
Masyarakat
Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama
karismatik, sama-sama ahli hadis, sama-sama pendidik yang bijaksana.
Mereka adalah bapa dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah
untuk 'mencetak' anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadis, mewarisi
ilmunya.
Ketika
menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam
Rasulullah saw di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikurniai putera yang kelak tumbuh
sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa
bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiulawal
1355 H/1935 M, lahirlah seorang putera buah pernikahan Habib Abdul Qadir
dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi
nama Abdullah.
Sesuai
dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir
pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya
itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih
berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal
itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja
sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak
sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing
dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan
semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang
dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan
At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang,
kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits
Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu
berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai
murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah
berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah
jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin
agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun
berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.
Selain
dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf
dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia
mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah
ayahandanya wafat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H),
otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok
peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga
Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan
penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti
penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta
Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang.
Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana
ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka
bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi
suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang
bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan
kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai
guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir
setiap malam, sebelum menunaikan solat Tahajjud, ia selalu mengontrol
para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya
tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika
ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya
serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.
Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam
menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu
tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya
bathil.
Sikap
konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja
ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap
kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah
selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan.
Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib
Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jamadilawal 1411 H (30 November 1991)
dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi
panggilan Allah SWT. Setelah disolatkan di Masjid Jami’ Malang,
jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman
Kasin, Malang, Jawa Timur.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan disini