Oleh : KH Abdurahman Wahid
DUA tahun yang lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus
mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, agar saya teruskan
perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak
"merugikan" kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya pimpin.
Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara
individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua
tahun yang lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih
tetap efektif.
Baru
sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan
Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa
dengan "menggendong" beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi
semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin
kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk
membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar
ranting.
Tetapi, Gus
Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan
kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak
bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi
terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin
tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan hidup
dunia gebyar. Untuk beberapa bulan hubungan saya dengan Gus Miek secara
batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk
mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak
perasaan kepada saya.
Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak
dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama adalah
menjaga keutuhan bangsa dan negara dan berupaya agar kebenaran dapat
ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan
rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan
di muka undang-undang.
Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap
rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi
bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di
rumah Pak Syafi'i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang
dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua buah
gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya,
yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah
kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia,
bukan malaikat.
Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan
dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang
membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan
kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di
makam Kiyai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih,
pinggiran kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di
Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke
Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing
rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.
Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi
melihat "kesalahan" keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain.
Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang
muslimah, karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi
tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus
Miek seusai sema'an.
Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia
inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek super natural. Bukan karena
ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena dia mampu
mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama
manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi
manusia. Kalau ia dianggap nyleneh (khariqul'adah), maka dalam artian
inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyleneh orang yang tidak
peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang
dinamakan baik dan buruk di mata kebanyakan manusia, sementara manusia
saling menghancurkan dan membunuh?
Sumber: Harian KOMPAS Minggu, 13-06-1993. Halaman: 1
Retrieved from: http://www.gubraker.com/tokoh.html#.UGeO0K4QFWo
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini