Karomah Luar Biasa yang dimiliki Syaikhona yuk simak kisah berikut ini
Narasumber: KH. Imam Bukhori ( Pimpinan Pondok Pesantren Ibnu Kholil ), Bangkalan (Dari buku Biografi K.H Muhammad Kholil)
Mengetahui Pikiran Kiai Noer
Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di pesantren Langitan
Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang memang keharusan
para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil
tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah.
Demikian juga dengan Kiai Noer.
Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil,
kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-bahak. Lupakah kamu itu
meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak syah?!"
Kholil
menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya
sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul, karena itu saya
tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya lihat itu,
kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer
terkejut. Kholil benar, Santri baru itu dapat membaca apa yang terlintas
di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang sambil menerawang
lurus ke depan, serta merta berbicara kepada santri kholil: "Kau benar
anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya memang sedang lapar. Yang
terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya nasi, anakku," ucap
Kiai Muhammad Noer secara jujur.
Sejak kejadian itu kelebihan Kholil
akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi
juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai
yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu
mengistimewakannya.
Didatangi Macan
Pada suatu hari di bulan
syawal, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku,
sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren.
Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan
masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur
guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri.
Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang
cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat,
tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu
ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa
tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya
di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam
"Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar
salam itu, bukannya jawaban salam yang diterima, tetapi kiai malah
berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua, ada
macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai
Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai,
kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa saja
yang ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang
baru datang tadi yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali
lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil
begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu mencoba datang lagi.
Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung disong-song dengan
usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru pada malam
ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara
diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai
rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara
tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil datang dan membangunkannya,
karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai
Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru pemuda itu lega
setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama
Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat
dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana
selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor
macan, seperti yang disyaratkan Kiai Kholil.
Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian
ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu satu-satunya angkutan
yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan
bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik,
kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur". Jawab suaminya dengan bergegas keluar dari kapal.
Setelah
suaminya keluar mencari anggur di sekitar anjungan kapal, nampaknya
tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan, meski agak
lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang suami
mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke
anjungan kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan
ditumpangi. Semakin lama kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali
melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti
diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang
laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat: "Datanglah kamu
kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa
dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa
dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia menolong ketertinggalan
saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
"Segeralah
ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu
alami, Insyaallah." Lanjut orang itu menutup pembicaraan. Tanpa pikir
panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu,
sang suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal
hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya
di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang
menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya: Bagaimana? Sudah
ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali
lagi, kembali lagi temui Kiai Kholil!" ucap orang yang menasehati
dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itu pun kembali
lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru
setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, "Baik kalau begitu, karena
sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu
Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan
jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali saya sudah meninggal,
apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai," jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu. Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu,
sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan patuh, setelah beberapa
menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan. Betapa terkejutnya
ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas kapal laut
yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya,
dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang
berada di atas kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang
kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali" dengan
senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan seolah-olah datang
dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja mengalami
peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami, sekali dalam
hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa
saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang
yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Membetulkan Arah Kiblat
Kiai
Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim itu membangun masjid di
pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. Sebagai
seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang matang sesuai
dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi masjid
yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang
hampir rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu
peresmiannya saja sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari,
masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut
pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam
posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat,
ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai
seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja.
Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat
pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya
tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum
sambil berjalan ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di
belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu
kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba
kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai
Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke
lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu.
Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada di
Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai Muntaha tidak
percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi lubang itu,
dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka, sadarlah
Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar selama
ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata
terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha
mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat
dalam lubang tadi.
Santri Mimpi Dengan Wanita
Pada suatu
hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah.
Dalam benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat subuh berjamaah.
Ketidakikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas.
Tetapi disebabkan halangan junub, semalaman Bahar bermimpi tidur dengan
seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah
istri Kiai Kholil, istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai
Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: "santri
kurang ajar..., santri kurang ajar..."
Para santri yang sudah naik
ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan
siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak
ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai
sholat subuh berjamaah Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua
santri seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap
Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak
menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke
kanan kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak
hadir waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan
mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa
ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar,
karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka kamu harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,"
perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk
menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu, segera Bahar
melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua
rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu
sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali.
Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali
lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira menerima hukuman dari Kiai
Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan itu. Setelah
itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri,
semua ilmuku sudah dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk
ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya untuk pulang kampung
halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat
isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang
memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu
bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang
diasuhnya di pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa
pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai
Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda
berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu.
Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai
Kholil. Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan
apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar, karena kejengkelannya
akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk
ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai
Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil
dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai
muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai
Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup.
Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus.
Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus.
Sebab, jika tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari
berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa
berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil.
Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak
itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus. Akhirnya, kompeni membuat
larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak
menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin
banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil
bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan
bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas
membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau
dibiarkan berlarut-larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada
pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni
Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni
mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan
sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa
ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara
kembali pulang kerumahnya masing-masing.
Residen Belanda
Suatu
hari residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat
yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta.
Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai residen di
Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat.
Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani
residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya.
Untuk mempertahankan posisinya, residen Belanda yang bersimpati kepada
Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di
Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada
orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang
residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya dapat
membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang residen
itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di
kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan
hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab
dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat,"
ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan
jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang
beberapa hari setelah kejadian itu, sang residen menerima surat dari
pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan
pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan
demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak
peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah
Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati
daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya.
Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai
Kholil. Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri Pencuri Pepaya
Pada
suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di sekitar pondok pesantren
kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat pohon pepaya yang
buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena lapar atau
pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud
mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa
dirinya aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya.
Kemudian dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu.
Setelah cukup banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru
saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah diketahui oleh beberapa
santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu dilaporkan kepada
Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu disuruhnya
dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok
pesantren. Tak lama setelah kejadian itu, santri yang diusir karena
mencuri pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim.
Kealiman dan
ketenaran kiai tersebut sampai kepada pesantren kedemangan. Mendengar
berita menarik itu, beberapa santri ingin mengikuti jejaknya. Pada suatu
hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di pesantren. Dengan
harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya. Kontan saja
petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Kiai
Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya
itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah,
celaka saya tidak bisa menjadi kiai," desah santri pencuri pepaya
sambil menangis menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang
sholat maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat
berjamaah bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil
mengimami sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu orang berbangsa Arab,
orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai
Kholil menemui tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang
mengetahui kefasihan bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil
sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah
berbasa-basi, beberapa saat, habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk
melaksakan sholat maghrib. "Tempat wudlu ada disebelah masjid itu.
Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap Kiai sambil menunjukan arah
tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba habib dikejutkan
dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan Bahasa
Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut
disekitar tempat wudlu, Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada
macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan
sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang
mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang
fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib
paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada
dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak
fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Tongkat Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada
suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan Bangkalan. Beberapa
santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di
desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil
menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai
Kholil, memancar sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin
besar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Lebih dari itu, sumber mata airnya dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang bersejarah itu, sampai
sekarang masih ada.
Howang-Howing Jadi Kaya
Suatu hari,
seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud
untuk meminta pertolongan kepada Kiai Kholil agar bisa terkabul
hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya. Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat
permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas memberi isyarat menyuruh
mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil, tiba-tiba Kiai
Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat seraya
berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing, Pak Wang,
Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih.....
sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat Aneh
Di
daerah Bangkalan banyak terdapat binatang-binatang menyengat yang suka
berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat ganas. Binatang ini akan
bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di malam hari. Pada
suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat kalajengking. Bisa
kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya. Beberapa
pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus asa,
sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui
Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil. "Kiai
Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya", ujarnya sambil
memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas
sengatan yang telah membengkak itu kemudian dipegangnya seraya berucap
dengan dalam bahasa Madura : "Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres,
beres", ucap Kiai Kholil sambil menepuk-nepuk bekas sengatan
kalajengking. Maka seketika itu, orang itu sembuh, dan melihat hasil
pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang menyaksikan di sekitarnya
tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sambil
meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin Imron, cucu Kiai
Kholil Bangkalan).
Rumah Miring
Pada suatu hari, Kiai Kholil
mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun
tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua
tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu
sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit
demi menit berlalu beberapa orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok
belum dimulai. Padahal, menurut jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan
rumah tampak mondar-mandir, gelisah. Sesekali melihat ke jalan sesekali
menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi. Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan
dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir.
Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan tercekam tidak berani
menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan,
nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami
saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai
mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak
seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan
menyalami Kiai Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi
sadar, bahwa dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu
meremehkan seorang ulama seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong
Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai Kholil memaafkan, bahkan mendoakan.
Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu seorang jagoan yang ditakuti
di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim. Bahkan, kini si fulan
menjadi panutan masyarakat daerah itu.