Dulu waktu saya masih mondok di Pondoknya Kyai Muslih (Mranggen), saya punya teman namanya Masruhan asal Purwodadi, beliau mondok di pesantrennya KH. Masruhan, kebetulan namanya sama dengan nama kyainya.
Walau beda pondok nya namun beliau teman dekat saya waktu dikelas Aliyah. Masruhan adalah santri yang memang paling ketinggalan dalam hal pelajaran, pelajaran apapun yang ia terima tak satu pun yang ia bisa, ia paling tidak bisa ngaji, sehingga tak sedikit dari teman-temannya yang mengejek, menghina dia.
Ketertinggalanya dalam masalah ngaji bukan karena ia bermalas-malasan tapi ia sudah berusaha sepenuhnya, tiap saat menhafal-hafal tapi tetep saja tak bisa, mutholaahnya pun tak pernah ia tinggalkan, namun tetap saja si-Masruhan ini tidak bisa apa-apa. Bahkan dalam setiap kenaikan kelasnya, ia naik kelas karna syafaat, Gurunya tak tega tehadapnya, Gurunya Iba terhadapnya.
walau Masruhan adalah santri yang paling dedel, namun ia memiliki sifat yang lebih dari santri-santri yang lain, ia adalah sosok yang patuh dan taat tehadap gurunya, tak pernah berkata: "tidak" terhadap gurunya, Apa pun yang didawuhkan gurunya maka: "sendiko dawuh" ucapnya.
Disaat-saat hampir semua teman-temannya menghinanya, mentertawakannya, mengejeknya, tak ada yang mau memandangnya, tiba-tiba Gurunya (KH. Masruhan) datang menghampirinya "han engko, aku badali yo, iki kitabe" ("han, nanti aku digantikan ya, ini kitabnya") sontak saja si-masruhan kaget dengan ucapan gurunya bagaimana mungkin ia akan menyanggupinya, sedang ia sendiri tahu, ia ketidak bisa apa-apa, jangankan menggantikan ngajinya gurunya, ngaji sendiri aja tak bisa. Akhirnya ia hanya pasrah "Inggeh Sendiko dawoh Yai".
Walau beda pondok nya namun beliau teman dekat saya waktu dikelas Aliyah. Masruhan adalah santri yang memang paling ketinggalan dalam hal pelajaran, pelajaran apapun yang ia terima tak satu pun yang ia bisa, ia paling tidak bisa ngaji, sehingga tak sedikit dari teman-temannya yang mengejek, menghina dia.
Ketertinggalanya dalam masalah ngaji bukan karena ia bermalas-malasan tapi ia sudah berusaha sepenuhnya, tiap saat menhafal-hafal tapi tetep saja tak bisa, mutholaahnya pun tak pernah ia tinggalkan, namun tetap saja si-Masruhan ini tidak bisa apa-apa. Bahkan dalam setiap kenaikan kelasnya, ia naik kelas karna syafaat, Gurunya tak tega tehadapnya, Gurunya Iba terhadapnya.
walau Masruhan adalah santri yang paling dedel, namun ia memiliki sifat yang lebih dari santri-santri yang lain, ia adalah sosok yang patuh dan taat tehadap gurunya, tak pernah berkata: "tidak" terhadap gurunya, Apa pun yang didawuhkan gurunya maka: "sendiko dawuh" ucapnya.
Disaat-saat hampir semua teman-temannya menghinanya, mentertawakannya, mengejeknya, tak ada yang mau memandangnya, tiba-tiba Gurunya (KH. Masruhan) datang menghampirinya "han engko, aku badali yo, iki kitabe" ("han, nanti aku digantikan ya, ini kitabnya") sontak saja si-masruhan kaget dengan ucapan gurunya bagaimana mungkin ia akan menyanggupinya, sedang ia sendiri tahu, ia ketidak bisa apa-apa, jangankan menggantikan ngajinya gurunya, ngaji sendiri aja tak bisa. Akhirnya ia hanya pasrah "Inggeh Sendiko dawoh Yai".
Dan akhirnya tiba Pengajinya KH. Masruhan, seluruh pandangan santri tersorot kedepan "Lho kok si-ruhan yang duduk di situ" cetus salah satu temannya.
hampir semua santri bengong "ada apa ini?, dimana KH. Masruhan?.
Apa yang dirasakan para santri tak sehebat yang dirasa si-ruhan, keringatnya bercucuran deras, jantungnya berdebar hebat antara ya dan tidak, "Aduh bagaimana ini Ya Allah, hamba ini tak bisa apa-apa, hamba tak berani menolak perintah Kyai".
dan .... ketika kitab itu dibuka tiba-tiba hatinya menjadi tenang, ia merasakan nur futuhiyah, didapatinya mampu membaca bahkan menguraikan isi kitab tersebut secara luar biasa, hingga ia mampu menyelesaikannya.
Sontak saja seluruhnya santri kaget dengannya, mereka merasa malu karna telah berkali-kali menghinanya, meremehkannya.
Disitulah awal kefutuhnya si-masruhan, sosok santri yang dulunya dedel, tak bisa apa-apa, naik kelasnya karena rasa iba dari gurunya, kini menjadi sosok yang mempuni, unggul dibanding dengan teman-temannya.
Hikmah atas kesabarannya, atas sisi dedelnya yang tak menyurutkan ia untuk terus mutholaah, patuh, tunduk terhadap gurunya, sabar walau hampir seluruh teman-temannya menghinanya.
______________________
Dikisahkan oleh: KH. Ahmad Ayub Nu'man HM. (Pengasuh PP. Al-Itqon Patebon Kendal)
______________________
Dikisahkan oleh: KH. Ahmad Ayub Nu'man HM. (Pengasuh PP. Al-Itqon Patebon Kendal)
15 Juni 2014 saat mengisi sambutan Pertemuan Wali Santri
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini