Sidang itsbat atau penetapan awal Ramadhan 1433 H tahun ini di kantor Kementerian Agama Jakarta mungkin terasa agak berbeda jika benar Muhammadiyah tidak ikut. Namun kalau pun Muhammadiyah ikut, apa perlunya? Mereka sudah lebih dulu menetapkan awal bulan jauh sebelum sidang itsbat digelar.
Benar keluhan Muhammadiyah bahwa kedatangan mereka tidak akan dihiraukan oleh Menteri Agama yang memimpin sidang itsbat. Muhammadiyah dipersilahkan berbicara, tetapi aspirasi mereka tidak akan dipertimbangkan dalam keputusan sidang itbat.
Muhammadiyah pernah menetapkan awal bulan berdasarkan rukyatul hilal. Namun kemudian mereka berubah drastis.
Saat ini Muhammadiyah menetapkan bawa awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ditentukan berdasarkan pada hasil hisab saja, tepatnya berdasar pada kriteria wujudul hilal.
Secara awam kriteria ini barangkali bisa dijelaskan bahwa asal hilal sudah berada di atas ufuk atau di atas ketinggian nol derajat pada saat matahari terbenam pada tanggal 29, maka keesokan harinya berarti sudah masuk awal bulan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah hilal bisa dilihat atau tidak.
Sementara sidang itsbat Kementerian Agama menetapkan awal bulan berdasar pada dua kriteria; hisab dan rukyat. Jika dua kriteria ini dipakai sekaligus, maka otomatis rukyatlah yang dimenangkan, dan hisab hanya menjadi pemandu pelaksanaan rukyat.
Wajar jika keinginan Muhammadiyah yang hanya berpedoman pada hisab tidak akan dihiraukan dalam sidang ini. Standar keputusan sidang itsbat dengan dua kriteria, hisab dan rukyat, telah dikukuhkan dalam keputusan Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 16 Desember 2003 lalu yang sebenarnya juga dihadiri oleh perwakilan Muhammadiyah. Pada pertemuan dengan Kementerian Agama di Cisarua Jawa Barat 2011 yang juga dihadiri perwakilan Muhammdiyah bahkan telah dibahas mengenai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas pengamatan atau batas minimal posisi hilal yang bisa diamati.
Namun Muhammadiyah tetap bersikeras pada keputusan organisasi. Mereka hanya memakai hisab saja.
Persoalannya barangkali terletak pada cara memahami dalil syariat mengenai rukyat dan hilal. Muhammadiyah menyatakan tetap memakai rukyat, tapi ru'yat bil ilmi, atau rukyat dengan ilmu hisab dan tidak harus menggunakan penglihatan secara langsung.
Lalu soal hilal, bagi NU, hilal dibedakan dengan qamar (bulan). Hilal adalah cahaya dari bulan yang bisa dilihat dari bumi, dalam bahasa astronomi disebut dengan crescent atau bulan sabit. Syarat dinamakan hilal haruslah bisa dilihat, tidak hanya bisa diperkirakan dengan ilmu hisab. Maka kemudian NU menerima kriteria imkanur rukyat atau visibilitas pengamatan. Bahwa hilal hanya bisa dilihat jika sudah memenuhi kriteria imkanur rukyat ini. Sebenarnya dengan menerima kriteria imkanur rukyat ini, NU telah menurunkan standar, tidak hanya berdasar pada rukyat, tapi rukyat yang didukung oleh imkanur rukyat. Negara-negara yang tergabung dalam MABIM (Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) menetapkan 2 derajat sebagai batas minimal visibilitas pengamatan. Itu pun oleh pakar astronomi Indonesia masih mau dinaikkan menjadi 4 atau 5 derajat, karena hilal dalam ketinggian dua derajat itu belum pernah ada. Namun dengan menerima kriteria imkanurrukyat itu berarti NU menyatakan bahwa jika ada warga NU yang melaporkan telah berhasil melihat hilal pada saat belum imkanur rukyat, maka laporan dapat ditolak, karena secara astronomi hilal tidak akan bisa di lihat dari bumi. Ini persis seperti Ramadhan tahun ini dimana posisi ketinggian hilal dinyatakan tidak imkanur rukyat. Maka dengan ini NU juga lebih ketat dalam menerapkan hisab. Namun Muhammadiyah masih keras hati. Jalan penyatuan awal bulan Islam di Indonesia masih panjang. Jika pun kemudian Muhammadiyah menerima hisab dengan kriteria imkanur rukyat atau wujudul hilal plus 2 derajat, seperti dipakai oleh Persis saat ini, persoalan belum akan selesai. Bagi NU dan beberapa ormas lain dan juga Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), penetapan awal bulan harus berdasar pada hisab dan rukyat. Dan sekali lagi, ketika hisab dan rukyat dipakai sekaligus maka rukyat akan menang, dan hisab dengan kriteria imkanur rukyat pun tidak akan menjadi pertimbangan penting dalam penetapan awal bulan. Konferensi Alim Ulama NU di Cipanas, Jawa Barat pada 1954 silam yang membahas persoalan waliyyul amri atau pemerintahan yang sah secara Islam, telah menegaskan bahwa salah satu kewenangan dari pemerintah yang sah adalah menetapkan (itsbat) awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama merealisasikan kewenangan ini dengan sangat bijaksana, yakni dengan menggelar sidang itsbat yang menghadirkan perwakilan organisasi Islam yang ada di Indonesia.
Maka sebenarnya sidang itsbat adalah pintu harapan untuk menyamakan persepsi mengenai kriteria penetapan awal bulan. Pemerintah tidak jumawa dalam memegang kewenangan. Sayang, sidang itsbat tidak lagi dipercaya. Muhammadiyah menyatakan tidak akan mengikuti sidang itsbat. Bahkan secara berseloroh Ketua Umum PP Muhammadiyah tidak akan mengikuti sidang itsbat, selamanya. Atau jika sidang itsbat dinilai tidak terlalu kondusif, terlalu terburu-buru karena harus memutuskan awal bulan pada saat itu juga, maka Kementerian Agama, MUI dan ormas-ormas Islam harus bertemu di luar sidang itsbat itu. Pertemuan antar ormas Islam untuk membahas soal ini memang sudah sering dilakukan, dan belum menemukan titik temu.
Namun titik temu itu harus terus dicari, dan harus ditemukan. Kehadiran para pakar astronomi dari berbagai ormas Islam maupun dari lembaga formal seperti LAPAN, Observatorium Bosca dan Bakosurtanal dalam sidang itsbat atau apapun namanya bisa mempercepat penemuan titik temu itu.
A. Khoirul Anam
Sumber: http://www.nu.or.id
Secara awam kriteria ini barangkali bisa dijelaskan bahwa asal hilal sudah berada di atas ufuk atau di atas ketinggian nol derajat pada saat matahari terbenam pada tanggal 29, maka keesokan harinya berarti sudah masuk awal bulan, tanpa perlu mempertimbangkan apakah hilal bisa dilihat atau tidak.
Sementara sidang itsbat Kementerian Agama menetapkan awal bulan berdasar pada dua kriteria; hisab dan rukyat. Jika dua kriteria ini dipakai sekaligus, maka otomatis rukyatlah yang dimenangkan, dan hisab hanya menjadi pemandu pelaksanaan rukyat.
Wajar jika keinginan Muhammadiyah yang hanya berpedoman pada hisab tidak akan dihiraukan dalam sidang ini. Standar keputusan sidang itsbat dengan dua kriteria, hisab dan rukyat, telah dikukuhkan dalam keputusan Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 16 Desember 2003 lalu yang sebenarnya juga dihadiri oleh perwakilan Muhammadiyah. Pada pertemuan dengan Kementerian Agama di Cisarua Jawa Barat 2011 yang juga dihadiri perwakilan Muhammdiyah bahkan telah dibahas mengenai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas pengamatan atau batas minimal posisi hilal yang bisa diamati.
Namun Muhammadiyah tetap bersikeras pada keputusan organisasi. Mereka hanya memakai hisab saja.
Persoalannya barangkali terletak pada cara memahami dalil syariat mengenai rukyat dan hilal. Muhammadiyah menyatakan tetap memakai rukyat, tapi ru'yat bil ilmi, atau rukyat dengan ilmu hisab dan tidak harus menggunakan penglihatan secara langsung.
Sementara bagi NU rukyat harus menggunakan penglihatan. Ada penjelasan yang agak rumit dari NU bahwa kata “ra’a” dalam bahasa arab mempunyai dua bentuk masdar: “ra’yun” artinya berpikir atau berpendapat dan “ru'yah” artinya melihat dengan mata. Rukyat bil ilmi yang dimaksud oleh Muhammdiyah mendekati apa yang disebut ra’yun, sementara dalam semua redaksi hadits yang menjelaskan penetapan awal bulan semua memakai kata ru'yah.
Lalu soal hilal, bagi NU, hilal dibedakan dengan qamar (bulan). Hilal adalah cahaya dari bulan yang bisa dilihat dari bumi, dalam bahasa astronomi disebut dengan crescent atau bulan sabit. Syarat dinamakan hilal haruslah bisa dilihat, tidak hanya bisa diperkirakan dengan ilmu hisab. Maka kemudian NU menerima kriteria imkanur rukyat atau visibilitas pengamatan. Bahwa hilal hanya bisa dilihat jika sudah memenuhi kriteria imkanur rukyat ini. Sebenarnya dengan menerima kriteria imkanur rukyat ini, NU telah menurunkan standar, tidak hanya berdasar pada rukyat, tapi rukyat yang didukung oleh imkanur rukyat. Negara-negara yang tergabung dalam MABIM (Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) menetapkan 2 derajat sebagai batas minimal visibilitas pengamatan. Itu pun oleh pakar astronomi Indonesia masih mau dinaikkan menjadi 4 atau 5 derajat, karena hilal dalam ketinggian dua derajat itu belum pernah ada. Namun dengan menerima kriteria imkanurrukyat itu berarti NU menyatakan bahwa jika ada warga NU yang melaporkan telah berhasil melihat hilal pada saat belum imkanur rukyat, maka laporan dapat ditolak, karena secara astronomi hilal tidak akan bisa di lihat dari bumi. Ini persis seperti Ramadhan tahun ini dimana posisi ketinggian hilal dinyatakan tidak imkanur rukyat. Maka dengan ini NU juga lebih ketat dalam menerapkan hisab. Namun Muhammadiyah masih keras hati. Jalan penyatuan awal bulan Islam di Indonesia masih panjang. Jika pun kemudian Muhammadiyah menerima hisab dengan kriteria imkanur rukyat atau wujudul hilal plus 2 derajat, seperti dipakai oleh Persis saat ini, persoalan belum akan selesai. Bagi NU dan beberapa ormas lain dan juga Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), penetapan awal bulan harus berdasar pada hisab dan rukyat. Dan sekali lagi, ketika hisab dan rukyat dipakai sekaligus maka rukyat akan menang, dan hisab dengan kriteria imkanur rukyat pun tidak akan menjadi pertimbangan penting dalam penetapan awal bulan. Konferensi Alim Ulama NU di Cipanas, Jawa Barat pada 1954 silam yang membahas persoalan waliyyul amri atau pemerintahan yang sah secara Islam, telah menegaskan bahwa salah satu kewenangan dari pemerintah yang sah adalah menetapkan (itsbat) awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama merealisasikan kewenangan ini dengan sangat bijaksana, yakni dengan menggelar sidang itsbat yang menghadirkan perwakilan organisasi Islam yang ada di Indonesia.
Maka sebenarnya sidang itsbat adalah pintu harapan untuk menyamakan persepsi mengenai kriteria penetapan awal bulan. Pemerintah tidak jumawa dalam memegang kewenangan. Sayang, sidang itsbat tidak lagi dipercaya. Muhammadiyah menyatakan tidak akan mengikuti sidang itsbat. Bahkan secara berseloroh Ketua Umum PP Muhammadiyah tidak akan mengikuti sidang itsbat, selamanya. Atau jika sidang itsbat dinilai tidak terlalu kondusif, terlalu terburu-buru karena harus memutuskan awal bulan pada saat itu juga, maka Kementerian Agama, MUI dan ormas-ormas Islam harus bertemu di luar sidang itsbat itu. Pertemuan antar ormas Islam untuk membahas soal ini memang sudah sering dilakukan, dan belum menemukan titik temu.
Namun titik temu itu harus terus dicari, dan harus ditemukan. Kehadiran para pakar astronomi dari berbagai ormas Islam maupun dari lembaga formal seperti LAPAN, Observatorium Bosca dan Bakosurtanal dalam sidang itsbat atau apapun namanya bisa mempercepat penemuan titik temu itu.
A. Khoirul Anam
Sumber: http://www.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini