepala yang kelihatan. Maksudnya agar mereka tidak terserang HEAT STROKE (Penyakit bahaya akibat sengatan padang pasir yang punya kadar kelembaban amat rendah).
Namun yang paling mengagumkan dari kisah perjalanan ini, keteguhan hati mereka untuk tetap membuka pengajian disaat saat istirahat, bila memungkinkan mereka duduk melingkar dan H. Djazuli sebagai Ustadz memulai pembahasan. Kitab yang mereka kaji adalah Minhatul i’rob, sebuah kitab kecil tentang pelajaran nahwu. Namun sayang, kitab yang turut serta dalam perjalanan bersejarah itu terpaksa menjadi cacat, pasalnya H. Djazuli tak bisa meninggalkan kebiasaan merokok dan pinggir pinggir kitab itulah yang terpaksa disobek untuk membungkus tembakau.
Ditemuinya sekelompok Badui menggembalakan kambing. Di zaman dahulu orang Badui adalah suku bangsa Nomaden (Suku yang suka bertempat tinggal secara pindah pindah), mereka mengembara mencari tempat yang layak untuk kambing kambingnya. Pengembangan serta pendidikan untuk suku Badui sehingga menjadi suku yang bermukim tetap dan mengolah pertanian kurma baru dimulai setelah raja Abd. Aziz Bin Su’ud naik tahta.21)
Rupanya kelompok Badui tadi tertarik melihat rombongan orang orang asing tengah berjalan kaki dengan susah payah, orang asing itu kelihatan meringis kepanasan, agaknya mereka butuh pertolongan. Betapa senangnya H. Djazuli dan kawan kawannya setelah Badui tersebut menyapa mereka dan mempersilahkan singgah digubuknya. Di situlah sang musafir bisa tidur, sholat dan mengisi persediaan air, sementara Badui menyembelih seekor kambing untuk merceka. Mereka diberi makan sampai kenyang, kemudian diberikan bungkusan berisi makanan dan daging kambing untuk makanan di perjalanan. Masing masing menenteng sebuah bungkusan.
Mereka bisa tersenyum penuh rasa syukur, yakinlah mereka bahwa Allah benar-benar maha Pengasih dan Penyayang. Mereka yakin bahwa Allah pasti memberi rizki dengan caranya sendiri, walaupun di tengah pasir yang Iuas ini. Mereka tak pernah putus asa, perjalananpun terus dilanjutkan. Ternyata ada lagi kelompok Badui ditemtuinya. Badui kedua ini juga tertarik melihat iring iringan mereka, tetapi yang menarik bagi kelompok Badui ini adalah bungkusan bungkusan makanan dan barang bawaan mereka. Timbulah niat jahat dan kekasaran Badui yang sudah ditempa oleh alam yang gersang dan ganas, Badui mulai menyergap rombongan musafir sambil menjulurkan tombak dan memaksa rombongan segera menyerahkan diri. Namun sebelum insiden perampokan berlangsung salah seorang anggota rombongan dengan suara memelas menjelaskan kepada Badui itu dengan logat ‘Amiyyah:
انا فقير الجاوى بذى ارواح الى مدينة الرسول
(Kami fakir fakir dari tanah lawa akan berziarah ke makam Rosul).
Badui badui itu terketuk nuraninya, lebih lebih setelah memperhatikan keadaan musafir itu yang sangat membutuhkan pertolongan, malahan Badui tersebut Ialu mempersilahkannya istirahat dan memberinya makan minum.
Akan tetapi pada tahun 1922 ia dan seluruh warga negara asing di Mekkah terpaksa tak dapat meneruskan pelajaran atau kegiatan, karena tahun itu terjadi kudeta (Perebutan kekuasaan) oleh kelompok Wahabi yang diprakarsai oleh Abd. Aziz As Suud. Perang saudara berkecamuk hebat dan diberlakukan hukum darurat perang. Karena situasi negara yang masih sangat rawan, pihak keamanan negara segera menangkap orang orang asing dan dipaksa kembati ke negara asalnya. Mendengar berita tersebut H. Djazuli merasa sedih dan sangat khawatir kalau sampai tertangkap dan dipulangkan. Pasainya selama berada di tanah suci belum pernah ia ziarah kemakam Rosul di Madinah, maklum ia tak punya biaya. Lalu diajaknya Sahlan beserta 5 orang teman lainnya untuk menerobos masuk ke Madinah secara nekat berjalan kaki. Mereka bertujuh sepakat berangkat dengan membawa sedikit bekal sambil mengalungkan Guriba (Kantong wadah air yang terbuat dari kulit kambing) dilehernya masing masing. Berjalanlah mereka melintasi padang pasir tandus yang amat luas, sebagai gerilyawan yang diburu oleh pemberontak Wahabi, apabila jejaknya diketahui niscaya mereka akan ditangkap dan gagallah rencananya. Sejatih mata memandang yang tampak hanya lautan pasir yang bergelombang akibat hembusan angin kencang, sesekali dijumpainya gunung gunung batu nan terjal. Tak ada pepohonan hijau yang mampu tumbuh disana karena terik panas matahari mencapai 40º 55º C, sementara air sangat sulit, lebih langka daripada premium, emas dan perak. Ada juga ditemuinya beberapa pohon kurma penuh debu yang hidup segan mati tak mau di pinggir pinggir perkampungan suku Baduwi. Sungguh pemandangan yang amat menyeramkan apalagi bagi rombongan yang berasal dari Indonesia itu, suatu negara yang beriklim sedang.
Namun keganasan padang pasir tak pernah membuat musafir itu mundur, tekadnya sudah begitu kuat untuk bertemu dan pamitan kepada Rosululloh sebelum dipaksa pulang oleh pemerintah. Walaupun untuk mencapai maksudnya mereka harus berjalan kaki menempuh jarak 498 km.
Mereka berjalan terus dengan tertatih tatih, apabila panas sudah mencapai terik yang terlalu menyengat sekitar jam 11.00 siang, mereka sudah tak tahan berjalan, maka segeralah mereka mencari tempat istirahat, mereka sangat senang jika menemukan tempat berteduh baik pohon atau timbunan batu dilereng gunung, apalagi disitu ada mata air yang biasa disebut Wadi, dapatlah mereka melakukan istirahat disana, mengisi persediaan air dan tertidur pulas. Namun jika mereka tidak menemukan tempat senyaman wadi, terpaksalah mereka berhenti dan tidur di tengah tengah padang pasir. Digalinya padang pasir itu Ialu masing masing mereka memendam badannya sampai batas leher, hanya kepala yang kelihatan. Maksudnya agar mereka tidak terserang HEAT STROKE (Penyakit bahaya akibat sengatan padang pasir yang punya kadar kelembaban amat rendah).
Namun yang paling mengagumkan dari kisah perjalanan ini, keteguhan hati mereka untuk tetap membuka pengajian disaat saat istirahat, bila memungkinkan mereka duduk melingkar dan H. Djazuli sebagai Ustadz memulai pembahasan. Kitab yang mereka kaji adalah Minhatul i’rob, sebuah kitab kecil tentang pelajaran nahwu. Namun sayang, kitab yang turut serta dalam perjalanan bersejarah itu terpaksa menjadi cacat, pasalnya H. Djazuli tak bisa meninggalkan kebiasaan merokok dan pinggir pinggir kitab itulah yang terpaksa disobek untuk membungkus tembakau.
Ditemuinya sekelompok Badui menggembalakan kambing. Di zaman dahulu orang Badui adalah suku bangsa Nomaden (Suku yang suka bertempat tinggal secara pindah pindah), mereka mengembara mencari tempat yang layak untuk kambing kambingnya. Pengembangan serta pendidikan untuk suku Badui sehingga menjadi suku yang bermukim tetap dan mengolah pertanian kurma baru dimulai setelah raja Abd. Aziz Bin Su’ud naik tahta.21)
Rupanya kelompok Badui tadi tertarik melihat rombongan orang orang asing tengah berjalan kaki dengan susah payah, orang asing itu kelihatan meringis kepanasan, agaknya mereka butuh pertolongan. Betapa senangnya H. Djazuli dan kawan kawannya setelah Badui tersebut menyapa mereka dan mempersilahkan singgah digubuknya. Di situlah sang musafir bisa tidur, sholat dan mengisi persediaan air, sementara Badui menyembelih seekor kambing untuk merceka. Mereka diberi makan sampai kenyang, kemudian diberikan bungkusan berisi makanan dan daging kambing untuk makanan di perjalanan. Masing masing menenteng sebuah bungkusan.
Mereka bisa tersenyum penuh rasa syukur, yakinlah mereka bahwa Allah benar-benar maha Pengasih dan Penyayang. Mereka yakin bahwa Allah pasti memberi rizki dengan caranya sendiri, walaupun di tengah pasir yang Iuas ini. Mereka tak pernah putus asa, perjalananpun terus dilanjutkan. Ternyata ada lagi kelompok Badui ditemtuinya. Badui kedua ini juga tertarik melihat iring iringan mereka, tetapi yang menarik bagi kelompok Badui ini adalah bungkusan bungkusan makanan dan barang bawaan mereka. Timbulah niat jahat dan kekasaran Badui yang sudah ditempa oleh alam yang gersang dan ganas, Badui mulai menyergap rombongan musafir sambil menjulurkan tombak dan memaksa rombongan segera menyerahkan diri. Namun sebelum insiden perampokan berlangsung salah seorang anggota rombongan dengan suara memelas menjelaskan kepada Badui itu dengan logat ‘Amiyyah:
انا فقير الجاوى بذى ارواح الى مدينة الرسول
(Kami fakir fakir dari tanah lawa akan berziarah ke makam Rosul).
Badui badui itu terketuk nuraninya, lebih lebih setelah memperhatikan keadaan musafir itu yang sangat membutuhkan pertolongan, malahan Badui tersebut Ialu mempersilahkannya istirahat dan memberinya makan minum.
***
Hari demi hari mereka berjalan dan terus
berjalan, sandal sandal mereka sudah tak berfungsi lagi sementara kaki
kaki mereka mulai membengkak, disobeknya surban atau celana untuk
membalut kakinya agar dapat meneruskan perjalanan dan kesengsaraanpun
kian terasa. Meneruskan perialanan bagi mereka adalah sungguh berat,
namun akan kembali lagi ke Mekah sudah terlanjur jauh, akan berdiam di
tengah gurun pasir juga sangat mustahil. Gurun pasir dirasakannya sangat
kejam, tak ada warung atau kios tempat membeli keperluan, yang ada
hanyalah dahaga dan hanya bersabar yang dapat mereka lakukan. Mereka
mengharap semoga rasa haus di panas terik ini akan melepas dahaga
baginya dihari kiamat nanti.
Kini mereka sudah tak punya apa apa lagi buat dimakan atau diminum, sementara mereka sudah sangat lapar dan haus, saat itulah H. Djazuli berkata kepada Sahlan dan kawan kawan: “Aku akan berdo’a kalian semua mengaminkan”, dan mereka pun berdo’a dengan khusuknya mohon pertolongan kepada Allah.
Tak lama setelah itu seorang berbaju putih memanggil-manggil dari kejauhan sambil berisyarat dengan tangan, orang tersebut mempersilahkan sang musafir masuk kedalam gua. Disana sudah disiapkan aneka makanan, lauk pauk dan buah buahan. Dan merekapun makan sepuas-puasnya kemudian tak lupa mereka diberi bungkusan dan air minum untuk persiapan di tengah jalan.
Peristiwa serupa terjadi berulangkali. Anchnya tempat makan tadi sudah hilang lenyap tatkala mereka menoleh ke belakang, yang ada tinggallah padang pasir. Ini baru disadarinya setelah peristiwa berulang kali, aneh tapi nyata sebagai bukti kekuasaan Tuhan.
Kini mereka sudah tak punya apa apa lagi buat dimakan atau diminum, sementara mereka sudah sangat lapar dan haus, saat itulah H. Djazuli berkata kepada Sahlan dan kawan kawan: “Aku akan berdo’a kalian semua mengaminkan”, dan mereka pun berdo’a dengan khusuknya mohon pertolongan kepada Allah.
Tak lama setelah itu seorang berbaju putih memanggil-manggil dari kejauhan sambil berisyarat dengan tangan, orang tersebut mempersilahkan sang musafir masuk kedalam gua. Disana sudah disiapkan aneka makanan, lauk pauk dan buah buahan. Dan merekapun makan sepuas-puasnya kemudian tak lupa mereka diberi bungkusan dan air minum untuk persiapan di tengah jalan.
Peristiwa serupa terjadi berulangkali. Anchnya tempat makan tadi sudah hilang lenyap tatkala mereka menoleh ke belakang, yang ada tinggallah padang pasir. Ini baru disadarinya setelah peristiwa berulang kali, aneh tapi nyata sebagai bukti kekuasaan Tuhan.
***
Mereka merasa lega dan amat bersyukur
setelah sebulan lebih terkatung katung dihempas derita akhirnya
sampailah mereka di kota Madinah sekitar jam 16.30 sore, kota yang
pernah menerima Rosul dan kaum Muhajirin dengan lemah lembut dan ramah
tamah. Perlakuan itu juga yang mereka harapkan setelah memasuki kota.
Perihnya kaki yang sudah bengkak bengkak dengan parahnya tak tertahankan lagi disamping kelesuan dan kejenuhan perjalanan yang telah memuncak dan mereka membaringkan tubuh di suatu tempat tanpa perduli malu, sebagian mereka tertidur pulas kecapaian.
Tiba tiba lewat seorang wanita sedang menggendong madu, wanita itu agaknya juga masygul melihat pemandangan yang ganjil berupa orang orang asing tidur berserakan dengan pakaian kumal dan kaki bengkak, terbitlah rasa kemanusiaan dalam nuraninya, “Sungguh kasihan mereka”, bisik hatinya. Wanita itu berhenti tak jauh dari tempat sang musafir sambil melepaskan gendongannya di atas tanah. Dan masing masing musafir itu diberinya madu sekedarnya, madu Arab yang terkenal tinggi khasiatnya. Latu wanita tadi mempersilahkan para musafir untuk mampir di rumah keluarganya.
Seluruh anggota keluarga dan tetangga berkerumun menyambut musafir musafir yang sangat menyedihkan nasibnya ini, di tempat itulah mereka menginap, mendapatkan pelayanan makan dan pengobatan.
Kini mereka merasa puas telah dapat mencapai maksud hati untuk menghadap kepada Rosul yang mulia. Perihnya kaki yang bengkak dan pedihnya derita perjalanan terasa agak berkurang karena mengenang betapa beratnya perjuangan Rosul dan sahabat sahabatnya. Merekapun berziarah berulang kali selama berada di kota ini. Mereka mengharapkan safa’at di hari kemudian.
Hampir sebulan lamanya mereka di Madinah, sedangkan di Mekkah peperangan berangsur-angsur mereda. Kaum Wahabi berhasil menggulingkan pemerintah lama, maka resmilah berdiri kerajaan AS SU’UDIYYAH (Saudi Arabiyah). Walaupun peperangan sudah hampir usai, orang orang asing tetap dipaksa untuk pulang kembali ke tanah airnya.
Dan sejak berkuasanya Kaum Wahabi itulah Arab Saudi melarang kegiatan belajar mengajar untuk ajaranajaran lain termasuk Ahlussunnah Waljama’ah, sekaligus pengajaran kitab kuning. Yang diperbolehkan hanyalah pengajaran dan pengembangan ajaran Wahabi. Konon H. Djazuli dan kawan kawannya ditangkap oleh pihak keamanan di Madinah dan dipaksa untuk pulang lewat pengurusan konsulat Belanda. Petugas tak memberi kesempatan untuk berkemas kemas, pamitan atau mengurus barang, dan kitab kitabnya di Mekkah untuk dibawa pulang. Hanya kitab Dalailul khoirot yang terbawa pulang. Kitab tersebut beliau peroleh dari orang yang tak dikenal pada suatu tempat di Mekkah. Konon setelah beliau tanyakan tempat itu dahulu adalah kuburnya Syekh Ibrahim Attaimiy.
H. Djazuli telah sampai di Jakarta setelah berlayar berbulan bulan dengan kapal uap. Pemerintah memberikan uang transport dan sebelum berangkat ke Ploso kakinya mendapat pengobatan terlebih dahulu.
Tak seperti pak haji pada umumnya yang pulang bahagia d.engan wajah berseri seri memakai jubah, surban, igal dan pakaian pakaian kebesaran Arab lainnya. H. Djazuli datang tak dapat turun sendiri dari mobilnya karena kakinya yang masih sakit. Memakai baju deril yang sobek di sana sini, tak ada sanak famili, yang menjemput ke pelabuhan, karena tak ada orang yang menyangka ia akan pulang.22)
Semua orang terkejut menyaksikan kedatangannya dan merasa iba melihat haji baru itu digotong dari mobil yang mengantarnya. Suasana pilu dan sedih menyelimuti perasaan seluruh keluarga dan tak ada yang kuasa menahan air mata. Siapa yang tak terharu dan tersayat hatinya melihat keberangkatannya berbekal derita, di tanah suci dihempas derita yang begitu susah sampai pulangpun ternyata membawa oleh oleh derita. Tak ada kurma dan air Zamzam yang dibagi, sedangkan kitab kitab dan barangnya tak sempat dibawa pulang, semuanya ditinggal di Mekkah. Akan tetapi ia sebenarnya membawa oleh oleh yang jauh lebih berharga dari segala-galanya yaitu ilmu agama dan haji yang Mabrur.
Perihnya kaki yang sudah bengkak bengkak dengan parahnya tak tertahankan lagi disamping kelesuan dan kejenuhan perjalanan yang telah memuncak dan mereka membaringkan tubuh di suatu tempat tanpa perduli malu, sebagian mereka tertidur pulas kecapaian.
Tiba tiba lewat seorang wanita sedang menggendong madu, wanita itu agaknya juga masygul melihat pemandangan yang ganjil berupa orang orang asing tidur berserakan dengan pakaian kumal dan kaki bengkak, terbitlah rasa kemanusiaan dalam nuraninya, “Sungguh kasihan mereka”, bisik hatinya. Wanita itu berhenti tak jauh dari tempat sang musafir sambil melepaskan gendongannya di atas tanah. Dan masing masing musafir itu diberinya madu sekedarnya, madu Arab yang terkenal tinggi khasiatnya. Latu wanita tadi mempersilahkan para musafir untuk mampir di rumah keluarganya.
Seluruh anggota keluarga dan tetangga berkerumun menyambut musafir musafir yang sangat menyedihkan nasibnya ini, di tempat itulah mereka menginap, mendapatkan pelayanan makan dan pengobatan.
Kini mereka merasa puas telah dapat mencapai maksud hati untuk menghadap kepada Rosul yang mulia. Perihnya kaki yang bengkak dan pedihnya derita perjalanan terasa agak berkurang karena mengenang betapa beratnya perjuangan Rosul dan sahabat sahabatnya. Merekapun berziarah berulang kali selama berada di kota ini. Mereka mengharapkan safa’at di hari kemudian.
Hampir sebulan lamanya mereka di Madinah, sedangkan di Mekkah peperangan berangsur-angsur mereda. Kaum Wahabi berhasil menggulingkan pemerintah lama, maka resmilah berdiri kerajaan AS SU’UDIYYAH (Saudi Arabiyah). Walaupun peperangan sudah hampir usai, orang orang asing tetap dipaksa untuk pulang kembali ke tanah airnya.
Dan sejak berkuasanya Kaum Wahabi itulah Arab Saudi melarang kegiatan belajar mengajar untuk ajaranajaran lain termasuk Ahlussunnah Waljama’ah, sekaligus pengajaran kitab kuning. Yang diperbolehkan hanyalah pengajaran dan pengembangan ajaran Wahabi. Konon H. Djazuli dan kawan kawannya ditangkap oleh pihak keamanan di Madinah dan dipaksa untuk pulang lewat pengurusan konsulat Belanda. Petugas tak memberi kesempatan untuk berkemas kemas, pamitan atau mengurus barang, dan kitab kitabnya di Mekkah untuk dibawa pulang. Hanya kitab Dalailul khoirot yang terbawa pulang. Kitab tersebut beliau peroleh dari orang yang tak dikenal pada suatu tempat di Mekkah. Konon setelah beliau tanyakan tempat itu dahulu adalah kuburnya Syekh Ibrahim Attaimiy.
H. Djazuli telah sampai di Jakarta setelah berlayar berbulan bulan dengan kapal uap. Pemerintah memberikan uang transport dan sebelum berangkat ke Ploso kakinya mendapat pengobatan terlebih dahulu.
Tak seperti pak haji pada umumnya yang pulang bahagia d.engan wajah berseri seri memakai jubah, surban, igal dan pakaian pakaian kebesaran Arab lainnya. H. Djazuli datang tak dapat turun sendiri dari mobilnya karena kakinya yang masih sakit. Memakai baju deril yang sobek di sana sini, tak ada sanak famili, yang menjemput ke pelabuhan, karena tak ada orang yang menyangka ia akan pulang.22)
Semua orang terkejut menyaksikan kedatangannya dan merasa iba melihat haji baru itu digotong dari mobil yang mengantarnya. Suasana pilu dan sedih menyelimuti perasaan seluruh keluarga dan tak ada yang kuasa menahan air mata. Siapa yang tak terharu dan tersayat hatinya melihat keberangkatannya berbekal derita, di tanah suci dihempas derita yang begitu susah sampai pulangpun ternyata membawa oleh oleh derita. Tak ada kurma dan air Zamzam yang dibagi, sedangkan kitab kitab dan barangnya tak sempat dibawa pulang, semuanya ditinggal di Mekkah. Akan tetapi ia sebenarnya membawa oleh oleh yang jauh lebih berharga dari segala-galanya yaitu ilmu agama dan haji yang Mabrur.
Kembali Ke Pesantren
Berangsur angsur kesehatan H. Djazuli
pulih kembali setelah mendapatkan perawatan dan istirahat secukupnya,
akan tetapi bagi H. Djazuli yang sedari kecil sudah ditempa untuk
disiplin dan menghargai waktu, istirahat dirasakannya sebagai beban
mental, disamping itu ia merasakan bahwa keadaannya yang menganggur
telah menambah pemikiran bagi ibunya yang nampak semakin tua, timbul
perasaan tidak enak dihatinya, apalagi telah melihat saudara saudaranya
seperti Mas Iskandar, Zarkasi dan Miftah telah bekerja sebagai pegawai
negeri dan telah berumah tangga dengan mapan, ia tak layak untuk terus
di rumah, walaupun bagi ibunya sendiri tak menganggap apa apa.
Perasaannya ini sangat beralasan karena ia sudah dewasa dan warisan yang menjadi haknya telah dijual habi untuk haji, ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Maka dengan berbekal semangat berangkatlah ia ke Tebuireng – Jombang setelah pamit dari rtumah dan singgah beberapa lama mohon izin di mojosari kepada Kyai Zainuddin mertuanya.
Ia memilih Tebuireng karena pada tahun 1923 itu, walaupun Organisasi Nu belum berdiri nama Kyai hasyim Asy’ari amatlah masyhur. Murid Kyai Kholil Bangkalan ini dikenal sangat alim ilmu hadits, disamping Pondok Tebuireng mempunyai nama yang harum karena reputasinya yang banyak menelorkan tokoh-tokoh Ulama dan Politisi di negara ini.
Tatkala H. Djazuli telah sampai di Tebuireng dan sowan (menghadap) kepada Kyai Hasyim untuk menyampaikan niatnya akan mempelajari ilmu terutama ilmu hadits, Kyai Hasyim malah menugaskannya untuk membaca (mengajar) Tafsir Jalalain. H. Djazuli tak bisa berbuat pura-pura bodoh di hadapan Kyai Hasyim. Sebab beliau tahu siapa H. Djazuli sebenarya yang tak lain adalah Mas’udnya Kyai Zainuddin Mojosari. Bukankah nama itu sudah dikenal di kalangan Pesantren, khususnya Ulama’ ulama’ yang karib dengan Kyai Zainuddin seperti Kyai Hasyirn.
“Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja disini,” kata Kyai Hasim dengan tegas. Bukan hanya Tafsir yang ditugaskan kepadanya, tapi dipercaya juga untuk rnengajar di Madrasah.
H. Djazuli sebenarnya masih menyadari kebodohannya. Seperti itulah memang sikapnya sampai ia kelak menjadi ‘ulama besar. la selalu merasa bodoh, merasa baru menguasai setetes ilmu dari samudera ilmu yang tak ada batasnya. Itulah sebabnya ia selalu merendah dan masih selalu haus sampai kapanpun. Tugas mengajar yang diembankan kepadanya diterimanya dengan ikhlas semata-mata sebagai ta’dhim dan ia yakin dari tugas itu dapat dipetik banyak pelajaran dan pengalaman. lapun menjalankan tugasnya dengan baik, disiplin dan penuh tanggung jawab.
Kini Kyai Hasyim tidak mendengar cerita dari Kyai Zainuddin atau orang lain tentang kehebatan Mas’ud, tetapi sudah dibuktikannya dengan mata kepala sehingga bertambahlah kagum, cinta dan kepercayaan beliau. Konon, ketika itu baru berdiri Majelis Musyawaroh Riadlotut Tholabah (Majelis kerjasama antar Pondok Pesantren yang menyelenggarakan seminar seminar tentang permasalahan agama sesuai dengan konteks yang berkembang). Untuk mewakili Tebuireng dalam bahtsulmasail (seminar) H. Djazulilah yang dipilih oleh Kyai Hasyim. Berulang kali ia menghadiri Bahsulmasail diberbagai tempat seperti di Kenes, Surabaya, Semarang dan sebagainya. Di acara acara inilah ia banyak bertemu dengan tokoh tokoh berkaliber nasional. Suatu kesempatan yang baik baginya untuk berkenalan dan berhubungan dengan tokoh masyarakat sehingga wawasannya dapat berkembang sangat luas. la tidak hanya memiliki wawasan keagamaan dan keilmuan yang dalam, wawasan berbangsa dan bernegara juga dikuasainya.
Jelaslah dari derap langkahnya di Tebuireng H. Djazuli telah menimba banyak ilmu dan pengalamaii disamping ilmu Hadits yang menjadi tujuan pokoknya. Sebab disamping pengalaman luas di luar Pondok lewat forurn bahtsulmasail di atas ia terus ditempa dengan pengalaman pengalaman di dalam Pondok. Mengajar Tafsir merupakan study banding (komparasi) untuk memilih methode yang tepat dalam memberikan pengajian, sedangkan mengajar di Madrasah merupakan peluang emas untuk belajar sistem rnanajemen dan methode pendidikan Pondok yang baik.
Perasaannya ini sangat beralasan karena ia sudah dewasa dan warisan yang menjadi haknya telah dijual habi untuk haji, ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Maka dengan berbekal semangat berangkatlah ia ke Tebuireng – Jombang setelah pamit dari rtumah dan singgah beberapa lama mohon izin di mojosari kepada Kyai Zainuddin mertuanya.
Ia memilih Tebuireng karena pada tahun 1923 itu, walaupun Organisasi Nu belum berdiri nama Kyai hasyim Asy’ari amatlah masyhur. Murid Kyai Kholil Bangkalan ini dikenal sangat alim ilmu hadits, disamping Pondok Tebuireng mempunyai nama yang harum karena reputasinya yang banyak menelorkan tokoh-tokoh Ulama dan Politisi di negara ini.
Tatkala H. Djazuli telah sampai di Tebuireng dan sowan (menghadap) kepada Kyai Hasyim untuk menyampaikan niatnya akan mempelajari ilmu terutama ilmu hadits, Kyai Hasyim malah menugaskannya untuk membaca (mengajar) Tafsir Jalalain. H. Djazuli tak bisa berbuat pura-pura bodoh di hadapan Kyai Hasyim. Sebab beliau tahu siapa H. Djazuli sebenarya yang tak lain adalah Mas’udnya Kyai Zainuddin Mojosari. Bukankah nama itu sudah dikenal di kalangan Pesantren, khususnya Ulama’ ulama’ yang karib dengan Kyai Zainuddin seperti Kyai Hasyirn.
“Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja disini,” kata Kyai Hasim dengan tegas. Bukan hanya Tafsir yang ditugaskan kepadanya, tapi dipercaya juga untuk rnengajar di Madrasah.
H. Djazuli sebenarnya masih menyadari kebodohannya. Seperti itulah memang sikapnya sampai ia kelak menjadi ‘ulama besar. la selalu merasa bodoh, merasa baru menguasai setetes ilmu dari samudera ilmu yang tak ada batasnya. Itulah sebabnya ia selalu merendah dan masih selalu haus sampai kapanpun. Tugas mengajar yang diembankan kepadanya diterimanya dengan ikhlas semata-mata sebagai ta’dhim dan ia yakin dari tugas itu dapat dipetik banyak pelajaran dan pengalaman. lapun menjalankan tugasnya dengan baik, disiplin dan penuh tanggung jawab.
Kini Kyai Hasyim tidak mendengar cerita dari Kyai Zainuddin atau orang lain tentang kehebatan Mas’ud, tetapi sudah dibuktikannya dengan mata kepala sehingga bertambahlah kagum, cinta dan kepercayaan beliau. Konon, ketika itu baru berdiri Majelis Musyawaroh Riadlotut Tholabah (Majelis kerjasama antar Pondok Pesantren yang menyelenggarakan seminar seminar tentang permasalahan agama sesuai dengan konteks yang berkembang). Untuk mewakili Tebuireng dalam bahtsulmasail (seminar) H. Djazulilah yang dipilih oleh Kyai Hasyim. Berulang kali ia menghadiri Bahsulmasail diberbagai tempat seperti di Kenes, Surabaya, Semarang dan sebagainya. Di acara acara inilah ia banyak bertemu dengan tokoh tokoh berkaliber nasional. Suatu kesempatan yang baik baginya untuk berkenalan dan berhubungan dengan tokoh masyarakat sehingga wawasannya dapat berkembang sangat luas. la tidak hanya memiliki wawasan keagamaan dan keilmuan yang dalam, wawasan berbangsa dan bernegara juga dikuasainya.
Jelaslah dari derap langkahnya di Tebuireng H. Djazuli telah menimba banyak ilmu dan pengalamaii disamping ilmu Hadits yang menjadi tujuan pokoknya. Sebab disamping pengalaman luas di luar Pondok lewat forurn bahtsulmasail di atas ia terus ditempa dengan pengalaman pengalaman di dalam Pondok. Mengajar Tafsir merupakan study banding (komparasi) untuk memilih methode yang tepat dalam memberikan pengajian, sedangkan mengajar di Madrasah merupakan peluang emas untuk belajar sistem rnanajemen dan methode pendidikan Pondok yang baik.
DARI JOMBANG KE TREMAS LEWAT KARANGKATES
Prestasi H. Djazuli telah membuat banyak
pihak mengacungkan jempol, bahkan banyak orang yang mempunyai anak gadis
simpati ingin menjadikannya menantu. Andaikan Kyai Hasyim Asy’ari waktu
itu punya anak gadis yang pantas dijodohkan, tentu beliau akan mengikat
hubungan dengan murid andalannya yang sudah berstatus duda namun masih
muda perkasa (23 th). Akan tetapi beliau tak berlepas tangan begitu
saja, H. Djazuli diarahkannya menuju seorang sahabat akrabnya yaitu
Kyai. Muharrom Karangkates (± 2 km dari Ploso), Kyai yang tergolong maju
saat itu mempunyai anak gadis belia bernama Hannah. Isianya sekitar
belasan tahun, usia yang terlalu kanak-kanak untuk menghadapi rumah
tangga penuh tantangan. Namun dibalik itu Kyai Muharrom sependapat
dengan Kyai Hasyim bahwa H. Djazuli tak boleh dilepaskan begitu saja,
yang penting harus diikat sejak dini.
Karena alasan itulah tak lama setelah pernikahan berlangsung Kyai Muharrom menawarkan kepada sang menantu untuk kembali mondok bersama Jufri dan Makki, dua orang kakak iparnya. Sudah pasti H. Djazuli sang pemburu ilmu yang tak pernah mengenal lelah itu sangat senang mendengar tawaran mertuanya. Pesantren yang dituju adalah Tremas, sebuah pesantren yang terletak jauh di pelosok desa di kawasan kabupaten Pacitan yang waktu itu kendaraan sejenis bendipun tak dapat mencapainya. Untuk sampai kesana orang harus berjalan kaki beberapa lama. Untuk periode 1894 1934 M. Pondok Pesantren Tremas diasuh H. Dimyathi adik kandung sekaligus murid Syaikh Mahfudz Attarmasiy. Pondok Tremas menjadi sangat populer di zaman dahulu karena Kyai Kyainya yang benar-benar ‘alim, juga dipengaruhi reputasi (nama baik) Syaikh Mahfudz sebagai ‘Ulama kenamaan yang juga muallif (penulis) berpuluh puluh Kitab yang menjadi literatur di berbagai negara Arab dan Pondok pondok pesantren di Nusantara. Bahkan beliaulah putra Indonesia pertama yang mengajar di Masjidil Haram Makkah.23)
Tatkala sowan kepada kyai dalam rangka menyampaikan niatnya belajar, untuk kesekian kalinya H. Djazuli ditugasan memberi pelajaran. Bahkan kali ini tidak tanggung tanggung, Kyai Dimyathi menugaskannya untuk membaca sekaligus tiga kitab yang tergolong tebal tebal. Yang membuat dirinya grogi adalah ia datang ke Tremas tanpa membawa kitab, sehingga ia memberanikan diri untuk menghaturkan pada Kyai.
“Maaf saya tidak membawa kitab”, katanya mengelak, yang langsung dijawab oleh Kyai : “Tidak jadi soal, nanti bisa pinjam kitab saya”, maka diapun tidak dapat mengelak, mau tidak mau harus mengajar dengan membaca kitab Kyainya. Dan seperti yang terjadi di pondok pondok sebelumnya, kepercayaan mengajar ini juga membuat H. Djazuli tak dapat bersantai seperti santri santri biasa, dia harus lebih tekun. Mempengnya yang tak pernah surut membuktikan betapa cintanya kepada ilmu, melebihi cintanya kepada yang lain. Seolah olah ia telah berjanji setia kepada ilmu my love just for you, sehingga ia melupakan pelukan istrinya, agaknya Iezatnya madu ilmu melebihi nikmatnya bulan madu.
Di Karangkates Kyai Muharrom beserta istrinya dan Hannah putrinya menunggu dengan sabar. Sungguh kecintaan dan harapan Kyai Muharrom kepada sang menantu tak dapat diukur, sehingga beliau rela berkorban apa saja, mengalahkan cinta kepada anak kandungnya sendiri. Direncanakannya Pondok yang besar untuk H. Djazuli yang akan dibangun di areal tanah miliknya. Kyai Muharrom yakin bahwa masa depan menantunya adalah masa depan agama, keduniawian tak pemah dipikirkannya.
Akan tetapi lbu Nyai sebagai wanita yang normal mempunyai pandangan yang berbeda dengan suaminya. Disamping masa depan agama (Pondok Pesantren), Ibu Nyai ingin memikirkan masa depan dunia bagi pasangan muda menantu dan anaknya. Beliau yang berasal dari keluarga yang berada ini tak ingin anak cucunya hidup melarat, sengsara dan hina ekonominya. Jadi kehidupan dunia sangat perlu dipikirkan disamping kehidupan akherat. Bukankah kita butuh dunia hasariah, akherat hasanah?. Adalah sangat wajar kalau beliau memikirkan masalah ini sebagaimana pandangan wanita pada umumnya yang terkadang berlebihan terlalu khawatir akan nasib anaknya, bukan berarti beliau materialis.24)
Perbedaan pandangan yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman itu terus berkelanjutan sampai H. Djazuli dan ipar iparnya pulang dari Tremas. Bahkan setelah ketiga kader calon tokoh pondok itu diterjunkan untuk mengajar, kesalahfahaman tadi berkembang menjadi cemburu, fasalnya pengajian pengajian yang diasuh oleh H. Djazuli selalu mendapat kunjungan lebih ramai dan antusias dari para santri, mengalahkan kedua putranya. Hal ini tentu menimbulkan gap (jurang pemisah) yang sulit dihindarkan, walaupun rumah tangga yang dibina H. Djazuli dan Hannah bisa berlangsung harmonis dan rukun.
Suatu cobaan berat diterimanya dalam memilih antara istri tercinta ataukah idealisme perjuangan mengembangkan ilmu, banyak sudah calon pemimpin kandas ketika dihadapkan pada wanita harta atau kedudukan. H. Djazuli adalah teladan yang pantas kita tiru, hatinya tak bergeming menerima tantangan tantangan seperti itu. Dia tetap memilih ilmu, suatu idealisme yang sudah diyakininya, mengaji dan hanya mengaji, itulah yang terpenting, perkara lain adalah kecil, perkara rizki adalah anugrah Tuhan semata, itulah prinsip yang dipegang oleh H. Djazuli dan itu pula pendiriannya, tatkala ibu mertuanya mengatakan dengan sinis: “Wong isane mung ngaji tok, sing kanggo ngopeni bojo iku apo … ?”*)
Akhirnya demi kemaslahatan bersama dan kelangsungan cita cita, H. Djazuli menjatuhkan talaq dengan sangat terpaksa setelah terlebih dahulu mohon pertimbangan dan restu ibunya di Ploso.
Karena alasan itulah tak lama setelah pernikahan berlangsung Kyai Muharrom menawarkan kepada sang menantu untuk kembali mondok bersama Jufri dan Makki, dua orang kakak iparnya. Sudah pasti H. Djazuli sang pemburu ilmu yang tak pernah mengenal lelah itu sangat senang mendengar tawaran mertuanya. Pesantren yang dituju adalah Tremas, sebuah pesantren yang terletak jauh di pelosok desa di kawasan kabupaten Pacitan yang waktu itu kendaraan sejenis bendipun tak dapat mencapainya. Untuk sampai kesana orang harus berjalan kaki beberapa lama. Untuk periode 1894 1934 M. Pondok Pesantren Tremas diasuh H. Dimyathi adik kandung sekaligus murid Syaikh Mahfudz Attarmasiy. Pondok Tremas menjadi sangat populer di zaman dahulu karena Kyai Kyainya yang benar-benar ‘alim, juga dipengaruhi reputasi (nama baik) Syaikh Mahfudz sebagai ‘Ulama kenamaan yang juga muallif (penulis) berpuluh puluh Kitab yang menjadi literatur di berbagai negara Arab dan Pondok pondok pesantren di Nusantara. Bahkan beliaulah putra Indonesia pertama yang mengajar di Masjidil Haram Makkah.23)
Tatkala sowan kepada kyai dalam rangka menyampaikan niatnya belajar, untuk kesekian kalinya H. Djazuli ditugasan memberi pelajaran. Bahkan kali ini tidak tanggung tanggung, Kyai Dimyathi menugaskannya untuk membaca sekaligus tiga kitab yang tergolong tebal tebal. Yang membuat dirinya grogi adalah ia datang ke Tremas tanpa membawa kitab, sehingga ia memberanikan diri untuk menghaturkan pada Kyai.
“Maaf saya tidak membawa kitab”, katanya mengelak, yang langsung dijawab oleh Kyai : “Tidak jadi soal, nanti bisa pinjam kitab saya”, maka diapun tidak dapat mengelak, mau tidak mau harus mengajar dengan membaca kitab Kyainya. Dan seperti yang terjadi di pondok pondok sebelumnya, kepercayaan mengajar ini juga membuat H. Djazuli tak dapat bersantai seperti santri santri biasa, dia harus lebih tekun. Mempengnya yang tak pernah surut membuktikan betapa cintanya kepada ilmu, melebihi cintanya kepada yang lain. Seolah olah ia telah berjanji setia kepada ilmu my love just for you, sehingga ia melupakan pelukan istrinya, agaknya Iezatnya madu ilmu melebihi nikmatnya bulan madu.
Di Karangkates Kyai Muharrom beserta istrinya dan Hannah putrinya menunggu dengan sabar. Sungguh kecintaan dan harapan Kyai Muharrom kepada sang menantu tak dapat diukur, sehingga beliau rela berkorban apa saja, mengalahkan cinta kepada anak kandungnya sendiri. Direncanakannya Pondok yang besar untuk H. Djazuli yang akan dibangun di areal tanah miliknya. Kyai Muharrom yakin bahwa masa depan menantunya adalah masa depan agama, keduniawian tak pemah dipikirkannya.
Akan tetapi lbu Nyai sebagai wanita yang normal mempunyai pandangan yang berbeda dengan suaminya. Disamping masa depan agama (Pondok Pesantren), Ibu Nyai ingin memikirkan masa depan dunia bagi pasangan muda menantu dan anaknya. Beliau yang berasal dari keluarga yang berada ini tak ingin anak cucunya hidup melarat, sengsara dan hina ekonominya. Jadi kehidupan dunia sangat perlu dipikirkan disamping kehidupan akherat. Bukankah kita butuh dunia hasariah, akherat hasanah?. Adalah sangat wajar kalau beliau memikirkan masalah ini sebagaimana pandangan wanita pada umumnya yang terkadang berlebihan terlalu khawatir akan nasib anaknya, bukan berarti beliau materialis.24)
Perbedaan pandangan yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman itu terus berkelanjutan sampai H. Djazuli dan ipar iparnya pulang dari Tremas. Bahkan setelah ketiga kader calon tokoh pondok itu diterjunkan untuk mengajar, kesalahfahaman tadi berkembang menjadi cemburu, fasalnya pengajian pengajian yang diasuh oleh H. Djazuli selalu mendapat kunjungan lebih ramai dan antusias dari para santri, mengalahkan kedua putranya. Hal ini tentu menimbulkan gap (jurang pemisah) yang sulit dihindarkan, walaupun rumah tangga yang dibina H. Djazuli dan Hannah bisa berlangsung harmonis dan rukun.
Suatu cobaan berat diterimanya dalam memilih antara istri tercinta ataukah idealisme perjuangan mengembangkan ilmu, banyak sudah calon pemimpin kandas ketika dihadapkan pada wanita harta atau kedudukan. H. Djazuli adalah teladan yang pantas kita tiru, hatinya tak bergeming menerima tantangan tantangan seperti itu. Dia tetap memilih ilmu, suatu idealisme yang sudah diyakininya, mengaji dan hanya mengaji, itulah yang terpenting, perkara lain adalah kecil, perkara rizki adalah anugrah Tuhan semata, itulah prinsip yang dipegang oleh H. Djazuli dan itu pula pendiriannya, tatkala ibu mertuanya mengatakan dengan sinis: “Wong isane mung ngaji tok, sing kanggo ngopeni bojo iku apo … ?”*)
Akhirnya demi kemaslahatan bersama dan kelangsungan cita cita, H. Djazuli menjatuhkan talaq dengan sangat terpaksa setelah terlebih dahulu mohon pertimbangan dan restu ibunya di Ploso.
Menjadi Kyai Perintis Al Falah
MENGEMBAN AMANAH MENEBAR ILMU
Dari Karangkates Haji Djazuli Ialu pulang
ke Ploso dengan diikuti seorang santrinya bernama Muhammad Qomar,
lucunya santri itu tidak lain adalah kakak iparnya sendiri yang tak mau
berpisah dengannya. Karena di Ploso ia belum memiliki tempat tinggal,
maka ia bersama santri satu satunya itu tinggal di bilik utara masjid
kenaiban. Seandainya yang menjabat naib waktu itu bukan Bapak Iskandar,
kakak kandungnya sendiri mungkin ia tak boleh menempati bilik itu.
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng, Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*) Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup. Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya. Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam, tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan, “Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates), maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan ia menjadi Kyai yang cukup disegani.
Haji Djazuli semakin optimis (berbesar hati) akan berhasil mendirikan Madrasah dan Pondok Pesantren yang punya masa depan gemilang. Tiba tiba ia dipanggil oleh Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, maka ia segera berangkat ke Mojosari. Tak pernah diduga sebelumnya Kyai Zainuddin berkata “Kowe biyen anakku, saiki yo anakku Mulo Pondok iki (Mojosari) terusno opo dene omahku, sawahku iki mbesok pandumen karo Zaini (putra angkat beliau).”*) Bak disambar petir di siang bolong, Haji Djazuli terperanjat di depan gurunya yang dihormatinya sekaligus mertuanya tercinta. Betipa tidak, ia sudah memiliki kemantapan hati untuk mendirikan Pondok di Ploso, sementara gurunya menginginkannya meneruskan Pondok Mojosari, suatu perbedan pendapat yang sulit dipecahkan.
Dengan sangat terpaksa ia menjawab dengan penuh kejujuran babwa ia sudah mantap untuk mendirikan Pondok di Ploso. Jawaban ini membuat Kyai Zainuddin kecewa dan marah. Bukankah sejak Haji Djazuli masih menjadi santri pengabdiannya terhadap Pondok Mojosari sudah ditekankan oleh Kyai dan agaknya Kyai sangat berharap agar Haji Djazuli benar benar tampil sebagai generasi penerus pimpinan Pondok Mojosari.
Haji Djazuli pulang ke Ploso dengan perasaan gundah, hatinya sedih karena telah berani menyakiti perasaan gurunya. la amat khawatir akan kelangsungan cita citanya tanpa mendapat ridlo dan dukungan dari gurunya sekaligus ayahnya yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Namun apa hendak dikata perbedaan pendapat tak bisa dihindarkan.
Agaknya permasalahan berat yang dihadapi oleh Haji Djazuli ini sampai juga ke telinga Kyai Hasyim Asy’ari, sehingga beliau memerlukan diri untuk menjernihkan permasalahan dengan berperan sebagai penengah, beliau segera sowan (menghadap) kepada Kyai Mojosari dan menjelaskan duduk perkaranya dengan penuh diplomatis lagi bijaksana. “Sampun kersanipun menawi pancen Haji Djazuli kepingin badhe dhamel Pondok wonten Ploso nggih sak kersanipun”.*) begitu di antara kata yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari. Kemudian hilanglah kesalahfahaman Kyai Mojosari dan beliau dapat mengerti serta akhirnya merelakan kehendak menantunya.3)
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang. Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng, Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*) Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup. Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya. Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam, tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan, “Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates), maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan ia menjadi Kyai yang cukup disegani.
Haji Djazuli semakin optimis (berbesar hati) akan berhasil mendirikan Madrasah dan Pondok Pesantren yang punya masa depan gemilang. Tiba tiba ia dipanggil oleh Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, maka ia segera berangkat ke Mojosari. Tak pernah diduga sebelumnya Kyai Zainuddin berkata “Kowe biyen anakku, saiki yo anakku Mulo Pondok iki (Mojosari) terusno opo dene omahku, sawahku iki mbesok pandumen karo Zaini (putra angkat beliau).”*) Bak disambar petir di siang bolong, Haji Djazuli terperanjat di depan gurunya yang dihormatinya sekaligus mertuanya tercinta. Betipa tidak, ia sudah memiliki kemantapan hati untuk mendirikan Pondok di Ploso, sementara gurunya menginginkannya meneruskan Pondok Mojosari, suatu perbedan pendapat yang sulit dipecahkan.
Dengan sangat terpaksa ia menjawab dengan penuh kejujuran babwa ia sudah mantap untuk mendirikan Pondok di Ploso. Jawaban ini membuat Kyai Zainuddin kecewa dan marah. Bukankah sejak Haji Djazuli masih menjadi santri pengabdiannya terhadap Pondok Mojosari sudah ditekankan oleh Kyai dan agaknya Kyai sangat berharap agar Haji Djazuli benar benar tampil sebagai generasi penerus pimpinan Pondok Mojosari.
Haji Djazuli pulang ke Ploso dengan perasaan gundah, hatinya sedih karena telah berani menyakiti perasaan gurunya. la amat khawatir akan kelangsungan cita citanya tanpa mendapat ridlo dan dukungan dari gurunya sekaligus ayahnya yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Namun apa hendak dikata perbedaan pendapat tak bisa dihindarkan.
Agaknya permasalahan berat yang dihadapi oleh Haji Djazuli ini sampai juga ke telinga Kyai Hasyim Asy’ari, sehingga beliau memerlukan diri untuk menjernihkan permasalahan dengan berperan sebagai penengah, beliau segera sowan (menghadap) kepada Kyai Mojosari dan menjelaskan duduk perkaranya dengan penuh diplomatis lagi bijaksana. “Sampun kersanipun menawi pancen Haji Djazuli kepingin badhe dhamel Pondok wonten Ploso nggih sak kersanipun”.*) begitu di antara kata yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari. Kemudian hilanglah kesalahfahaman Kyai Mojosari dan beliau dapat mengerti serta akhirnya merelakan kehendak menantunya.3)
LIKU LIKU DI AWAL 19254)
Hilang sudah keraguan di hati dan
mantaplah Haji Djazuli meneruskan perjuangannya membina dan mendidik
murid muridnya. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal
dibentuknya sebuah Madrasah. Surat permohonan pemantauan kepada
pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama
Al Falah itu tertanggal 1 januari 1925. Karena Madrasah tersebut belum
punya gedung maka tempat belajamya menggunakan serambi masjid. Inilah
awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia yang masih
muda 25 tahun.
Hisyam sudah enam bulan digembleng oleh Kyai muda, banyak peningkatan yang diperolehnya dan siaplah ia untuk mengajar di tingkat yang lebih rendah, maka Kyai Djazuli memerintahkannya untuk mengajar di malam hari sehabis maghrib membawakan mata pelajaran Sulam taufiq, Risalatul Mubtadiin dan Bad’ul amali. Jadwal ini hanya berlangsung dua bulan untuk kemudian diganti waktunya menjadi malam hari dan ternyata setelah enam bulan berjalan diganti lagi menjadi jam delapan pagi. Begitulah awal perjalanan dari sebuah perjuangan yang masib harus beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan murid yang dilayaninya. Memang menyebarkan llmu ibarat orang berdagang yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan pembeli agar barangnya bisa laku.
Hisyam sudah enam bulan digembleng oleh Kyai muda, banyak peningkatan yang diperolehnya dan siaplah ia untuk mengajar di tingkat yang lebih rendah, maka Kyai Djazuli memerintahkannya untuk mengajar di malam hari sehabis maghrib membawakan mata pelajaran Sulam taufiq, Risalatul Mubtadiin dan Bad’ul amali. Jadwal ini hanya berlangsung dua bulan untuk kemudian diganti waktunya menjadi malam hari dan ternyata setelah enam bulan berjalan diganti lagi menjadi jam delapan pagi. Begitulah awal perjalanan dari sebuah perjuangan yang masib harus beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan murid yang dilayaninya. Memang menyebarkan llmu ibarat orang berdagang yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan pembeli agar barangnya bisa laku.
Cerita tentang berdirinya Madrasah sudah
terdengar di kalangan yang lebib luas hingga satu demi satu santri
berdatangan dari berbagai desa dan santri santri yang berasal dari
daerah yang jauhpun satu demi satu menetap di Ploso. H. Ridwan Syakur,
Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari Sendang Gringging ditambah H.
Asy’ari dan Berkah dari Ngadiluwih merupakan santri santri pertama yang
menetap. Suasana sudah terasa ramai dan masjidpun terasa sesak yang
menimbulkan permasalahan baru yaitu mendesaknya pengadaan ruang belajar
yang memadai. Direncanakanlah pembangunan sebuah gedung Madrasah. Dengan
segenap tenaga, fikiran dan jerih payah yang tak ternilai, Kyai Djazuli
keliling desa guna mengumpulkan.dana untuk pembangunan tersebut. Beliau
harus mengayuh sepeda berpuluh puluh kilometer sampai Kediri,
Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar. Namun tak sia sia
banyak hartawan dan dermawan mengulurkan tangan sehingga pembangunan
segera bisa dilaksanakan. Akan tetapi di dunia ini tak ada jalan yang
terus mendatar, sebanyak jalan yang menurun sebanyak itu pula yang
mendaki. Begitulah dengan perjalanan awal Al Falah. Konon bersamaan
dengan berlangsungnya pembangunan Madrasah Pak Iskandar kakak kandung
beliau membeli sepeda fongres secara kredit, maka pecandu kesenian,
perjudian dan se)enisnya yang merasa terancam dengan kehadiran Kyai baru
itu benar benar mendapat bahan ocehan dan peluang untuk melancarkan
serangan awal.5)
“Stop sumbangan untuk madrasah”, kata mereka. “Menyumbang sama saja dengan melancarkan angsuran kredit,” begitu bunyi fitnah yang disebarkannya, bahkan ada penduduk yang membelah kayu untuk disumbangkan kepada pembangunan. Di tengah perjalanan kayu tersebut dicegat dan sebagiannya dibawa kembali.
“Stop sumbangan untuk madrasah”, kata mereka. “Menyumbang sama saja dengan melancarkan angsuran kredit,” begitu bunyi fitnah yang disebarkannya, bahkan ada penduduk yang membelah kayu untuk disumbangkan kepada pembangunan. Di tengah perjalanan kayu tersebut dicegat dan sebagiannya dibawa kembali.
Kyai Djazuli tetap diam, seperti diamnya
di masa kanak kanak. Kesabarannya begitu tinggi. Akan tetapi fitnah
bukannya reda, justru semakin menusuk hati. Disebarkanlah isu babwa
jalannya Madrasah Ploso itu tidaklah baik, karena gurunya kurang umur,
kurang pintar, kurang sholeh dan sebagainya. Kyai Djazuli masih tenang
tenang saja, namun diam diam beliau mempunyai taktik yang sangat jitu
untuk menangkis serangan mereka. Diundanglah para Kyai dan pemuka
masyarakat sewilayah kecamatan Ploso untuk mengadakan suatu rapat yang
berkaitan dengan berdirinya Madrasah. Acara dibuka dengan pembacaan Al
Qur’an oleh Abdullah Hisyam seorang santri beliau yang ditugaskan
mengajar di Madrasah. Tentu saja kemampuan vokal (suara), tajwid dan
lagunya memenuhi persyaratan. Setelah itu Kyai Djazuli memberi sambutan
tentang permasalahan permasalahan yang tengah dihadapi, tetapi sebagian
isi sambutan tersebut memperkenalkan siapakah Qori’ yang penampilannya
cukup lumayan tadi. Saya berani menugaskannya mengajar karena bacaannya
sudah bagus, sah untuk dijadikan imam sholat, tulisannya jelas dapat
terbaca dan akhlaknya pun bagus.
“Saya menganggap dia cukup pantas. Adapun masalah-masalah kekurangan akan saya usahakan untuk diperbaiki”, begitulah sambutan beliau yang kemudian dilanjutkan dengan ungkapan sebagai berikut: “Akan tetapi terserah bapak bapak, kalau mengusulkan untuk diganti, ya saya akan ganti”, serentak hadirin menjawab: “Tidak, tidak perlu! sudah, sudah bagus”.
“Saya menganggap dia cukup pantas. Adapun masalah-masalah kekurangan akan saya usahakan untuk diperbaiki”, begitulah sambutan beliau yang kemudian dilanjutkan dengan ungkapan sebagai berikut: “Akan tetapi terserah bapak bapak, kalau mengusulkan untuk diganti, ya saya akan ganti”, serentak hadirin menjawab: “Tidak, tidak perlu! sudah, sudah bagus”.
Tanpa komentar panjang, tanpa bertengkar
apa lagi bentrokan fisik atau konfrontasi. Kyai Djazuli dengan bijaksana
sudah menyelamatkan perjuangannya dari serangan fitnah, sebab dari
hasil pertemuan itu isu isu negatif sudah tidak bisa mempengaruhi
kalangan tokoh tokoh masyarakat khususnya tokoh agama.
Di tengah tengah badai topan kendala dan rintangan itu pembangunan terus berjalan dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan Ibu Nyai terlibat langsung sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927, konon KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.
Lega sudah hati Kyai Djazuli, begitu pula para santri yang belajar. Mereka merasa tentram dan punya harapan untuk meraih ilmu dengan sukses dengan tersedianya fasilitas yang kian meningkat, sementara santri santri baru dari daerah yang jauh terus bertambah. Banyaknya santri yang menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi yaitu pengadaan asrama (pondok) tempat bermukim bagi para santri. Maka pada tahun berikutnya (1928) dibangun pondok yang pertama kali yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.
Begitulah sepak terjang seorang ‘Ulama sejati yang mengajarkan ilmunya semata mata Lillahita’ala Ialu santri datang satu persatu berkerumun bagai tawon menyerbu gula. Santri itu dilayaninya dengan baik semata mata karena amanah Allah. Setelah santri santri berdesak desakan diperjuangkannya Madrasah dan asrama. Kini kita cap beliau sebagai ‘Ulama kuno, ‘Ulama kolot berjuang bagaikan siput tak punya rencana. Tetapi ketahuilah perjalanan seekor siput, walaupun perlahan tapi pasti. Sangat berbeda dengan generasi modern yang mendewa dewakan manajemen. Pondok dirancang dengan rencana matang, Ialu didirikan gedung permanen dengan fasilitas lengkap sembari memasang iklan di berbagai media. Namun fakta telah bicara, banyak terjadi gedung sudah mulai retak dan keropos sementara santri santrinya tak kunjung datang. Suatu bahan renungan bagi pejuang pejuang Pondok Pesantren.
Di tengah tengah badai topan kendala dan rintangan itu pembangunan terus berjalan dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan Ibu Nyai terlibat langsung sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927, konon KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.
Lega sudah hati Kyai Djazuli, begitu pula para santri yang belajar. Mereka merasa tentram dan punya harapan untuk meraih ilmu dengan sukses dengan tersedianya fasilitas yang kian meningkat, sementara santri santri baru dari daerah yang jauh terus bertambah. Banyaknya santri yang menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi yaitu pengadaan asrama (pondok) tempat bermukim bagi para santri. Maka pada tahun berikutnya (1928) dibangun pondok yang pertama kali yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.
Begitulah sepak terjang seorang ‘Ulama sejati yang mengajarkan ilmunya semata mata Lillahita’ala Ialu santri datang satu persatu berkerumun bagai tawon menyerbu gula. Santri itu dilayaninya dengan baik semata mata karena amanah Allah. Setelah santri santri berdesak desakan diperjuangkannya Madrasah dan asrama. Kini kita cap beliau sebagai ‘Ulama kuno, ‘Ulama kolot berjuang bagaikan siput tak punya rencana. Tetapi ketahuilah perjalanan seekor siput, walaupun perlahan tapi pasti. Sangat berbeda dengan generasi modern yang mendewa dewakan manajemen. Pondok dirancang dengan rencana matang, Ialu didirikan gedung permanen dengan fasilitas lengkap sembari memasang iklan di berbagai media. Namun fakta telah bicara, banyak terjadi gedung sudah mulai retak dan keropos sementara santri santrinya tak kunjung datang. Suatu bahan renungan bagi pejuang pejuang Pondok Pesantren.
Cinta Sampai Cita-Cita Tercapai
Masyarakat
modern benar‑benar telah mengakui betapa besar peranan wanita dalam
pembangunan. Karena itulah Pemerintah Orde Baru perlu mengangkat seorang
menteri perawan (Peranan Wanita).
Sumbernya memang dari ajaran Islam.
Ingatlah bahwa Nabi Musa a.s. menatap sinar di bukit Tursina tatkala
berjalan berdampingan dengan Safurah, istrinya yang tercinta. Begitu
juga tatkala ayat lqro’ (ayat pertama) Al qur’an diturunkan, Rosululloh
SAW. sangat butuh spirit dan dekapan Siti Khodijah. “Zarnmiltini,
zammiltini” (selimuti aku, selimuti aku), sabda beliau sambil menggigil.
Sejarah telah membuktikan babwa sukses yang dicapai para Nabi dan
tokoh‑tokoh besar tidak lepas dari peranan wanita sang pendamping.
Bagaimana dengan Kyai Djazuli? seorang
duda yang tak henti‑heiitinya dihempas gelombang cobaan?, rupanya beliau
butuh pendamping sebagai teman berbagi rasa, tersenyum bersama tatkala
senang dan teman berunding memecah aneka problema. Di samping itu beliau
berfikir bahwa kelanjutan Pondok pesantren perlu disiapkan sejak dini
dan salah satu cara yang banyak ditempuh adalah lewat jalur keturunan.
Bukankah dari dua kali pernikahannya beliau belum memperoleh keturunan?
Sebagai warga masyarakat yang supel dalam
bergaul Kyai Djazuli sering beramah tamah dengan Mantri Setjo Atmodjo,
seorang mantri guru (Kepala Depdikbud) yang bertugas di kecamatan Ploso.
Pak mantri ini berasal dari Nglorok Pacitan dan kemudian menikah dengan
putri Kyai Imam Mahyin dari Durenan Trenggalek (keturunan Mbah Mesir
bin Mbah Yahudo) semuanya adalah ‘Ulama-’ulama terkenal di zamannya.
Dari Pak Mantri inilah KH. Ahmad Djazuli
mendengar siapa sebenamya Roro Marsinah, seorang janda muda sholehah
putri Kyai Imam Mahyin (adik ipar pak Mantri). Beberapa waktu yang Ialu
si dia bercerai dengan Kyai Ihsan Jampes hanya karena kesalahpahaman.
Ternyata perceraian itu membuatnya tersinggung, karena disamping putri
kyai bangsawan, ia punya nasab cukup tinggi juga punya prinsip atau
pendirian yang kuat. Tentu saja wataknya juga tergolong keras seperti
layaknya sifat khas orang‑orang Durenan, dan sejak perceraiannya itu ia
lebih mendekatkan diri kepada yang kuasa merenungkan apa salah dan
kekurangan‑kekurangannya sambil istighfar mohon ampun. Sehari‑hari ia
membaca Al qur’an di pusara Al Maghfurlah Kyai Imam Mahyin, ayahnya yang
meninggal ketika ia masih berusia 17 tahun.6)
Tak pantas kalau kita katakan ia telah
patah hati, namun bagaimanapun jua perceraian itu belum mampu ia
lupakan, Kyai lhsan diakuinya memang ‘alim bahkan di kemudian hari
beliau mampu mengarang kitab Sirojuttolibin sebuah syarah (komentar dan
pengembangan) dari Minhajul Abidin karya Imam Ghozali yang akhirnya
kitab tersebut tersebar luas di kalangan ummat Islam dunia terutama di
Cairo dan Baghdad.
Roro Marsinah bertekad tak mau kawin lagi
kalau tidak mendapatkan seorang pria yang mampu menandingi ke’aliman
Kyai lhsan. Ganteng jelek tak jadi ukuran, kaya miskin tak jadi
persyaratan yang penting ‘alim, kuat agamanya. Memang begitulah
seharusnya pilihan seorang wanita yang punya keimanan kuat.
Akan halnya Kyai Djazuli sangat
mendambakan wanita yang kuat agamanya syukur kalau nasabnya juga bagus.
Perkara keibuan, menarik, suka humor, langsing, lincah, manis, montok
dan sebagainya tak jadi soal. Namun Kyai muda yang tergolong The have
not (ekonomi melarat) itu juga sangat mendambakan wanita yang tidak
materialis.
Tuhan Yang Maha Tahu mendengar jeritan
hati kedua hambanya yang berlainan jenis itu. Dikabulkannya do’a mereka
dan diberinya jodoh. Pernikahanpun berlangsung tanpa didahului masa
berpacaran atau masa saling menyesuaikan diri, tak ada upacara tukar
cincin. Memang begitulah kisah dua pernikahan sebelumnya yang dialami
oleh Kyai Djazuli. Bukankah Islam mengajarkan bahwa cinta kasih akan
tumbuh dalam rumah tangga yang sah sebagai anugerah dari sang pencipta?
Jadi Islam mengajarkan pacaran setelah nikah, bukan seperti yang
dilakukan olch anak‑anak muda yang terbawa arus kebudayaan barat.
Akad nikah dan resepsi pernikahan
berlangsung tanggal 15 Agustus 19307), kedua mempelai sama‑sama
mensyukuri jodohnya yang tak meleset dari idaman semula. Keduanya saling
menyelami dan saling menerima segenap kelebihan dan kekurangan
masing‑masing. Cintapun bersemi, tumbuh perlahan tapi pasti dalam
mahligai rumah tangga sakinah penuh rahmat. Roro Marsinah yang kini
telah resmi menjadi Bu Nyai itu amat memaklumi akan kefakiran suaminya
tercinta, oleh karena itu makan tiwul, gaplek dan sawut dengan lauk
sambal kluwak tak mengendorkan cintanya. Dia bukan wanita mata duitan,
ada uang abang sayang tak ada uang abang ditendang. Dimakannya
makanan-makanan bergizi rendah itu dengan perasaan syukur, bukan
keluhan. la sama sekali tak kaget berhadapan dengan kemelaratan, sebab
ia telah ditempa oleh pengalaman hidupnya yang juga penuh derita. Sejak
balita usia dua tahun ibunya telah dipanggil yang kuasa, ia tak sempat
bermanja‑manja menikmati kasih sayang ibunya. Dan beberapa lama kemudian
ayahnya kawin lagi sehingga ia yang merupakan anak kesebelas dan
terkecil ini harus mengalami pahitnya sebagai anak tiri. Dan ketika
usianya mencapai tujuh tahun ayahpun menyusul wafat, membuat hidupnya
selalu dalam derita yang berkepanjangan. Walaupun ayahnya banyak
meninggalkan warisan ia agaknya terlalu kecil untuk ikut campur urusan
harta benda, sehingga ia tak mengerti hak miliknya. 8)
Atas dasar persamaan sanggup menghadapi
derita keluarga baru yang dibina Kyai Djazuli dengan istrinya dapat
rukun dan damai. Namun sebagaimana layaknya sebuah keluarga, muncullah
permasalahan rumah tempat tinggal karena tidak mungkin keduanya akan
tinggal di bilik masjid kenaiban itu. Rupanya Bu Sholeh (kakak kandung
beliau). merasa kasihan melihat nasib saudaranya, Ialu diberikannya
tempat tinggal bagi pasangan baru itu. Konon tempat tinggal itu adalah
sebuah lumbung yang terletak di kediaman Gus Fu’ sekarang ini. Lumbung
itu kemudian dirubah menjadi rumah dengan membuat pintu ala kadarnya.
Sungguh rumah yang sangat jauh untuk dikatakan layak dihuni apalagi
untuk dikatakan sejahtera dari segi bendawi.
Menyesalkah Bu Nyai memilih Kyai miskin
itu? Tidak, malahan sebaliknya dia merasakan suaminya adalah segalanya.
Kyai Djazuli dikenalnya punya prestasi yang unggul di bidang Ilmu, sabar
dan pandai bergaul sejak masih belajar di Pondok, bahkan pernah
seperguruan dengan Kyai Ihsan Jampes ketika berguru kepada Syech Al
Aidarus di Mekkah. “Pondok yang tengah dirintis suamiku harus sukses,”
begitu tekadnya dalam hati sambil mengenang masa‑masa Ialunya yang luka.
Sungguh dia wanita yang hebat, mampu mengobati hatinya dengan ibadah
dan fastabiqul khoirot (berlomba‑lomba dalam kebagusan), bukannya patah
hati lalu gantung diri.
Hubungan suami istri Kyai Djazuli semakin
hangat saja setelah Ibu Nyai nampak hamil. Sungguh Kyai Djazuli sangat
mengharapkan untuk segera punya keturunan, oleh karena itulah beliau
kelihatan benar‑benar bersyukur ketika putri pertamanya lahir pada
tanggal 7 September 1931. Diberinya nama Siti Azzah. Anak pertama itu
bagaikan kaca cermin, ditimang selalu dan tak jemu untuk dipandang
begitulah halnya Kyai Djazuli. Namun tatkala si mungil putrinya itu
mulai belajar bicara dengan lucu-lucunya pada usia satu tahun Allah
menghendaki lain. Putri itu meninggal dunia yang membuat hatinya menjadi
amat pilu. Andaikan beliau tidak memiliki iman yang kuat niscaya
hatinya akan terluka perih dan sulit untuk disembuhkan.
Satu setengah tahun kemudian lahirlah
putra kedua yang diberi nama Hadziq, maka terobatilah rasa sedihnya
karena ditinggalkan oleh Siti Azzah beberapa waktu yang Ialu. Namun
rupanya Allah masih terus menguji ketabahan hati Kyai Djazuli dan
istrinya, putra tersayang yang dicanangkan untuk menjadi penerus estafet
perjuangan itu juga diambil oleh yang kuasa pada usia kecil 9 bulan.
Kembali kesedihan menyelimuti rumah tangganya.
Kyai Djazuli beserta istri tercinta dan putrinya (Lailatul Badriyah)
Namun Kyai Djazuli dan istrinya tak
pernah putus asa, sambil terus menerus berdo’a kepada Allah SWT. Tatkala
ibu Nyai hamil lagi untuk yang ketiga kalinya, maka dukun bayi yang
dipercaya untuk merawat sang bayi kali ini tidak sembarang dukun. Akan
tetapi seorang dukun dari Trenggalek yang dahulu pernah berperan
menolong ketika Ibu Nyai dilahirkan. Dukun ini menyarankan agar ari-ari
si bayi jangan ditanam ke dalam tanah seperti yang dilakukan terhadap
dua bayi yang telah Ialu, mulai bayi ketiga ini dan seterusnya
ari‑arinya dibanyutkan di sungai Brantas. Sampai soal pemberian nama
untuk bayi ketiga ini diserahkan kepada Kyai lain, maka diberilah nama
Zainuddin sekaligus dalam rangka tafa’ul (agar ketularan) dengan Kyai
Zainuddin Mojosari.
Suka dan duka datang silih berganti
sebagai romantika kehidupan keluarga yang membuat Ibu Nyai perlahanlahan
dapat melupakan pedihnya pengalaman masa lalunya. Akan tetapi
semangatnya untuk berkiprah agar Al Falah terus jaya tetap membara,
dasarnya bukan lagi yang lain‑lain, tetapi lillahi ta’ala. Bukankah
sebagai seorang istri ia wajib untuk turut berjuang menegakkan cita‑cita
suaminya sebagai wanita ia ingin menjadi tiang negara sebagaimana yang
ditandaskan oleh Rasululloh SAW dalam haditsnya.
المرأة عماد اللاد واذاصلحت صلحت البلاد واذافسدت فسدت البلاد
Meskipun telah dikaruniai tiga orang anak
keadaan perekonomian keluarga ini tetap saja miskin papa dan rumah
tempat tinggal belum dimilikinya. Menurut sebuah riwayat pada masa‑masa
itu Kyai Djazuli menumpang (Magersari : Jawa) di rumah pak Iskandar,
kakaknya. Rumah itu sekarang menjadi kediaman KH. Zainuddin Djazuli.
Melihat kemiskinan tersebut, sebagai seorang suami yang bertanggung
jawab Kyai Djazuli berkeinginan untuk bekerja mencari nafkah meredakan
derita rumah tangga.
Namun dengan tegas Ibu Nyai menyanggah:
“Pun, Sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu”,*) sejak itulah
konsentrasi mengajar Kyai Djazuli terus meningkat, karena beliau dan
pasangannya telah seia‑sekata untuk mengutamakan keberhasilan Al Falah
mengalahkan persoalan-persoalan yang lain. Kyai Djazuli terus berfikir
untuk kemajuan pesantren. Mengajar, matla’ah, sholat jamaah, sholat
sunnat dilaksanakannya dengan istiqomah (ajek, rutin) sementara istrinya
berusaha kecil‑kecilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
bermacam‑macam usaha telah dijalani seperti berjualan sayur‑mayur di
depan rumah, berdagang kain keliling desa dengan berjalan kaki sambil
menggendong dagangannya ala mbok jamu, membuka warung untuk santri dan
usaha‑usaha lain yang halal.
Rumah ini dulu adalah rumah bu saleh disinilah Kyai Djazuli menumpang
Memang tak seberapa hasil yang
diperolehnya, namun rizki yang halal benar‑benar punya kadar barokah
yang tinggi. Buktinya, rizki yang sedikit itu telah cukup baginya
walaupun dengan menu makanan sangat sederhana. Tiwul, sawut dan
singkoiig rebus tergolong makanan bergizi rendah menurut pendapat umum
dan para ahli gizi, akan tetapi makanan‑makanan itu tidak menyebabkan
kekuatan ibadah keluarga Kyai Djazuli menjadi merosot.
Beban Ibu Nyai semakin terasa berat
dengan lahirnya putra ketiga, keempat dan seterusnya. Di samping
memikirkan roda perekonomian keluarga mencari nafkah banting tulang,
beliau juga harus merawat dan membina putra‑putranya. Namun sungguh
mengagumkan, kesibukan-kesibukan tersebut tidak membuat perhatiannya
kepada Pondok Pesantren menjadi berkurang. Beliau berhati baja, tidak
acuh terhadap perjuangan suaminya, peran aktifnya untuk kemajuan Pondok
tak dapat dibilang kecil. Beliau tahu pasti kalau lonceng tanda
pengajian atau beduk dipukul menyimpang dari jadwal sebenarnya dan tak
segan‑segan beliau memberikan teguran. Ketika suaminya berangkat untuk
menjadi imam sholat subuh misalnya, beliau keluar dari rumah untuk
mengontrol santri‑santri yang punya gelagat tidak ikut jamaah atau
membangkong. Dengan gaya khasnya beliau menegur dengan pertanyaan “Nyapo
nggak jamaah?”*) Tentu saja si santri tak dapat menjawab karena sungkan
dan grogi, maka beliau melanjutkan dengan kata‑kata “Omahmu kan
adoh”**) sebagai nasehat kepada santrinya.
Masih soal disiplin Ibu Nyai, para Ustadz
yang bertugas mengajar di kelas atau yang membantu mengasuh pengajian
merasa sangat kesulitan untuk libur mengajar. Apabila ada Ustadz
terdengar akan libur, beliau Ialu memanggil yang bersangkutan untuk
ditanya model interogasi “Nyapo libur?” ***)tanya beliau seolah‑olah
ingin tahu. Jika jawabannya adalah karena tidak enak badan, langsung
beliau berkata : “Ta gaeno jamu, ben waras”****), sambil berlalu untuk
mengolah ramuan jamu jawa. Setelah minum jamu sang Ustadzpun merasa
sungkan dan malu, hingga akan memaksakan diri untuk menjalankan
tugasnya.
Beliau faham siapa diantara para ustadz
yang tergolong malas, maka beliau sendiri yang aktif memukul Ionceng
pada jadwal-jadwal ustadz yang bersangkutan. Dan tidak hanya sampai di
situ peran aktifnya untuk Al Falah. Bahkan beliaulah yang menjadi bagian
keuangan Pondok yang mengurus anggaran belanja, semua itu dirangkap
oleh beliau untuk lembaga Al Falah yang masih muda, di saat organisasi
Pengurus Pondok belum teratur. Beliau terjun langsung berfikir dan
bekerja sebagai pengurus, terkadang melakukan tugas keamanan, terkadang
sebagai bagian keuangan.9)
Jarang ditemui Bu Nyai semacam itu, yang
tidak hanya membantu suami di garis belakang (kasur, sumur dan dapur).
Tetapi tampil mendamping suami di garis depan sebatas kodratnya sebagai
wanita, tidak sampai mengalahkan suami dengan dalih emansipasi. Jasanya
untuk Al FaIah hanya Allah yang mampu menghitungnya. Maka pantaslah
kalau kita panggil namanya Ummul Ma’had. Bersama beliau cinta tergapai
dan bersama beliau pula cita‑cita tercapai.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.
7) Stanboek asal osoel dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.
8) Cerita Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli.
*) “Sudahlah, Bapak ngaji saja, saya yang mengurusi biaya”
*) “Mengapa tidak jamaah”
**) “Rumahmu kan jauh”
***) Mengapa libur?”
****) “Saya buatkan jamu biar sehat”
9) Cerita KH. Miftahul Ma’na Blitar
http://islamtradisionalis.wordpress.com/category/tokoh/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini