Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus
Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik
Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim
adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri
Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari
pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU
setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan
cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada
tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir,
ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid
Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah
dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai
bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus
berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan
pengalaman tersendiri bagi seorang
anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga
mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya
yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak
masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur
akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh
akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi
bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan
madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi
dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan,
akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh
tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif
berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus
Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak
hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana
tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari
perhatianya.
Di
samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan
musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk
menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut
juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini
menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya
mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival
Film Indonesia.
Masa
remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo.
Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat.
Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras,
sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke
Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama
kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an.
Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di
sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, seorang
Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah
pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula
Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang
kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis
(mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari
pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu
menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika
pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media
massa.
Setelah
lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar
di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini
meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya
menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur
belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia
pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji
Junaidi, seorang pimpinan
lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan
rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang
hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama
dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika
menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya
semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya
untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus
Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di
antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway,
John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca
sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y.
Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy,
Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa
karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain
belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan
kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur
aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London.
Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak
Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku
karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang
memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl
Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar
dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat
dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo
Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok
kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang
memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan
praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur
mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi
buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat
ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara.
Dalam
kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut
diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan
mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional,
kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti
tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan
tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah
menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali
ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya
mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul
Fatah, ia menjadi seorang
ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian
diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat
langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk
Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena
harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia.
Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan
dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia
dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang
nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual.
Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang
cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern
yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam
Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama
di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di
Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan
intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia
kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis
Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca
hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang
pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di
Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada
saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada
Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh
yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas
belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa.
Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya
untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa
Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak
dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan
dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas
lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang
tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi
ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur
juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari
kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke
Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar
perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir
pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki
kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski
demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun
1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia
guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak
dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap
bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam
kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru
dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian
dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang
dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan
memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di
Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian
ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus
Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii
penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran
Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang
pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap
menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika
tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu
di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini
Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada
sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono
dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M
yang dimotori oleh LP3ES.
Pada
tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren
Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai
wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan
perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang
tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah
ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia
juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986,
1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki
jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan
tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak
Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan
ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI
ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak
hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin
yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa
Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan
perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini
adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan
sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya
kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk
dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak
hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut
dengan organisasi sektarian.
Dari
paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan
rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan
berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya,
kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi
pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang
lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis,
sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami
hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi,
sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian
juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif,
ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran
Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah
yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan
struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang
konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam
bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh
para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun
praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan
membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur.
Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari
Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur
menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari
segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat
hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua,
dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang
liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan
membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh
membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan
dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu
kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan
luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas
tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Sumber : forum.nu.or..id
Sumber : forum.nu.or..id
PENGALAMAN JABATAN | |
1999-2001 | Presiden Republik Indonesia |
1989-1993 | Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI |
1987-1992 | Ketua Majelis Ulama Indonesia |
1984-2000 | Ketua Dewan Tanfidz PBNU |
1980-1984 | Katib Awwal PBNU |
1974-1980 | Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng |
1972-1974 | Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang Dekan dan Dosen |
PENGALAMAN ORGANISASI | |
2003 | Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional Penasehat |
2002 | Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Penasehat |
1990 | Forum Demokrasi Pendiri dan Anggota |
1986-1987 | Festifal Film Indonesia Juri |
1982-1985 | Dewan Kesenian Jakarta Ketua Umum |
1965 | Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo - United Arab Republic (Mesir) Wakil Ketua |
AKTIVITAS INTERNASIONAL | |
2003-Wafat | Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden |
2003-Wafat | International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt |
2003-Wafat | International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), London, Inggris Presiden Kehormatan |
2002-Wafat | International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat Anggota Dewan Penasehat Internasional |
2002 | Association of Muslim Community Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat Presiden |
1994-Wafat | Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel Pendiri dan Anggota |
1994-1998 | World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York, Amerika Serikat Presiden |
1994 | International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda Penasehat |
1980-1983 | The Aga Khan Award for Islamic Architecture Anggota Dewan Juri |
PENGHARGAAN | |
2004 | Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia |
2004 | The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia |
2003 | Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat |
2003 | World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan |
2003 | Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia |
2002 | Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. |
2002 | Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia |
2001 | Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat |
2000 | Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat |
2000 | Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International |
1998 | Man of The Year, Majalah REM, Indonesia |
1993 | Magsaysay Award, Manila , Filipina |
1991 | Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir |
1990 | Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia |
DOKTOR KEHORMATAN | |
2003 | Netanya University , Israel |
2003 | Konkuk University, Seoul, South Korea |
2003 | Sun Moon University, Seoul, South Korea |
2002 | Soka Gakkai University, Tokyo, Japan |
2000 | Thammasat University, Bangkok, Thailand |
2001 | Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand |
2000 | Pantheon Sorborne University, Paris, France |
1999 | Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand |
HOBI | |
Mendengarkan dan menyaksikan pagelaran Wayang Kulit. | |
Mendengarkan musik, terutama lagu-lagu karya Beethoven berjudul Symphony No. 9 th, Mozart dalam 20 th piano concerto, Umm Khulsum dari Mesir, Janis Joplin dan penyanyi balada Ebiet G. Ade. | |
Mengamati pertandingan sepak bola, terutama liga Amerika latin dan liga Eropa. | |
Mendengarkan audio book, terutama mengenai sejarah dan biografi. | |
Abdurrahman Wahid telah menghasilkan
beberapa buah buku. Hingga saat ini dia terus menulis kolom di
sejumlah surat kabar. Selain itu, dia masih aktif memberikan ceramah
kepada publik di dalam maupun luar negeri. Sumber : gusdur.net |
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini