Oleh: Sya'roni As-Samfuriy
Setiap kali aku mengingat kisah ini air mataku selalu meleleh, hatiku merasakan betapa kerinduan yang amat mendalam seorang Sahabat kepada Nabinya tercinta.
Aku sadur kisah ini dari Taushiyyahnya Al-habib
Ali Al-Jufriy Yaman.
Semua pasti tahu, bahwa pada masa Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Sayyidina Bilal bin Rabah Radliyallahu ‘Anhu. Sayyidina Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah.
Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai
suara emas yang khas.
Posisinya semasa Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah subhanahu wa ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Sayyidina Bilal radliyallahu 'anhu menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
Posisinya semasa Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah subhanahu wa ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Sayyidina Bilal radliyallahu 'anhu menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
Ketika Khalifah Abu Bakar Radliyallahu ‘Anhu
memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu Sayyidina Bilal
berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan
muadzin siapa-siapa lagi.” Sayyidina Abu Bakar terus mendesaknya, dan Sayyidina Bilal pun
bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin
Khalaf. Apakah engkau membebaskanku karena dirimu apa karena Allah?.” Sayyidina Abu Bakar radliyallahu 'anhu hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku
bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah,
maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Sayyidina Abu Bakar Radliyallahu ‘Anhu
pun tak bisa lagi mendesak Sayyidina Bilal Radliyallahu ‘Anhu. untuk kembali
mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terus mengendap di hati Sayyidina Bilal Radliyallahu ‘Anhu. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Sayyidina Bilal radliyallahu 'anhu tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam hadir dalam mimpi Sayyidina Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi.
Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi. Setiba
di Madinah, Sayyidina Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Baginda Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam, pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah
beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal
yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi
wa Sallam itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Sayyidina Bilal Radliyallahu
‘Anhu: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami?
Kami ingin mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Sayyidina Umar bin Khattab yang telah jadi
Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga
memohon Sayyidina Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.
Sayyidina Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Sayyidina Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Baginda Nabi. Sayyidina Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Sayyidina Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Sayyidina Bilal Radliyallahu ‘Anhu semenjak Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi.
“Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan
Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin Rabah Radliyallahu
‘Anhu. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini