Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun
Lahir di Sumenep
pada tanggal 11 Juni 1934 dan merupakan putra pertama dari empat
bersaudara dari Al Habib Ahmad bin Husein dengan Fatmah binti Ahmad
Bachabazy. Adapun silsilah dzahabiyah yang mulia dari beliau adalah Al
Habib Hasan Bin Ahmad bin Husein bin Tohir bin Umar bin Baharun.
Sejak
kecil kedisiplinan dan kesederhanaan telah ditanamkan oleh orang tuanya
sehingga mengantarkannya tumbuh menjadi sosok pribadi yang mempunyai
akhlak dan sifat yang terpuji.
Pendidikan agama selain diperoleh
dari bimbingan orang tuanya, juga beliau dapatkan dari Madrasah
Makarimul Akhlaq, Sumenep, dan dari kakeknya dari pihak ibu yang
dikenal sebagai ulama besar dan disegani di Kabupaten Sumenep yaitu
Ustadz Achmad bin Muhammad Bachabazy. Beliau sering di ajak kakeknya
untuk menemani dalam undangan berdakwah. Setelah kakeknya meninggal
dunia, beliau belajar ilmu agama dari paman-pamannya yaitu Ustadz Usman
bin Ahmad Bachabazy dan Ustadz Umar bin Ahmad Bachabazy. Sewaktu
menetap di Surabaya, beliau menjadi murid kesayangan seorang ulama yang
faqih (ahli fikih), Habib Umar Baagil. Kepada gurunya ini , beliau
banyak memperdalam ilmu fikih.
Semangat belajar Ustadz Hasan Baharun, sejak kecil memang dikenal
rajin dan ulet, bahkan apabila bulan Ramadhan tiba, beliau belajar
semalam suntuk, mulai sehabis tadarrus (membaca Al Qur'an) sampai
menjelang subuh.
Semasa remaja beliau senang berorganisasi, baik
remaja masjid ataupun organisasi lainnya, seperti Persatuan Pelajar
Islam (PII), bahkan beliau pernah diutus untuk mengikuti Muktamar I PII
seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Semarang. Dan pernah menjabat
Ketua Pandu Fatah Al Islam di Sumenep. Beliau aktif pula di partai
politik yaitu Partai NU (Nahdlatul Ulama) dan menjadi juru kampanye
yang dikenal berani dan tegas menyampaikan kebenaran. Dan di Pasuruan
menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia ( MUI ) sampai akhir
hayat beliau.
Setelah menamatkan sekolah, beliau sering mengikuti
ayahnya ke Masalembu, untuk berdakwah sambil membawa barang dagangan.
Keluarga Ustadz Hasan pada saat itu, dikenal ramah dan ringan tangan,
apabila ada orang yang tidak mampu membayar hutangnya disuruh membayar
semampunya, bahkan dibebaskan. Sifat-sifat inilah yang diwarisi beliau
yang dikenal apabila berdagang, tidak pernah membawa untung karena
senantiasa membebaskan orang-orang yang tidak mampu membayarnya.
Dan
pada waktu berkeliling menjajakan dagangan, beliau dikenal suka
membantu menyelesaikan permasalahan dan konflik yang terjadi di
masyarakat. Berdagang yang beliau lakukan adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan dijadikan sarana pendekatan untuk berdakwah
kepada masyarakat. Kedermawanan dan belas kasihnya kepada orang yang
tidak mampu, menyebabkan dagangannya tidak pernah berkembang karena
keuntungannya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu, serta
membebaskan orang yang tidak mampu membayarnya.
Selain itu,
beliau mempunyai keahlian memotret dan cetak film yang digunakannya
sebagai daya tarik dan mengumpulkan massa untuk diberikan pengajaran.
Karena untuk pengambilan hasil potret sudah ditentukan waktunya,
sehingga apabila mereka yang hendak mengambil hasil cetaknya sudah
berkumpul, dan sambil menunggu cetak film selesai, beliau isi waktu
tersebut dengan ceramah dan tanya jawab masalah agama.
Pada tahun
1966 beliau merantau ke Pontianak, Kalimantan Barat, berdakwah keluar
masuk dari satu desa ke desa yang lainnya dan melewati hutan belantara
yang penuh lumpur dan rawa-rawa serta binatang buas dan ular berbisa.
Namun dengan penuh kesabaran dan ketabahan, semua itu tidak dianggapnya
sebagai rintangan . Dengan penuh kearifan dan bijaksana, dikenalkannya
dakwah Islam kepada orang-orang yang masih awam terhadap Islam. Dan
alhamdulillah dakwah yang beliau lakukan mendapat sambutan yang cukup
baik dari masyarakat ataupun tokoh-tokohnya. Di setiap daerah yang
dimasuki untuk berdakwah, beliau senantiasa bersilaturahmi terlebih
dahulu kepada tokoh masyarakat dan ulama setempat untuk memberitahu,
sekaligus minta izin untuk berdakwah di daerah tersebut. Sehingga
dengan budi pekerti, akhlak dan sifat-sifat yang terpuji itulah
masyarakat beserta tokohnya banyak yang simpati dan mendukung terhadap
dakwah yang beliau lakukan.
Uniknya tiap kali beliau berdakwah,
senantiasa membawa seperangkat peralatan pengeras suara
(Loudspeaker/Sound System), yang pada saat itu memang masih langka dan
sulit dicari di Pontianak. Hal ini dilakukannya agar tidak merepotkan
orang yang mengundangnya untuk mencari sewaan pengeras suara.
Dan
tak lupa pula beliau membawa satir/tabir sebagai kain pemisah untuk
menghindari terjadinya “ikhtilat” (percampuran) antara laki-laki dan
perempuan. Beliau berkeyakinan, jika di tempat tersebut terjadi
perbuatan maksiat atau dosa, sudah tentu beliau turut berdosa. Dan
alasan lainnya akan menghalang-halangi masuknya hidayah Allah swt,
sedangkan pahala dakwah itu sendiri belum tentu diterima Allah swt.
Selain
berdakwah beliau aktif pula di partai politik yaitu Partai NU
(Nahdlatul Ulama) dan menjadi juru kampanye yang dikenal berani dan
tegas di dalam menyampaikan kebenaran, sehingga pada saat itu sempat
diperiksa dan ditahan. Namun masyarakat akan melakukan demonstrasi
besar-besaran apabila beliau tidak segera dikeluarkan dan atas bantuan
pamannya sendiri membebaskannya dari tahanan.
Dan tak lama
setelah kejadian tersebut, sekitar tahun 1970 atas permintaan dan
perintah dari ibundanya, beliau pulang ke Madura dan disuruh untuk
berdakwah di Madura atau di Pulau Jawa saja. Namun karena kegigihan
beliau selama 2 tahun masih tetap aktif datang ke Pontianak untuk
berdakwah walaupun telah menetap di Jawa Timur.
Pada tahun 1972
beliau mengajar di pondok pesantren Gondanglegi Malang, mengembangkan
Bahasa Arab, sehingga pondok pesantren Gondanglegi pada saat itu
terkenal maju dalam bidang Bahasa Arabnya.
Kemudian beliau
mengajar dan mengabdikan diri di pondok pesantren Al Khairiyah di
Bondowoso, bersama ustadz Abdullah Abdun dan habib Husein Al Habsy.
Pada masa itu beliau juga di minta oleh habib Husein Al Habsy untuk
mengajar di pondok pesantren Yayasan Pendidikan Islam (YAPI), yang baru
di rintis Habib Husein. Selain itu beliau juga pernah mengajar di
pondok pesantren Sidogiri di Pasuruan, pondok pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Asembagus di Situbondo, pondok pesantren Langitan di Tuban.
Sejarah pendirian pondok pesantren dan perkembangannya
Pondok pesantren Darul Lughah Wad Da’wah (Dalwa)
Didirikan pada tahun 1981 di Bangil, dengan menempati sebuah rumah
kontrakan. Dengan penuh ketelatenan dan kesabaran Ustadz Hasan Baharun
mengasuh dan mendidik para santri, sehingga mendapat kepercayaan dari
masyarakat dan dalam waktu yang relatif singkat jumlah santri
berkembang dengan pesat
Selain membina santri putra, pada tahun 1983 pondok
pesantren ini menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang
bertempat di daerah yang sama. Dan pada tahun 1984 lokal pemondokan
santri menempati sampai sebanyak 13 rumah kontrakan.
Atas petunjuk Musyrif Ma’had Darullughah Wadda’wah Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, pada tahun 1985 pondok pesantren Darullughah Wadda’wah dipindah ke Desa Raci.
Kesuksesan
Ustadz Hasan Baharun dalam berdakwah dan membangun pondok pesantren
Darullughah Wad Da’wah tidak lepas dari peran besar dari seorang wanita
salihah, yang sudah terdidik dan terlatih kesabaran, kegigihan serta
ketegarannya dalam menghadapi kehidupan oleh ayahandanya Al-Habib
Muhammad Al-Hinduan. Beliau adalah Syarifah Khodijah binti Muhammad
Al-Hinduan, istri tercinta yang senantiasa dengan penuh ketabahan dan
kesabaran mendampingi dalam pahitnya perjuangan, serta senantiasa
memberikan semangat bagi sang suami. Bahkan jiwa besar dan
perjuangannya ditunjukkan oleh ustadzah, ketika Ustadz Hasan
membutuhkan dana untuk pondok pesantren, maka ustadzah dengan senang
hati, menjual seluruh barang-barang berharga dan semua perhiasan yang
dimilikinya, bahkan yang mengandung kenangan dan sejarah dijualnya pula.
Dan
pada tahun 2006 dibuka pondok pesantren II Darullughah Wadda’wah yang
berlokasi di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa
timur.
Pemikiran dan Konsep-konsep Pendidikan Ustadz Hasan Baharun
Secara
singkat akan diuraikan beberapa pemikiran dan konsep-konsep pendidikan
yang beliau jalankan dalam mengelola lembaga pendidikan dan pondok
pesantren antara lain.
- Apabila seorang kiyai sudah mendirikan pondok pesantren, maka dia harus rela meninggalkan semua aktifitas dan hobinya yang ada diluar pondok pesantren, yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam membina santri. Beliau mengibaratkan seorang pengasuh pondok pesantren sebagai induk ayam yang sedang mengerami telur, maka apabila sering meninggalkan sarangnya kemungkinan besar telur tersebut tidak jadi menetas, dan telur tersebut akan busuk.
- Untuk mendirikan pondok pesantren harus dijiwai dengan ikhlas dan guru-guru yang akan mengajar harus diseleksi tingkat ikhlas-nya, sehingga tidak akan menularkan kepada santri, ilmu yang tidak ikhlas dan seterusnya. “Dan apabila diniatkan dengan hati yang ikhlas maka pondok pesantren tidak usah khawatir akan datangnya murid sebab Allah akan mengumumkan kepada para malaikat untuk menanamkan kemantapan pada kaum muslimin.” Begitu jawaban Ustadz Hasan ketika ditanya sistem promosi apa yang dipakainya, sehingga sangat cepat perkembangan santri-nya dan berasal dari berbagai propinsi bahkan dari beberapa negara tetangga.
- Sasaran yang diutamakan dan mendapat perhatian khusus dari beliau adalah :
- Putra para kiyai dan habaib, khususnya yang mempunyai pondok pesantren dan majelis ta’lim, hal ini dilakukan karena mereka sudah jelas ditunggu oleh umat dan sebagai proses pengkaderan, agar mereka bisa menjadi penerus orang tua mereka memimpin pondok pesantren.
- Putra-putra daerah yang disana jarang ada ulama/kiyai/ustadz, sehingga diharapkan nanti bisa pulang kembali untuk berdakwah menyebarkan Islam dan merintis lembaga pendidikan/majelis ta’lim.
- Putra aghniya, yang dengan masuknya putra mereka di pondok pesantren dengan beberapa pertimbangan yaitu diharapkan perhatiannya terhadap Islam/pondok pesantren lebih besar dan sebagai perantara masuknya dakwah kepada orang tua mereka, menyelamatkan harta mereka, serta sebagai bentuk subsidi silang terhadap santri yang tidak mampu.
- Putra-putri dari orang-orang yang pernah berjasa dalam perintisan pondok pesantren.
Sifat-Sifat Dan Kisah-Kisah Keteladanan Ustadz Hasan Baharun
Beberapa
sifat menonjol Ustadz Hasan yang sudah sangat di kenal oleh kalangan
santri, dan guru-guru, kalangan habaib dan masyarakat yang sering
berkomunikasi dengannya sebagai seorang figur ulama pewaris nabi.
Beliau betul-betul mewarisi sifat-sifat dan sikap perjuangan kakeknya
Nabi Muhammad saw. Dan Agar lebih jelas akan dipaparkan sifat-sifat
tersebut serta contoh-contoh sebagian peristiwa dari kehidupan beliau,
sehingga kita dapat meniru sifat dan sikap keteladanannya yang
senantiasa ditanamkan bagi santri-santrinya adalah sebagai berikut :
Sabar
Salah satu sifat yang menonjol pada diri beliau adalah sifat sabar.
Kesabarannya sangat dikenal oleh semua kalangan, baik santri, dewan
guru, pejabat dan orang-orang yang mengenalnya, sebagaimana kesaksian
dan cerita yang dilukiskan oleh ayahandanya Al-Habib Ahmad bin Husein
Baharun pada waktu beliau meninggal dunia,“Hasan itu sangat sabar,
kalau saya marahi walaupun dia tidak salah tidak pernah menjawab dan
apabila difitnah dan diganggu orang tidak pernah membalas dan
menceritakannya pada saya agar didoakan, sehingga diberikan kekuatan
dan kesabaran dalam menghadapi cobaan dan fitnahan tersebut.“
Kesabarannya sulit dilukiskan, baik dalam membina dan membimbing santri
serta menghadapi kenakalan santri dan orang-orang yang mengganggu
pondok pesantren.
Ustadz Hasan dalam menghadapi orang-orang yang
memfitnah dan mengganggu pondok pesantren, justru mereka diberi hadiah
dan berulang kali, bahkan membantu urusan mereka seakan-akan tidak tahu
bahwa orang tersebut mengganggunya.
Suatu kisah sekitar tahun
1998 ada orang datang memberi tahu kepada beliau, bahwa dia akan
membawa orang, sebanyak 2-3 truk, untuk menghancurkan rumah orang yang
mengganggu pondok pesantren, namun beliau malah mencegahnya karena hal
itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Istiqomah (terus menerus)
Sifat Istiqomah Ustadz Hasan Baharun sudah tidak diragukan, salah
satu tanda dari sifat tersebut tercermin pada aktifitas beliau
sehari-hari. Beliau bangun setiap pukul 02.00 malam, kemudian
"Qiyamullail" (shalat malam) dan membangunkan santri pada pukul 03.00
malam. Bahkan untuk menjaga keistiqomahan tersebut, beliau mewajibkan
santri yang menjaga malam di pintu gerbang untuk membangunkan tepat
pukul 02.00 malam dan di pos jaga tersebut tertulis, diantara
tugas/kewajiban penjaga malam, wajib membangunkan Ustadz Hasan tepat
pada pukul 02. 00 ( tidak boleh lebih atau kurang ).
Suatu ketika
beliau datang dari Mekah / Timur Tengah, namun mampir di Jakarta karena
masih ada urusan yang harus diselesaikan dan bermalam di salah satu
rumah wali santri di Bekasi (di rumah Haji Yusuf) dan tampak
tanda-tanda bahwa beliau dalam keadaan sangat lelah, maka untuk menjaga
agar beliau tidak terlambat bangun, beliau berpesan kepada H. Yusuf
untuk membangunkannya pada pukul 02.00 dan tidak cukup itu saja, beliau
menelpon ke santri yang bertugas di pos jaga agar mengingatkan H. Yusuf
sebelum jam 02.00 untuk membangunkan Ust. Hasan. Begitulah salah satu
contoh kesungguhan beliau dalam menjaga keistiqomahan tersebut.
Tawakkal
Ustadz
Hasan mempunyai jiwa tawakal yang luar biasa sebagai suatu gambaran
dari sifat tawakal beliau adalah bahwa ketika beliau mempunyai rencana
untuk membangun gedung asrama santri berlantai tiga, pada waktu awal
terjadinya krisis moneter dengan dana awal sekitar lima juta rupiah dan
ketika sahabatnya datang ke pondok pesantren, beliau mengungkapkan
rencana tersebut barangkali bisa membantu, namun orang tersebut justru
bertanya dengan nada terheran-heran: “Ya Ustadz, bagaimana dengan dana
yang sedikit itu antum akan membangun bangunan sebesar itu? Apalagi
sekarang Indonesia dalam krisis moneter!” Kemudian apa kata beliau, “Ya
Ustadz, yang krisis itu kan Indonesia, negara lain kan tidak! Apalagi
Allah, apakah Allah kenal krisis moneter?” Sebuah umpan balik dan
argumen yang luar biasa, kemudian beliau melanjutkan kata-katanya,
“Kalau kita punya rencana maka kita jangan sekali-kali mengukur dengan
kemampuan kita, apabila kita mengukur dengan kemampuan kita, maka
hasilnya Allah akan memberikan sesuai dengan kemampuan kita, tetapi
apabila kita mengukur dengan kemampuan Allah, maka kemampuannya tiada
terbatas dan yakinlah bahwa selama kita berniat memperjuangkan agama
Allah, maka Allah akan menolong kita,” Inilah diplomasi yang
menggambarkan betapa tingginya tingkat tawakal beliau.
Bahkan
apabila beliau mau membangun, justru menghabiskan segala uang yang
tersisa dan membagikan kepada fakir miskin sebagi pancingan datangnya
rahmat dan pemberian Allah. Beliau mengibaratkan orang mancing, maka
apabila pancing dan umpannya besar maka akan memperoleh ikan yang besar
pula. Hal ini sering diungkapkan pula ketika ada panitia pembangunan
masjid dan Lembaga Pendidikan Islam, bahwa apabila berniat ingin
membangun, maka disarankan tidak perlu khawatir pembangunan tersebut
tidak selesai dan menyuruhnya membongkar/ memulai pembangunan tersebut
tanpa menunggu terkumpulnya dana untuk pembangunan, karena pembangunan
masjid dan LPI tersebut merupakan proyek Allah swt, dan Insya-Allah
pasti selesai, tinggal menata niat panitia serta berusaha semaksimal
mungkin sebagai ketentuan Allah dan harus disertai dengan banyak
berdoa.” Begitulah saran-saran beliau kepada para tamu dan panitia yang
datang minta saran dan sumbangan kepada beliau.
Dermawan dan Sangat Perhatian terhadap Fakir Miskin dan Anak Yatim
Kedermawanan
yang ada pada beliau, tumbuh dan berkembang sejak kecil. karena hal
tersebut sudah ditanamkan oleh ayah dan kakeknya sebagaimana
kisah-kisah sebelumya sehingga beliau tumbuh dan berkembang mempunyai
jiwa sosial, terutama memiliki kepedulian kepada para fakir-miskin dan
anak yatim. Bentuk kepedulian terhadap mereka diantaranya adalah bahwa
kebiasaan beliau membagikan hadiah pakaian hari raya, beras dan
kebutuhan sehari-hari, membagikan daging kurban kepada para tetangga
pondok pesantren, familinya yang tidak mampu, serta kepada orang-orang
yang datang minta bantuan, mulai pengobatan sampai pada biaya sekolah
anak-anak mereka kepada orang yang tidak mampu.
Ikhlas
Sebagaimana
sering diungkapkan olehnya dalam menasehati para santri dan para guru,
agar senantiasa menata niat dalam setiap tindakan dan amal yang akan
dilakukan. Hal ini merupakan cerminan dari kepribadian beliau yang
senantiasa menjadikan keikhlasan sebagai pondasi dari setiap amal yang
beliau laksanakan, termasuk pendirian pondok pesantren. Sebagai sebuah
bukti dari keikhlasan beliau ketika ada guru-guru yang mengusulkan agar
membuat papan nama pondok di tepi jalan beliau tidak langsung
mengabulkan permintaan tersebut. Namun karena beberapa kali guru-guru
tetap mengusulkan dengan alasan, banyak wali santri yang tidak tahu
lokasi pondok pesantren dan sering kesasar dan bingung mencari alamat
pondok, kemudian hal tersebut dikabulkan tiga tahun sebelum beliau
wafat.
Demikian pula dalam rekrutmen/seleksi guru-guru, maka yang
pertama kali dilihat adalah ikhlasa. Para guru baru yang mau mengajar
di pondok pesantren, diuji tingkat ikhlas-nya, bahkan beliau tidak
memperhatikan selama satu tahun. Karena beliau berpendapat bahwa
apabila gurunya tidak ikhlas, akan menularkan ilmu yang tidak ikhlas
pula.
Tawadhu (rendah hati)
Walaupun beliau sebagai ulama besar yang dihormati dan disegani,
baik di dalam maupun di luar negeri, dan kebesaran beliau diakui oleh
Sayyid Muhammad Al Maliki, sehingga pada waktu beliau datang ke Mekah
di majelis ta'lim Sayyid Muhammad diberikan kesempatan untuk memberikan
sambutan / tausiyah pada jamaah haji dan para ulama sedunia yang
berkumpul di majelis tersebut, dan juga dalam acara haul Nabiyullah Nuh
AS di Yaman beliau senantiasa mengelak ketika diminta untuk memberikan
sambutan, tetapi pada kunjungan yang terakhir beliau mau memberikan
sambutan namun tetap dengan sikap rendah hati. Beliau mengatakan bahwa
tidak bermaksud memberikan nasehat kepada yang hadir yang kebanyakan
terdiri dari para ulama dan auliya’, tetapi nasehat tersebut ditujukan
untuk santri beliau yang belajar di sana.
Beliau senantiasa
menunjukkan sikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari dan sama
sekali tidak menunjukkan bahwa beliau adalah orang besar. Siapapun tamu
yang datang dilayani dengan ramah, bahkan apabila menyajikan makanan,
beliau sering mengangkat sendiri sajian makanan dari dapur dan
menyuguhkan-nya kepada para tamu.
Diantara doa yang menunjukkan
sikap dan sifat rendah hati tersebut, dengan senantiasa memanjatkan doa
agar beliau dan putra-putra serta murid-muridnya dijadikan orang-orang
yang memiliki kebesaran tetapi tersembunyi (minal masturiin).
Kesederhanaan Pribadi Ustadz Hasan
Apabila
orang bertemu dengan Ustadz Hasan Baharun dan orang tersebut sebelumnya
belum mengenal beliau, maka orang tersebut tidak akan menyangka bahwa
beliau adalah ulama besar yang sangat dihormati dan disegani, karena
beliau memang mempunyai penampilan yang sangat sederhana, pakaian yang
dipakai sehari-hari di dalam pondok dan ketika keluar pondok biasa saja
yaitu memakai gamis/jubah, dan kopyah putih tanpa imamah dan ridha,
kecuali apabila beliau akan menyampaikan ceramah atau menghadiri
majelis pertemuan yang harus menampilkan sebagai sosok, untuk menjaga
kehormatan dan kebesaran serta kewibawaan ulama. Maka beliau akan
berpakain lengkap dengan jubah kebesarannya.
Selain kesederhanaan
dalam berpakaian beliau juga memiliki kesederhanaan dalam pola
kehidupan sehari-hari, banyak orang yang tertarik dan menaruh simpati
kepada beliau ketika membandingkan fasilitas pondok pesantren yang
serba lengkap dan baik, dengan rumah beliau yang atapnya rusak dan
sering bocor karena tidak sempat untuk diperbaiki, serta perabot rumah
tangga yang semuanya serba biasa-biasa saja, hal ini sudah menjadi
pilihannya yang lebih terkonsentrasi memikirkan bagaimana memenuhi
fasilitas santri.
Hubungan Ustadz Hasan dengan Yaman
“Ustadz
Hasan adalah orang pertama yang membuka kembali hubungan antara Yaman
dan Indonesia setelah terputus puluhan tahun lamanya dan beliau yang
mulai mengirimkan santrinya untuk belajar di Yaman sehingga semua
pahala orang yang belajar ke Yaman akan kembali pahalanya kepada
Al-Alim Al-Allamah Adda’i Ilallah Al-Ustadz Hasan Baharun.” Demikian
penuturan Habib Umar Bin hafidz di depan para santri dan ulama dalam ziarahnya di pondok pesantren Dalwa, Bangil, 2 tahun setelah wafatnya Ustadz Hasan.
Sebelum
masa itu, sejumlah pelajar dari Indonesia memang sudah ada yang
menuntut ilmu ke Rubath Tarim, tetapi tidak dalam sebuah koordinasi
seperti saat ini. Maka kemudian pada tahun 1994, sekitar 30 pelajar
Indonesia berangkat ke Kota Tarim sebagai angkatan pertama murid dari
Habib Umar bin Hafidz.
Kini seluruh anak-anaknya bergerak di bidang ilmu dan tetap bersatu dalam melanjutkan dakwah sang ayah.
Pada
tanggal 23 Mei 1999 M bertepatan tanggal 8 Shafar 1420 H beliau
meninggal dunia, dan kemudian pondok pesantren Dalwa dilanjutkan
kepemimpinannya oleh putra tertua beliau yaitu Habib Ali Zainal Abidin,
dibantu adik-adiknya.
Masih terdengar dalam ingatan mereka
nasihat dari sang ayah,”Saya ini punya penyakit jantung, jadi harus
“ngebut”. Sekarang bukan waktunya beristirahat, sekarang waktunya
berjuang. Kalau sudah di kuburan nanti, itu baru beristirahat. Oleh
sebab itu, untuk sekarang jangan pernah istirahat.
Sumber: PP Dalwa, Bangil
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini